Senin, 30 Juni 2014

Ali Farqu Thoha, Dai Senduro, Lumajang Jawa Timur Dakwah dalam Gigitan Puncak Senduro

Ali Farqu Thoha, Dai Senduro, Lumajang Jawa Timur Dakwah dalam Gigitan Puncak Senduro

Sabtu, 21 Juni 2014, 11:10 WIB


Mualaf Tengger

 

REPUBLIKA.CO.ID, LUMAJANG -- Seorang lelaki setengah baya berjenggot tipis duduk di tengah kerumunan orang. Dia  memakai jaket tebal dan berbulu berwarna putih. Tidak hanya itu, karena hawa dingin masih menggigit tubuh, dia menambah dua kaos tipis di bagian dalam. Peci putih kusut kain juga menghias di kepalanya. Sesekali, terlihat badanya menggigil menahan tusukan hawa dingin. 
 
Sejumlah orang di sekelilingnya juga memakai jaket. Hanya bedanya, mereka mengenakan sarung yang diselempangkan di badan. Khas orang gunung. Maklum, di dusun Puncak, Desa Argosari, Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jatim, ketinggiannya sekitar 2.000 meter dari permukaan laut. Tak cukup hanya mengenakan satu helai baju untuk mengusir dingin.     
 
Lelaki tersebut adalah Ali Farqu Thoha. Da’i yang telah 20 tahun lebih berdakwah di kampung mualaf Senduro. Pria kelahiran Lumajang 28 Desember 1958 ini pandai berceramah. Isi ceramahnya ringan tapi mengena. Sesekali diselelingi humor cerdas yang mengundang gelak tawa jamaah. Tak jarang, jika tidak sedikit mualaf tertawa lebar.
 
Di sela-sela ceramahnya, sesekali Ali—sapaan akrabnya—bertanya seputar kondisi ibadah para mualaf: “Gimana shalat lima waktu kalian. Tidak pernah bolong-bolong, lagi kan ?”  “Insya Allah, jalan terus pak ustadz meski sering telat,” jawab Sukari, salah seorang jamaah. Ali pun bernafas lega. Berarti, usaha kerasnya selama ini membuahkan hasil meski belum begitu signifikan.
 
Kegiatan itu secara rutin dilakukan Ali. Terkadang sepekan sekali. Atau juga bisa lebih. Tergantung kebutuhan dan undangan mualaf. “Jika mualaf membutuhkan, mau tidak mau, saya harus datang,” ujar ayah dua anak ini. Selain untuk ceramah, terkadang Ali diundang untuk menangani masalah sepele; urusan keluarga, cocok tanam, cekcok sesama warga dan sebagainya. Bagi masyarakat, Ali dianggap seperti keluarga. Tak ada sekat lagi. Masalah apapun diadukan padanya. Masalah kecil atau besar sedikit-sedikit memanggil Ali.

Dusun Puncak merupakan dusun tertinggi di Desa Argosari ketimbang tiga dusun lainnya; Gedok, Pusung Duwur dan Bakalan. Wajar saja jika hawanya lebih menusuk. Selain itu, medannya juga menantang; terjal, licin dan menanjak.

Di tempat ini, jika menjelang siang kabut tebal turun. Tak pelak, sejauh mata memandang hanya kabut putih yang terlihat. Jarak pandang pun hanya sekitar 15 meter sehingga harus berhati-hati. Sebab, jika tidak, bisa jatuh ke pematang sawah yang cukup curam. Sementara, untuk menempuh tiga dusun lainnya, butuh waktu sekitar satu sampai dua jam. 
 
Menurut sumber, warga desa Argosari dulunya mayoritas Muslim. Fakta itu dengan adanya peninggalan sejumlah mushola. Namun, lantaran ditinggal da’i, Islam kemudian perlahan redup hingga lambat laun mati. Sebagai gantinya, mereka memeluk Hindu. Keadaan itu membuat Ali prihatin. Jiwa dakwahnya bangkit. Hatinya tergerak untuk menyadarkan masyarakat kembali pada jalan yang benar, Islam. Ali pun mengepakkan sayap dakwahnya. Dia melakukan pendekatan pada masyarakat sambil mengenalkan Islam kembali. Alhamdulillah, berkat hidayah dari Allah, kini sekitar 80 persen masyarakat telah kembali memeluk Islam.
 
Namun, hasil itu tidak serta merta didapat. Ali membutuhkan waktu sekitar 22 tahun silam. Tanpa kendaraan dan hanya berjalan kaki. Padahal, jaraknya sangat jauh, kelok-kelok, dan mendaki. Kadang melalui jalan terjal yang ditutupi awan tebal. Karena itu terkadang harus pelan. Risikonya perjalanan memakan tempo lama, bisa tiga sampai empat jam.  Objek dakwah Ali adalah mayoritas Hindu. Dia pun harus menggunakan cara yang jitu. Dia memiliki tiga cara yang dia sebut 3 K: Kelihatan, kenal dan kena. Untuk memperakrab, Ali selalu menyapa orang yang dijumpai.
 
Lambat laun, usaha Ali menuai hasil. Keramahannya itu mengundang simpati masyarakat. Mereka mulai penasaran pada agama yang dibawa Ali dan mulai banyak bertanya soal Islam. Meski begitu, Ali sangat berhati-hati dalam menjawab. Aplagi untuk soal yang sensitif, seperti neraka, surga, halal dan haram.
 
“Jangan sampai mereka takut duluan dan lari. Padahal, Islam belum dikenalkan secara baik,” ujarnya.
 
Cara itu cukup jitu. Satu persatu tertarik dan memeluk Islam. Alasanya macam-macam. Tapi, yang paling menarik adalah soal kebersihan dan kesehatan. Seperti kebersihan kala masuk masjid.

“Kalau di Hindu masuk Pura pake sandal. Tapi, di Islam masuk masjid harus dilepas,” tutur Karyo Slamet, mualaf Senduro yang dulunya beragama Hindu.
 
Karyo juga tertarik konsep kebersihan Islam dalam hal sunat ata khitan. Dalam Islam, laki-laki harus dikhitan. Dia menggambarkan seperti pisang: “Biar rasanya lebih enak, kan harus dikoncei kulite,” ujarnya sambil tersenyum malu.
 
Islam juga dirasakan membuat hati lebih damai dan bahagia. Hal serupa dialami Sukari. Mantan tokoh Hindu ini sebelum masuk Islam, selalu merasa tidak tenang. Tapi, usai masuk Islam, hidupnya bisa lebih tenang dan bahagia. “Entah kenapa. Setelah masuk Islam, hidup ini lebih bahagia,” ucapnya. Nampaknya, hal senanda juga banyak dialami orang Hindu lainnya. Karena itu, dari waktu ke waktu, satu persatu dari mereka banyak yang memeluk Islam. Hingga angka mualaf menjadi kian naik drastis.
 
Diancam Dibunuh
 
Hal tersebut nampaknya menjadi ancaman sejumlah pihak. Mungkin saja, mereka takut jika Islam berkembang pesat di sana . Karena itu, Ali pun mulai mendapat teror. Suatu saat, Ali mendapat pesan singkat (sms) bernada ancaman dari orang tak dikenal. Sms tersebut berbunyi: “Hentikan dakwah Islam di Senduro jika tidak ingin istrimu menjadi janda dan anakmu menjadi yatim.”
 
Tidak cuma sekali, menurut Ali sms seperti itu hampir setiap hari masuk di layar ponselnya. Takut? Ternyata, Ali tidak gentar sedikit pun. Dengan tegas dia katakan: “Barang siapa yang menolong agama Allah. Maka dia akan ditolong Allah.” Benar saja, ternyata sms tersebut tidak terjadi. Dia dan keluarganya masih sehat dan utuh.
 
Tidak itu saja. Pernah, ketika selepas pulang dakwah dari dusun Bakalan bersama Sutomo dihadang 70 orang tak dikenal. Tampang mereka sangar. Mirip preman bayaran. “Ali, hentikan dakwahmu! Jika tidak, lihat saja apa yang akan terjadi nanti,” teriak salah seorang dari mereka.
 
Ketika itu, jam menunjukkan pukul 22.00 malam. Gelap gulita. Tak ada seorang pun selain mereka. Jadi, seandainya terjadi sesuatu pasti tidak akan ada yang menolong. Ali hanya terdiam dan berdoa. Tapi, hal itu tak membuat mereka berhenti berteriak. Justru makin berani. Tiba-tiba, tak dinyana, Sutomo bertakbir:“Allahu Akbar.” Aneh, entah kenapa tiba-tiba 70 pria sangar itu lari tunggang langgang setelah mendengar takbir pria yang buta penglihatannya itu.

Berdakwah di Senduro bukan itu saja rintangannya. Alam juga menjadi ujian yang tak kalah beratnya. Pasalnya, medan yang sulit jika tidak hati-hati bisa berbahaya. Suatu malam, sekitar pukul 22.00 Ali pulang dari dusun Gedok ke rumahnya di Lumajang. Dia mengendarai sepeda motor. Karena sepedanya sudah lama, bunyinya seperti kumbang: Ngoongg...ngguungg ngggung. Keras sekali. Apalagi, jika harus melewati tanjakan. Motornya pun sampe terkentut-kentut.
 
Tiba-tiba, dari arah belawanan, ada truk lewat dengan kecepatan penuh. Kebetulan, jalannya sempit dan menanjak. Takut keserempet, motornya diarahkan ke pinggir jalan. Na’as, karena tak seimbang, Ali terjatuh. Dia pun masuk ke jurang. Untung saja tak dalam. Meski taka pa-apa, tapi sekujur tubuhnya seperti remuk.
 
“Sekujur tubuh sakit semua,” tuturnya.
 
Berdakwah di daerah tersebut bukan hal mudah. Selain karena sejumlah rintangan, yang menjadi kendala adalah dana dan jumlah da’i. Parahnya lagi, sangat jarang ada da’i yang rela berdakwah di tempat itu.
 
Ali pun sangat terbantu setelah berkerjasama dengan Warsito, DPD Hidayatullah Lumajang. Berkat kerjasama itu, dakwah di Senduro makin tertata. Jika Ali fokus berdakwah di Senduro, Warsito mencari dana ke sejumlah instansi, terutama Baitul Mal Hidayatullah (BMH), baik di Surabaya maupun Malang . Kini, telah ada seju mlah sarana ibadah; 4 masjid dan 10 mushola. 
 
Tak hanya itu, Warsito sendiri sering berdakwah ke Senduro. Dengan motor Suzuki GX tahun 1995 dia naik turun bukit bersama Ali untuk menyemai Islam di sana.

Nikah Masal Hingga Konversi Ternak

Dalam upaya meretas masalah yang ada, sejumlah program telah digulirkan. Mulai dari nikah masal bagi 68 pasangan muallaf suku Tengger. Mereka yang baru masuk islam di nikahkan di Masjid Nurul Huda, Dusun Tempuran, Kec.Senduro, Lumajang. Maka sebanyak 35 penghulupun didatangkan untuk memimpin prosesi ijab Kabul. Program berlanjut dengan khitanan masal untuk para muallaf, persertanya pun beragam usia, dari remaja hingga usia lansia .

Untuk meretas masalah ekonomi, BMH bekerjasama dengan dai-dai setempat melakukan pemberdayaan dibidang pertanian dengan penanaman bibit bawang serta menggulirkan program

Konversi ternak yang diberikan kepada mullaf suku Tengger Senduro Lumajang. Program ini bertujuan untuk mendorong masyarakat mengganti kebiasaan berternak babinya dengan berternak kambing.

Dai serta tokoh Senduro akan hadir dalam acara Inspirasi Dai Tangguh pada 22 Juni 2014 di SMESCO. Semoga kisahnya meninspirasi kita serta berperan untuk turt mendoakan para pembinasuku tengger disekitar lereng gunung Bromo Jawa Timur untuk tetap istiqomah. Semoga ikhtiar menguatkan hidayah yang terus berkesinambungan ini menjadi jalan meraih kemuliaan.

 

Redaktur : Maman Sudiaman

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar