Senin, 30 Juni 2014

Kosmologi Shalat

Kosmologi Shalat

Friday, 20 June 2014, 02:19 WIB

Umat Islam melaksanakan shalat berjamaah

 

Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Di dalam Alquran dijelaskan bahwa yang melaksanakan shalat bukan hanya manusia, melainkan semua makhluk, termasuk benda mati.

Secara etimologi shalat berasal dari akar kata shala-yushla, kemudian membentuk kata shalla berarti doa, zikir, dan ketaatan (al-du’a, al-dzikr, wa  al-itha’ah).

Secara terminologi biasa diartikan dengan perbuatan tertentu beserta syarat-syarat tertentu dilakukan dalam waktu tertentu yang unsurnya terdiri atas berdiri, rukuk, duduk, sujud, tasbih, dan tahlil yang dimaksudkan sebagai salah satu bentuk ibadah khusus (mahdhah) kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

Dalam tradisi ilmu hakikat shalat merupakan suatu hakikat idhafiyah (sandaran) antara “da’i” dan “mad’u” atau antara hamba dan Tuhan.

Para ahli hakikat memaknai shalat itu sebagai rangkaian secara fungsional dari berbagai derivasi yang muncul dari kata shalat, yaitu wushlah (sambungan), shila (hubungan), washl (tersambung), wishal (ketersambungan), shaulah (sambungan), dan shalaa  (ketersambungan).

Shalat berfungsi sebagai wushlah karena menyambung antara dua bagian menjadi satu yang sebelumnya berpisah. Shalat berfungsi sebagai shilah karena sebagai media penyampaian sebuah pemberian yang dimohon oleh sang pemohon.

Shalat berfungsi sebagai shaulah karena menjadi sarana penghubung antara Sang Mahakuasa dengan sang makhluk yang lemah.

Shalat juga berfungsi sebagai salwu karena menyungkurkan diri sang penyembah kepada Tuhannya yang disembah. Sedangkan, du’au ialah permohonan untuk sampaikan apa yang dimintanya dari tempat berdoa itu.

Menurut Dawud al-Qaishari dalam Syarah Fushush al-Hikam, kata shalawat yang disandarkan kepada Allah SWT untuk hamba-Nya berarti rahmat, shalawat dari malaikat kepada manusia bermakna istighfar, dan shalawat dari manusia kepada Tuhannya berarti doa.

Allah SWT bershalawat kepada hamba-Nya dalam arti memberi rahmat, sebagaimana dicontohkan di dalam Alquran, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS al-Ahzab [33]: 56).

Sedangkan, makhluk bershalawat kepada Allah SWT dalam arti doa disebutkan pada ayat, “Tidakkah kamu tahu bahwasanya Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS an-Nur [24]: 41).

Shalat dalam arti umum ialah persembahan dari makhluk kepada Sang Khalik. Di dalam Alquran dijelaskan bahwa yang melaksanakan shalat bukan hanya manusia, melainkan semua makhluk, termasuk benda mati. Bentuk dan kaifiyah-nya tentu berbeda satu sama lain.

Malaikat melakukan shalat disebutkan dalam ayat, “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Para manusia menunaikan shalat disebutkan dalam berbagai ayat, di antaranya dalam (QS an-Nur [24]: 41).

Langit, bumi, bintang-bintang, pepohonan, dan berbagai jenis binatang juga shalat, sebagaimana disebutkan di dalam ayat, “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauhul Mahfuz) Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS al-Hajj [22]:70).

 

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Alkitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS al-An’am [6]:38).

Pada ayat lain, “Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya.” (QS ar-Rahman [55]:6).

Bahkan, makhluk yang selama ini dipersepsikan sebagai benda mati pun shalat. “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (QS al-Isra’ [17]:44).

Shalat bagi manusia selain berfungsi sebagai pernyataan kehambaan diri kepada Tuhan, juga untuk membantu mengendalikan diri mereka sebagai khalifah.

Pada bagian pertama dari artikel ini dijelaskan shalat sebagai bentuk persembahan khusus kepada Sang Khalik dari para makhluk-Nya, baik makhluk makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (manusia).

Walaupun bentuk dan cara shalat mereka masing-masing berbeda satu sama lain namun intinya shalat mereka merupakan ekspresi penghambaan diri terhadap Sang Khaliq yang sekaligus sebagai Tuhannya.
 
Manusia sebagai makhluk mikrokosmos, selain kapasitasnya sebagai hamba, juga  diamanati tugas ganda sebagai khalifah, yakni representatif Tuhan di dalam mengelola alam ini.

Karena itu, shalat bagi manusia selain berfungsi sebagai pernyataan kehambaan diri kepada Tuhan, juga untuk membantu  mengendalikan diri mereka sebagai khalifah di jagat raya (khalaif al-ardh).

Hal ini ditegaskan di dalam Alquran surah al-‘Ankabut ayat 45, “Sesungguhnya shalat mencegah kepada keburukan dan kemungkaran.”

Allah SWT juga menjamin orang-orang yang rajin menunaikan shalat akan berdampak positif di dalam penampilannya, yaitu ada bekas sujud tercermin di wajahnya (simahum fi wujuhihim min atsaris sujud) (QS al-Fath [48]: 29).

Dalam Alquran juga disebutkan shalat berpengaruh penting untuk mewujudkan kesadaran dan konsentrasi manusia (aqimis shalata li dzikri) (QS Thaha [20]:14), bahkan shalat menghadirkan ketenangan jiwa (ala bi dzikrillah tathmainnul qulub) (QS  ar-Ra’d [13]:28).

 

Manusia diberi berbagai keistimewaan oleh Sang Pencipta, Allah SWT, seperti satu-satunya makhluk yang  diciptakan langsung oleh kedua tangan Tuhan (khalaqtu bi yadayya) (QS Shad [38]: 75), makhluk-makhluk lain termasuk malaikat hanya diciptakan dengan satu tangan Tuhan (khalaqtu bi yadi).

Hanya kepada manusia berlaku konsep taskhir, yaitu penundukan segenap alam semesta kepadanya (wa sakhkhara lakum ma fis samawati wa ma fil ardli jami’an) (QS at-Jatsiyah [45]: 13).

Alquran menegaskan manusia makhluk paling sempurna di antara seluruh makhluk (laqad khalaqnal insan fi ahsani taqwim (QS at-Tin [95]: 4).

Namun demikian, keutamaan-keutamaan itu hendaknya tidak membuat manusia lupa diri dan semena-mena tanpa batas mengeksploitasi alam semesta di luar ambang batas daya dukungnya karena alam semesta paling taat dan paling ikhlas di dalam mendirikan shalat.

Makhluk makrokosmos tidak pernah mengusik pengabdian kepada Tuhannya dengan membanggakan diri  (istikbar), dengan mengunggulkan asal usul kejadiannya, sebagaimana dilakukan iblis.

“Hai iblis, apakah yang menghalangimu sujud kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku? Apakah kamu  menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS Shad [38]:74).

Makhluk makrokosmos juga tidak pernah mengangkat diri tinggi-tinggi (‘alin), dengan mengunggulkan prestasi spiritualnya, sebagaimana dilakukan Malaikat. “(Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman  kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku ingin menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’

Mereka berkata, ‘Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?’  Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).

Dalam hadis, sebagaimana dikutip dari Imam al-Gazali, disebutkan setelah malaikat mengungkit prestasi spiritual mereka, mereka “diusir” dari halaman Istana ‘Arasy, lalu turun ke miniatur ‘Arasy yang dipersiapkan Tuhan di Baitul Makmur.

Sesungguhnya manusia harus malu kepada makhluk makrokosmos karena ternyata manusia menggabungkan kedua sifat-sifat tercela dari iblis (istikbar) dan malaikat (‘alin).

Sinyalemen banyak ayat dalam Alquran dan dalam kenyataan manusia banyak berperilaku angkuh (istikbar) dan suka mengangkat diri tinggi-tinggi karena prestasi (‘alin).

Manusia harus banyak belajar tawadhu sebagai bekas sujud (atsar sujud) sebagaimana makhluk makrokosmos. Bahkan manusia menambahkan satu lagi sifat tercela, yaitu ambisi.

Hal ini tercermin di  dalam ayat, “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat lalim dan amat bodoh”. (QS al-Ahzab [33]:72).

Lebih khusus lagi manusia tidak boleh membanggakan diri dengan munculnya tanda-tanda hitam di jidat dengan klaim sebagai bekas sujud (atsar sujud) sebab tanda bekas sujud yang dimaksud di dalam Alquran ialah Simahum fi wujuhihim min atsar al-sujud, yaitu tanda bekas sujud tercermin pada keseluruhan wajah (wujuh, bentuk jamak dari kata wajhun), bukannya dikatakan simahum fi jabhatin min atsharis sujud.

Jidat dalam bahasa Arab ialah jabhatun. Sedangkan, penggunaan kata wajhun (wajah) dalam Alquran termasuk lafaz musytarak, yang memilki banyak makna.

Perbuatan dengan sengaja menghitamkan jidat boleh jadi perbuatan dosa karena merusak keindahan ciptaan Allah SWT. Lain halnya kalau tanda hitam itu muncul betul-betul alami karena bekas keseringan sujud maka tentu Allah SWT Maha Mengetahui.

Konsep atsar al-sujud lebih merupakan pantulan atau resonansi shalat di dalam perilaku sehari-hari di kelompok sosial manapun yang kita dikategorikan. Wallahu a’lam.

Redaktur : Chairul Akhmad

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar