Senin, 30 Juni 2014

Annisa Muslimah Meninggalkan Kampung Halaman demi Iman

Annisa Muslimah Meninggalkan Kampung Halaman demi Iman

Minggu, 15 Juni 2014, 04:37 WIB

Dua Kalimat Syahadat (ilustrasi).

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Pembinaan mualaf dinilai masih sangat minim.

Lahir dari keluarga Tionghoa, Annisa Muslimah merasa semua yang dijalankannya sebagai penganut Buddha tak lebih dari doktrin dan tradisi.

Sebagai anak tunggal, ia merasa kehilangan bimbingan sejak sang ibu wafat, umurnya ketika itu tujuh tahun. Setelah ayahnya menikah lagi ketika ia SMA, Annisa juga menghadapi hubungan yang buruk dengan ibu tirinya.

Ketertarikan Annisa terhadap Islam berawal dari pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya kala itu. Ia sering memperhatikan perempuan itu shalat.

Larangan keluarga besar agar mendekati pembantunya itu, ia campakkan. ''Saya diam-diam ke kamarnya. Ya bagaimana, tidak ada ibu, tidak ada yang membimbing,'' ungkap Annisa.

Mendiang ayah Annisa sebenarnya juga tertarik dengan Islam. Namun, keluarga besarnya melarang. Sang ayah kadang menyumbang masjid sebelah rumahnya saat Jumat dan memakai peci.

Sajadah pertama yang dimiliki Annisa setelah menjadi Muslimah, juga diberikan sang ayah. Sang ayah sudah merelakan Annisa memeluk Islam.

Sejak mereka masih bersama pun, ayahnya justru menyuruh Annisa  menikah dengan pria Muslim. Meski tradisi dalam keluarganya, etnis Tionghoa harus menikah dengan sesama etnis.

Pernah juga Annisa diajak ke gereja oleh kakak sepupunya, tapi ia tidak  mengerti apa yang disampaikan di sana. Diakuinya, membaca Alkitab tidak menumbuhkan perasaan apa pun di hatinya. Perayaan Natal juga malah ia manfaatkan sebagai ajang bermain.

Meski mayoritas teman-teman perempuan 30 tahun ini selama bersekolah di sebuah SMA Surabaya pada 1999-2002 beragama Kristen, ia sendiri lebih merasa nyaman dan dekat dengan teman-temannya yang Muslim.

 

Annisa sering memperhatikan mereka berpuasa. ''Pernah ada iklan shalawat di televisi saat itu, saya langsung hafal hanya sekali melihat,'' ungkap warga Jakarta Pusat ini.

Lulus kuliah pada 2005, antara masa jeda setelah ujian dan masuk kuliah, Annisa memanfaatkan layanan percakapan internet yang sedang ramai kala itu, yakni MIRC dan Yahoo Messenger untuk mengobrol dengan banyak orang.

Tak punya banyak teman bicara, ia memilih orang-orang di dunia maya untuk berbagi cerita. Secara acak, Annisa bertemu Fajar yang mengenalkan Islam padanya.

Percakapan online berlanjut menjadi diskusi via telepon. Sekitar dua bulan ia berdiskusi tentang Islam dengan teman yang tak pernah ditemuinya langsung dari bilik wartel. Sampai akhirnya, Annisa bersyahadat via telepon pada 2002.

Meski Annisa yakin ayahnya membolehkan, ia tidak segera mengabarkan keislamannya. Ia khawatir sang ayah akan menerima tekanan ibu tirinya yang tidak suka Annisa berstatus Muslimah. Belum lagi reaksi penolakan kakak sepupunya.

Ia masih ingat, ketika sedang berada di rumah sepupunya, ia sering diminta mematikan televisi saat sesi azan Maghrib berkumandang.

Ia bertanya sendiri, mengapa begitu? ''Susah sekali bahkan untuk sekadar mendengar azan. Saya curi-curi dengar azan di rumah jadinya,'' ungkap Annisa.

Semasa kuliah pun pada 2002-2005, ia lebih dekat dengan teman-teman Muslim. Ia sempat diajak shalat, tetapi urung dilakukan. Ia belum tahu bagaimana melakukan shalat yang benar.

Annisa mengungkapkan, pertama kali shalat, ia menggunakan jaket sebagai pengganti mukena atas dan seprai sebagai pengganti mukena bawah.

 

Ia shalat di atas tempat tidur sambil membaca buku bacaan shalat. Ramadhan ia gunakan untuk ikut berpuasa dan berbuka puasa bersama teman-temannya.

Diakuinya, pembinaan mualaf masih kurang sehingga selepas bersyahadat, mereka yang baru masuk Islam tidak tahu bagaimana harus belajar shalat, membaca Alquran, dan lain-lain. Selama di Surabaya, ia hanya belajar Islam dari buku-buku.

Setelah skripsi pada 2005, ia tak lagi tahan dengan tekanan sanak keluarga di Surabaya. Ia tak punya saudara maupun guru agama untuk bertanya dan belajar di sana. ''Susah, tidak bisa apa-apa jadinya,'' ungkap Annisa.

Tiga tahun menjadi Muslimah, pada tahun yang sama ia akhirnya memilih kabur dari Surabaya ke Jakarta. Ia menyelamatkan keislamannya akibat tekanan tiada henti dari sanak keluarga yang tak rela ia berislam.

Dengan bantuan temannya sesama etnis Tionghoa, ia membulatkan tekad kabur ke Jakarta meski harus berpisah dengan ayahnya. Saat awal pindah ke Jakarta dan kos di Depok, Annisa tidak tahu jika wanita Muslimah wajib berjilbab.

Ia sempat berpikir pasti menyenangkan bisa berjilbab. Ia lalu mencoba menggunakan kerudung dan menemukan kenyamanan serta rasa aman. Ia pun prihatin dan kasihan melihat mualaf banyak yang belum bisa mengaji dan tidak berkerudung. “Harus dibimbing memang,'' kata dia.

Di Jakarta, ia baru bisa belajar Islam secara intensif. Sekitar 2007, ia dikenalkan oleh temannya untuk belajar Islam dengan Herry H Hidayat yang menjadi suaminya sekarang. Ia pernah berhenti bekerja karena atasannya malah memintanya kembali meninggalkan Islam.

Sampai sekarang, Annisa masih terus belajar Islam. Sudah lancar membaca Alquran, suaminya meminta Annisa untuk mengajarkan Alquran juga kepada mualaf lainnya.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar