Kamis, 22 Agustus 2013

Prioritas Silaturahim, untuk Siapa?

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Prioritas Silaturahim, untuk Siapa?

Silaturahim keluarga

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Nashih Nashrullah
Silaturahim hendaknya diprioritaskan untuk keluarga terdekat.

Tradisi bersilaturahim dengan berbagai bentuk dan media yang berlaku di Tanah Air patut diapresiasi. Ritual mudik tahunan ke keluarga, saling berkunjung, dan bertemu, disertai dengan maaf-memaafkan memang dianggap sebagai salah satu fenomena menggembirakan. Pemandangan serupa juga banyak dijumpai di belahan negara-negara berpopulasi Muslim.

Namun, sebut Syekh Abdullah bin Shalih al-Qushair dalam Tadzkir al-Anam bi Sya'ni Shillat al-Arham, inti bersilaturahim bukan sekadar rutinitas tahunan yang tak berkelanjutan.

Hakikat silaturahim adalah munculnya kepekaan dan solidaritas antarsesama. Terutama, bagi mereka yang membutuhkan.

Dalam pengertian bahasa, rahim adalah tempat janin tumbuh dan berkembang. Pengertian ini kemudian diperluas, mencakup siapa saja, tak hanya kerabat dekat, tetapi juga sesama. Kedudukan rahim tersebut, menuntut adanya kasih sayang antarunsur yang ada.

Ini seperti ditegaskan di surah an-Nisaa' ayat 1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya, Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Ayat tersebut, seperti dinukilkan oleh Imam Muslim, pernah dibaca oleh Rasulullah SAW saat berkhutbah merespons keberadaan sejumlah anggota suku Mudhir yang berdatangan dengan kondisi memperihatikan. Mereka tak berbusana dan sangat kumuh.

Benar saja, mengutip pernyataan Imam an-Nawawi, bahwa ayat tersebut sengaja dibaca Nabi SAW untuk mengingatkan, pada dasarnya tak ada perbedaan mencolok dari esensi manusia.

Mereka diciptakan dari tempat yang satu, yaitu rahim. Karenanya, keterikataan tersebut mestinya menimbulkan rasa kasih sayang dan saling berbagi solusi atas segala persoalan.

Syekh Abdullah menegaskan, sayangnya logika dan prioritas silaturahim tersebut sering terpeleset. Sebagian orang, misalnya, lebih mementingkan kolega ketimbang orang tua, atau kakak dan adik kandung, misalnya.

Tak jarang pula, sejumlah kalangan mengedepankan rekanan bisnis dan jaringan di birokrisi, melebihi prioritasnya dengan keluarga.

Hal ini, tentu berseberangan dengan tuntunan agama. Islam, mengajarkan prioritas silaturahim adalah keluarga. Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan tetangga yang jauh. (QS an-Nisaa' [4]:36).

Kembali mengutip pernyataan Imam an-Nawawi, Syekh Abdullah menjelaskan, hendaknya memprioritaskan keluarga inti. Tentunya, yang menduduki peringkat pertama adalah ibu kandung, kemudian ayah kandung.

Di tingkatan berikutnya adalah anak-anak kandung, kemudian kakek atau nenek. Menyusul kemudian, saudara kandung, baik laki-laki atau perempuan dan segenap kerabat yang masih mahram, seperti paman dan bibi. Demikian seterusnya.

Sebagaimana hadis yang dinukilkan Bukhari dan Imam Ahmad, dari Miqdam bin Ma'dikariba, sesungguhnya Allah SWT berwasiat agar kebaikan ditujukan untuk ibu kandung, setelah itu bapak kandung. Lalu, disusul dengan kerabat sesuai tingkat kedekatan hubungan nasabnya.

Bersilaturahim, ujar Syekh Abdullah, bentuknya bisa bermacam-macam. Pada intinya adalah menghadirkan kebaikan dan kasih sayang untuk mereka.

Imam Ibn Abi Hamzah, memerinci apa saja bentuk silaturahim tersebut, di antaranya, membantu finansial, menghilangkan kesulitan, menebar senyuman, hingga doa. Termasuk, berziarah ke tempat tinggal yang bersangkutan.

Berusahalah menjadi yang terdepan kala ia ditempa kesulitan. Jenguklah dia saat sakit menderanya. Apa pun bentuk silaturahim tersebut, akan tetap diganjar selama tidak melebihi batas kemampuan seseorang. Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]: 286).

Adakalanya, ungkap Syekh Abdullah, niatan tulus untuk merajut dan mempererat tali silaturahim tersebut tidak disambut baik oleh yang bersangkutan. Bahkan, acap kali di balas dengan sikap dingin dan tak jarang berbalas keburukan.

Tetaplah berusaha untuk menjalin silaturahim tersebut, apa pun reaksinya. Dan, bersabarlah. Karena, ganjaran menanti orang-orang yang bersabar dalam kebaikan. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS Yusuf [39]: 10).   

Karena, ingatlah, kata Syekh Abdullah, di sinilah kesungguhan dan ketulusan silaturahim tersebut diuji. Apa motif dan sejauh manakah keikhlasannya. Bila niatan bersilaturahim tersebut adalah tulus, ia akan mudah melewatinya.

Begitu sebaliknya, bila motif bersilaturahim ialah kepentingan duniawi, ia akan susah melaluinya. Sebab, bagaimanapun, seperti ditegaskan hadis riwayat Bukhari dan Abu Dawud, pesilaturahim sejati adalah mereka yang tetap mempertahankan silaturahim, sekalipun pihak yang dituju berusaha memutusnya.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar