عَنْ مُعَاذِ
بْنِ جَبَلٍ
رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ ؛
قَالَ : قُلْتُ
: يَا رَسُوْلَ
اللهِ ! أَخْبِرْنِـيْ
بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِـيْ
الْـجَنَّةَ ،
وَيُبَاعِدُنِـيْ مِنَ
النَّارِ. قَالَ
: «لَقَدْ سَأَلْتَ
عَنْ عَظِيْمٍ
، وَإِنَّهُ
لَيَسِيْرٌ عَلَى
مَنْ يَسَّرَهُ
اللهُ تَعَالَـى
عَلَيْهِ : تَعْبُدُ
اللهَ لاَ
تُشْرِكُ بِهِ
شَيْئًا ،
وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ
، وَتُؤْتِي
الزَّكَاةَ ،
وَتَصُوْمُ رَمَضَانَ
، وَتَحُجُّ
الْبَيْتَ». ثُمَّ
قَالَ : «أَلاَ
أَدُلُّكَ عَلَـى
أَبْوَابِ الْـخَيْرِ
؟ الصَّوْمُ
جُنَّةٌ ،
وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ
الْـخَطِيْئَةَ كَمَـا
يُطْفِئُ الْـمَـاءُ
النَّارَ ،
وَصَلاَةُ الرَّجُلِ
فِـيْ جَوْفِ
اللَّيْلِ» ،
ثُمَّ تَلاَ
: تَتَجَافَـى جُنُوْبُهُمْ
عَنِ الْـمَضَاجِعِ
يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ
خَوْفًا وَطَمَعًا
وَمِمَّـا رَزَقْنَاهُمْ
يُنْفِقُوْنَ فَلاَ
تَعْلَمُ نَفْسٌ
مَآ أُخْفِيَ
لَــهُمْ مِنْ
قُرَّةِ أَعْيُنٍ
جَزَآءً بِـمَـا
كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
[السجدة : ١٦-١٧]. ثُمَّ قَالَ
: «أَلاَ أُخْبِرُكَ
بِرَأْسِ اْلأَمْرِ
، وَعَمُوْدِهِ
، وَذِرْوَةِ
سَنَامِهِ ؟»
قُلْتُ : بَلَـى
يَا رَسُوْلَ
اللهِ. قَالَ
: «رَأْسُ اْلأَمْرِ
اْلإِسْلاَمُ ،
وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ
، وَذِرْوَةُ
سَنَامِهِ الْـجِهَادُ».
ثُمَّ قَالَ
: «أَلاَ أُخْبِرُكَ
بِمِلاَكِ ذَ
لِكَ كُلِّهِ
؟». قُلْتُ
: بَلَـى يَا
رَسُوْلَ اللهِ.
فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ
، ثُمَّ
قَالَ : «كُفَّ
عَلَيْكَ هَذَا».
قُلْتُ : يَا
نَبِيَّ اللهِ
! وَإِنَّا لَـمُؤَاخَذُوْنَ
بِـمَـا نَتَكَلَّمُ
بِهِ ؟
فَقَالَ : «ثَكِلَتْكَ
أُمُّكَ يَا
مُعَاذُ ! وَهَلْ
يَكُبُّ النَّاسَ
فِـى النَّارِ
عَلَـى وُجُوْهِهِمْ
– أَوْقَالَ : عَلَـى
مَنَاخِرِهِمْ – إِلاَّ
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ».
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ
وَقَالَ : حَدِيْثٌ
حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu , ia
berkata, “Wahai Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku
ke surga dan menjauhkanku dari neraka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Sungguh, engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, namun itu
mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya, yaitu:
engkau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dan tidak mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan
haji ke Baitullah.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah perisai,
sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api, dan shalat
seseorang di tengah malam.” Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca firman Allah Azza wa Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya,
mereka berdoa kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka
menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka, tidak
seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu
(bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa
yang mereka kerjakan.” (as-Sajdah/32:16-17). Kemudian Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala
perkara, tiang-tiang, dan puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah
Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah engkau aku jelaskan mengenai
hal yang menjaga itu semua?” Aku menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini
(lidah).” Aku berkata, “Wahai Nabiyullâh, apakah kita akan disiksa karena apa
yang kita katakan?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla menyayangi ibumu, wahai Mu’adz! bukanlah
manusia terjungkir di neraka di atas wajah mereka -atau beliau bersabda: di
atas hidung mereka- melainkan dengan sebab lisan mereka.” [Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Hadits ini hasan shahîh]”
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini shahîh dengan seluruh jalannya, diriwayatkan
oleh:
1. Ahmad 5/230, 236, 237, 245
2. At-Tirmidzi no. 2616
3. An-Nasâ-i dalam As-Sunanul Kubra no. 11330
4. Ibnu Mâjah no. 3973
5. ‘Abdurrazzâq dalam Al-Mushannaf no. 20303
6. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitâbul Imân no. 1, 2
7. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra 9/20
8. Ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 20/no. 200, 291,
294, 304, 305
9. Al-Hâkim 2/412-413
10. Ibnu Hibbân no. 214-At-Ta’lîqâtul Hisân
SYARAH HADITS
AMAL SHALIH SEBAGAI SEBAB MASUK SURGA
Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu , “Wahai
Rasulullâh! Jelaskan kepadaku amal perbuatan yang memasukkanku ke surga dan
menjauhkanku dari neraka?”
Dalam riwayat Imam Ahmad tentang hadits Mu`âdz bin
Jabal Radhiyallahu anhu disebutkan bahwa ia berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ!
إِنِّـيْ أُرِيْدُ
أَنْ أَسْأَلَكَ
عَنْ كَلِمَةٍ
قَدْ أَمْرَضَتْنِيْ
وَ أَسْقَمَتْنِيْ
وَأَحْرَقَتْنِيْ. قَالَ
: «سَلْ عَمَّـا
شِئْتَ» قَالَ
: أَخْبِرْنِـيْ بِعَمَلٍ
يُدْخِلُنِـي الْـجَنَّةَ
لاَ أَسْأَلُكَ
غَيْرَهُ
Wahai Rasulullâh! Aku ingin bertanya kepadamu tentang
satu kalimat yang telah membuatku sakit, menderita, dan sedih.” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Tanyakan apa saja yang engkau kehendaki.” Mu’âdz
bin Jabal Radhiyallahu anhu berkata, “Jelaskan kepadaku tentang satu perbuatan
yang memasukkanku ke surga dan aku tidak bertanya kepadamu selain pertanyaan
ini?
Ini menunjukkan kuatnya perhatian dan kepedulian
Mu`âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu terhadap amal-amal shaleh, dan di dalamnya
terdapat dalil bahwa amal-amal menjadi penyebab seseorang masuk ke surga,
seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla.
وَتِلْكَ الْجَنَّةُ
الَّتِي أُورِثْتُمُوهَا
بِمَا كُنْتُمْ
تَعْمَلُونَ
Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu
disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.” [az-Zukhruf/43:72]
Adapun sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
لَنْ يَدْخُلَ
الْـجَنَّةَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ بِعَمَلِهِ
Salah seorang dari kalian tidak akan masuk surga
karena amalnya.[1]
Maksudnya, wallâhu a`lam, bahwa amal itu sendiri
tidak membuat seseorang berhak atas surga jika Allah Azza wa Jalla tidak
menjadikan amalnya dengan karunia dan rahmatnya sebagai penyebab dirinya masuk
surga. Amal merupakan rahmat Allah Azza wa Jalla dan karunianya kepada
hamba-Nya. Jadi, surga dan penyebab-penyebabnya, semua berasal dari karunia dan
rahmat Allah Azza wa Jalla .
PERKARA YANG BESAR
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Sungguh, engkau bertanya tentang sesuatu yang besar.”
Masuk surga dan selamat dari neraka adalah sesuatu yang
sangat agung, karena ia adalah kesuksesan yang hakiki. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
فَمَنْ زُحْزِحَ
عَنِ النَّارِ
وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ
فَقَدْ فَازَ
ۗ وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا
إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ
Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke
dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan [Ali Imrân/3:185]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepada seseorang, “Apa yang engkau ucapkan jika engkau shalat?” Orang tersebut
menjawab, “Aku meminta surga kepada Allah Azza wa Jalla dan berlindung
kepada-Nya dari neraka. Aku tidak mampu melakukan sebaik seruanmu dan seruan
Muadz z .” Orang itu mengisyaratkan betapa banyaknya doa dan usaha beliau dan
Muadz z dalam meminta. Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “ Di seputar itulah seruan kami.” Dalam riwayat lain, “Tidaklah
seruanku dan seruan Mu`adz z melainkan kami meminta surga kepada Allah Azza wa
Jalla dan berlindung kepada-Nya dari neraka”[2]
Selamat dari neraka jahannam adalah perkara yang
besar karena manusia yang paling ringan siksanya di neraka ialah seseorang yang
diletakkan batu panas di bawah kedua mata kakinya lalu otaknya mendidih
karenanya. Karena itulah Allah Azza wa Jalla mengutus para rasul kepada
hamba-hamba-Nya agar mereka menjadi sebab keselamatan manusia dari neraka dan
sukses mendapat surga. Oleh karena itu, para nabi mampu memikul beban berat
yang tidak dapat dipikul oleh gunung-gunung yang kokoh.[3]
HIDAYAH TAUFIQ HANYA MILIK Allah Azza wa Jalla
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Namun
itu mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla di dalamnya.”
Sabda beliau ini merupakan isyarat bahwa hidayah taufik
seluruhnya berada di tangan Allah Azza wa Jalla . Siapa saja yang diberi
kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia
mendapatkan petunjuk dan siapa saja yang tidak diberikan kemudahan oleh Allah
Azza wa Jalla untuk memperoleh hidayah, maka ia tidak memperoleh petunjuk.
Allah Azza wa Jalla berfirman,
فَأَمَّا مَنْ
أَعْطَىٰ وَاتَّقَىٰ
وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى
ٰفَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَىٰ
وَأَمَّا مَنْ
بَخِلَ وَاسْتَغْنَى
ٰوَكَذَّبَ بِالْحُسْنَىٰ
فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَىٰ
Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah)
dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan
Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang
yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah) serta
mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju
kesukaran (kesengsaraan).” [al-Lail/92:5-10]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِعْمَلُوْا
فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
لِـمَـا خُلِقَ
لَهُ ،
أَمَّا أَهْلُ
السَّعَادَةِ ؛
فَيُيَسَّرُوْنَ لِعَمَلِ
أَهْلِ السَّعَادَةِ
، وَأَمَّا
أَهْلُ الشَّقَاوَةِ
؛ فَيُيَسَّرُوْنَ
لِعَمَلِ أَهْلِ
الشَّقَاوَةِ
Beramallah kalian! Karena segala hal dipermudah kepada
apa yang diciptakan untuknya. Adapun orang-orang yang bahagia, mereka
dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang bahagia dan sedang orang-orang
celaka dipermudah kepada amal perbuatan orang-orang celaka.
Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membaca ayat di atas.[4]
Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang Nabi Mûsa
Alaihissallam yang berkata dalam doanya.
رَبِّ
اشْرَحْ لِي
صَدْرِي وَيَسِّرْ
لِي أَمْرِي
Wahai Rabb-ku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah
untukku urusanku [Thâhâ/20:25-26]
RUKUN ISLAM
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
pun, melaksanakan shalat, membayar zakat, berpuasa Ramadhan, dan haji ke
Baitullâh.”
Jawaban Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
menunjukkan bahwa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama adalah sebagai sebab
masuk surga. Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam hadits
ini rukun Islam yang lima.
PINTU-PINTU KEBAIKAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan?”
Karena, masuk surga dan dijauhkan dari neraka itu
disebabkan mengerjakan kewajiban-kewajiban Islam, maka setelah itu Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan ibadah-ibadah sunnah yang merupakan
pintu-pintu kebaikan. Sebab, wali-wali Allah Azza wa Jalla yang paling mulia
adalah al-muqarrabûn, yaitu orang-orang yang mendekatkan diri kepada Allah Azza
wa Jalla dengan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan
ibadah-ibadah wajib.
1. PUASA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Puasa
adalah perisai.”
Sabda di atas diriwayatkan dari Nabi n dari banyak
jalur. Sabda tersebut diriwayatkan dalam Shahîhul-Bukhâri dan Shahîh Muslim
dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Puasa adalah perisai selagi tidak dirobek, yakni
dirobek dengan perkataan jelek dan lain sebagainya. Oleh karena itu, Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلصَّوْمُ
جُنَّةٌ ،
فَإِذَا كَانَ
يَوْمُ صَوْمِ
أَحَدِكُمْ فَلاَ
يَرْفُثْ فَلاَ
يَجْهَلْ ،
إِنِ امْرُؤٌ
سَابَّهُ فَلْيَقُلْ
: إِنِّـي امْرُؤٌ
صَائِمٌ
Puasa adalah perisai, karenanya, pada hari puasa salah
seorang dari kalian maka ia tidak boleh berkata jelek, membodohkan. Dan jika ia
dihina seseorang maka hendaklah ia berkata, ‘Aku orang yang berpuasa.[5]’
Ibnul Munkadir rahimahullah berkata, “Jika orang
berpuasa melakukan ghibah (menggunjing orang lain), maka puasanya menjadi
robek. Jika ia beristighfar, ia menambalnya.”[6]
Perisai ialah sesuatu yang digunakan oleh seorang hamba
sebagai tameng seperti perisai yang melindunginya dari pukulan ketika
berperang. Puasa juga demikian, ia melindungi pelakunya dari berbagai
kemaksiatan di dunia, seperti difirmankan Allah Azza wa Jalla,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ
عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa. [al-Baqarah/2:183]
Jika puasa merupakan perisai dari
kemaksiatan-kemaksiatan bagi seorang hamba di dunia, maka puasa merupakan
perisai baginya dari neraka. Jika seseorang tidak mempunyai perisai dari kemaksiatan-kemaksiatan
di dunia, ia tidak mempunyai perisai dari neraka di akhirat.[7]
Seorang Muslim disyari’atkan melakukan puasa yang wajib
di bulan Ramadhan kemudian dianjurkan melakukan puasa-puasa sunnah, di
antaranya:
Puasa hari ‘Asyura (tanggal 10 Muharram)
Puasa hari ‘Arafah bagi selain jama’ah haji.
Puasa hari Senin dan Kamis.
Puasa tiga hari di setiap bulan.
Puasa Nabi Dawud.
Puasa enam hari di bulan Syawwal.
Puasa di bulan Sya’ban.
2. SEDEKAH [8]
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Sedekah memadamkan kesalahan sebagaimana air memadamkan api.”
Sabda beliau ini diriwayatkan juga dari jalur-jalur
periwayatan lainnya. Diriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu, dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
اَلصَّوْمُ
جُنَّةٌ حَصِيْنٌ
، وَالصَّدَقَةُ
تُطْفِئُ الْـخَطِيْئَةَ
كَمَـا يُطْفِئُ
الْـمَـاءُ النَّارَ
Puasa adalah perisai yang kokoh dan sedekah memadamkan
sesalahan sebagaimana air memadamkan api.[9]
Allah Azza wa Jalla berfirman,
إِنْ
تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ
فَنِعِمَّا هِيَ
ۖ وَإِنْ
تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا
الْفُقَرَاءَ فَهُوَ
خَيْرٌ لَكُمْ
ۚ وَيُكَفِّرُ
عَنْكُمْ مِنْ
سَيِّئَاتِكُمْ ۗ
Jika kamu menampakkan sedekah-sedekah kamu maka itu
baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang
fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian
kesalahan-kesalahanmu...” [al-Baqarah/2:271]
Firman Allah Azza wa Jalla ini menunjukkan bahwa
sedekah menghapus kesalahan-kesalahan, baik sedekah yang tampak atau sedekah
secara rahasia, selama dilakukan ikhlas semata-mata karena Allah Azza wa Jalla
.
3. SHALAT MALAM
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Dan
shalat seseorang di tengah malam.”
Maksudnya, shalat juga menghapuskan kesalahan
sebagaimana halnya sedekah.
Di sabdanya tersebut, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan waktu terbaik melaksanakan shalat Tahajjud di malam hari,
yaitu tengah malam. Diriwayatkan dari Abu ‘Umâmah Radhiyallahu anhu
قِيْلَِ
: يَا رَسُوْلَ
اللهِ ! أَيُّ
الدُّعَاءِ أَسْمَعُ
؟ قَالَ
: «جَوْفُ اللَّيْلِ
الْآخِرِ ،
وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ
الْـمَكْتُوْبَاتِ»
Dikatakan, ‘Wahai Rasulullâh! Doa apakah yang paling
didengar?’ Beliau menjawab, ‘Di tengah malam terakhir dan setelah shalat-shalat
wajib.’[10]
Ada yang mengatakan bahwa jika tengah malam
dimutlakkan, maka yang dimaksud ialah pertengahan malam. Jika dikatakan,
“Tengah malam terakhir.” Maka yang dimaksud adalah tengah malam kedua, yaitu
1/3 malam terakhir Waktu itulah saat turunnya Allah Azza wa Jalla ke langit
dunia.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصَّلاَةِ بَعْدَ
الْفَرِيْضَةِ صَلاَةُ
اللَّيْلِ
Shalat terbaik setelah shalat wajib adalah shalat malam
(qiyâmul lail).[11]
Qiyâmul lail juga menghapuskan kesalahan-kesalahan
karena qiyâmul lail adalah shalat sunnah terbaik. Rasulullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ
بِقِيَامِ اللَّيلِ
فَإِنَّهُ دَأْبُ
الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ
، وَإِنَّ
قِيَامَ اللَّيْلِ
قُرْبَةٌ إِلَـى
اللهِ عَزَّ
وَجَلَّ ،
وَمَنْهَاةٌ عَنِ
اْلإِثْمِ ،
وَتُكَفِّرُ السَّيِّئَاتِ
، وَمَطْرَدَةٌ
لِلدَّاءِ عَنِ
الْـجَسَدِ
Hendaklah kalian mengerjakan qiyâmul lail, karena
qiyâmul lail adalah kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian, ibadah
pendekat kepada Allah Azza wa Jalla , pencegah dari dosa, penghapus
kesalahan-kesalahan, dan pengusir penyakit dari badan.[12]
Perkataan Mu’âdz bin Jabal Radhiyallahu anhu ,
“Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa
Jalla , “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, mereka berdoa kepada
Rabb-nya dengan rasa takut dan penuh harap, dan mereka menginfakkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui
apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang
menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.”
[as-Sajdah/32:16-17]
Maksudnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan kedua ayat di atas setelah menyebutkan shalat malam untuk
menjelaskan keutamaan shalat malam. Karena, Allah Azza wa Jalla memuji
orang-orang yang bangun di tengah malam ketika manusia sedang tidur, ia
melakukan shalat malam dan berdoa kepada Allah Azza wa Jalla .
Pujian ini mencakup orang yang tidak tidur sampai fajar
terbit kemudian mengerjakan shalat Shubuh, terutama ketika itu rasa kantuk
ingin tidur begitu kuat. Oleh karena itu, muadzdzin disyariatkan membaca,
“Ash-shalâtu khairun minan naûm (shalat lebih baik daripada tidur) di adzan
Shubuhnya.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang
orang-orang yang menunggu shalat ‘Isyâ,
إِنَّكُمْ
لَنْ تَزَالُوْا
فِـيْ صَلاَةٍ
مَا انْتَظَرُوْا
الصَّلاَةَ
Sesungguhnya kalian selalu dalam shalat selama kalian
menunggu shalat.[13]
POKOK SEGALA PERKARA, TIANG-TIANGNYA, DAN PUNCAKNYA
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Maukah engkau aku jelaskan tentang pokok segala perkara, tiang-tiangnya, dan
puncaknya?” Aku berkata, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Pokok segala perkara adalah Islam, tiang-tiangnya adalah
shalat, dan puncaknya adalah jihad.”
Pada hadits di atas, Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan tiga hal: pokok segala sesuatu, tiangnya, dan puncaknya.
Adapun pokok segala perkara dan yang dimaksud dengan
perkara dalam hadits di atas ialah agama yang dibawa oleh Rasulullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Islam. Perkara tersebut diriwayat lain
ditafsirkan dengan dua kalimat syahadat. Jadi, barangsiapa tidak mengakui
keduanya lahir-batin, ia tidak termasuk bagian dari Islam.[14]
Kedudukan dua kalimat syahadat dalam agama Islam ialah
seperti kedudukan kepala bagi seluruh anggota tubuh. Apabila kepala telah
putus, maka tidak ada kehidupan bagi manusia setelahnya. Demikian pula tidak
ada agama bagi orang yang tidak menetapkan dua kalimat syahadat.[15]
Tiang agama yang menjadikan agama Islam tegak ialah
shalat, sebagaimana tenda tegak di atas tiang-tiangnya. Demikian pula agama
seorang hamba tidak akan tegak tanpa shalat.
Sedang puncak perkara ialah jihad. Ini menunjukkan
bahwa jihad adalah amal perbuatan terbaik setelah ibadah-ibadah wajib, seperti
dikatakan Imam Ahmad rahimahullah dan para Ulama lainnya.[16]
Kedudukan jihad adalah kedudukan yang paling tinggi
dalam Islam, karena dengan jihad kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi yang
paling tinggi, agama Islam menang di atas seluruh agama, dan melenyapkan pelaku
kebatilan dari kalangan munafik, Yahudi, dan Nasrani.[17]
Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu berkata,
يَا
رَسُوْلَ اللهِ
! أَيُّ الْعَمَلِ
أَفْضَلُ ؟
قَالَ : إِيْمَـانٌ
بِاللهِ وَجِهَادٌ
فِـيْ سَبِيْلِ
اللهِ
“Wahai Rasulullâh! Amal apakah yang paling baik?”
Beliau menjawab, “Iman kepada Allah Azza wa Jalla dan berjihad di
jalan-Nya.”[18]
Dan hadits-hadits yang semakna dengannya sangat banyak.
KEWAJIBAN MENJAGA LISAN
Sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
“Maukah engkau aku jelaskan tentang sesuatu yang dapat menjaga itu semua?” Aku
menjawab, “Mau, wahai Rasulullâh.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memegang lidahnya kemudian bersabda, “Jagalah ini (lidah)…” sampai akhir hadits
Ini menunjukkan bahwa menjaga lisan, berhati-hati dalam
berbicara, dan memenjarakannya merupakan inti seluruh kebaikan. Barangsiapa
mampu mengendalikan lidahnya, maka ia menguasai perkaranya dan
mengendalikannya.[19]
Yang dimaksud dengan hasil lidah ialah balasan dan
hukuman atas perkataan yang diharamkan. Pada dasarnya, manusia menanam berbagai
kebaikan dan kesalahan dengan perkataan dan perbuatannya, kemudian pada hari
Kiamat ia menuai apa yang ia telah tanam. Barangsiapa menanam kebaikan, baik
berupa perkataan ataupun perbuatan, ia menuai kemuliaan. Dan barangsiapa
menanam keburukan, baik berupa perkataan dan perbuatan, kelak ia menuai
penyesalan.
Zhahir hadits Mu’âdz di atas menunjukkan bahwa sesuatu
yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah berkata dengan lidah. Di
antara hal yang termasuk perbuatan maksiat berupa perkataan ialah syirik, yang
merupakan dosa paling besar di sisi Allah Azza wa Jalla . Kemudian, berkata
tentang Allah Azza wa Jalla tanpa atas dasar ilmu; dan dosa seperti ini juga
setara dengan syirik. Kemudian persaksian palsu yang merupakan dosa besar.
Termasuk di dalamnya sihir, menuduh orang baik-baik melakukan zina, dan
dosa-dosa besar lainnya seperti berbohong, menggunjing, mengadu domba, dan
seluruh kemaksiatan yang berbentuk tindakan yang pada umumnya didukung
perkataan.[20]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَكْثَرُ
مَا يُدْخِلُ
النَّاسَ النَّارَ
اْلأَجْوَفَانِ : الْفَمُ
وَالْفَرْجُ
Yang paling banyak memasukkan manusia ke neraka ialah
dua hal: yaitu mulut dan kemaluan.[21]
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ
الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ
بِالْكَلِمَةِ مَا
يَتَبَيَّنُ فِيْهَـا
يَزِلُّ بِهَا
فِـي النَّارِ
أَبْعَدُ مِمَّـا
بَيْنَ الْـمَشْرِقِ
وَالْـمَغْرِبِ
Sesungguhnya seseorang mengatakan suatu ucapan yang
tidak ia perhatikan isinya, menyebabkan ia terjerumus ke neraka lebih jauh
daripada antara timur dan barat.[22]
Al-Hasan t berkata, “Lidah adalah komandan tubuh. Jika
lidah berbuat dosa kepada organ tubuh, maka organ tubuh menjadi berdosa. Jika
lidah menahan diri, organ tubuh menahan diri.” [23]
Yûnus bin ‘Ubaid t berkata, “Aku tidak melihat
seseorang di mana lidahnya berada di atas kebaikan, melainkan aku melihatnya
sebagai kebaikan di seluruh organ tubuhnya.”[24]
FAWAA-ID HADITS
1. Tingginya cita-cita dan kemauan dari Mu’adz bin
Jabal Radhiyallahu anhu dimana ia tidak bertanya kepada Rasulullâh tentang
dunia, tetapi bertanya tentang akhirat.
2. Menetapkan adanya surga dan neraka, dan mengimani
keduanya termasuk rukun iman.
3. Bahwa amal shalih itu memasukkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka karena Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan hal
ini.
4. Masuk surga dan dijauhkan dari neraka adalah perkara
yang besar, dan tujuan hidup seorang Mukmin adalah surga.
5. Hidayah taufik hanyalah milik Allah Azza wa Jalla .
6. Meskipun perkara tersebut agung (berat) tetapi hal
itu mudah bagi orang yang diberikan kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla .
7. Sudah selayaknya bagi manusia untuk memohon
kemudahan kepada Allah Azza wa Jalla dalam masalah agama dan dunianya karena
orang yang tidak diberi kemudahan oleh Allah Azza wa Jalla maka segala sesuatu
menjadi sulit baginya.
8. Hadits ini menyebutkan tentang rukun Islam yang
lima.
9. Kewajiban yang paling besar adalah beribadah kepada
Allah Azza wa Jalla , yaitu mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan menjauhkan
segala macam perbuatan syirik.
10. Puasa adalah perisai dari perbuatan dosa di dunia
dan perisai dari api neraka di akhirat. Karena itu haram bagi manusia melakukan
perbuatan dosa dan maksiat pada saat berpuasa. Ini menunjukkan keutamaan puasa.
11. Shadaqah itu menghapuskan kesalahan, dan ini
menunjukkan keutamaan serta anjuran untuk bersedekah, dan sedekah menghapuskan
kesalahan sebagaimana air memadamkan api.
12. Bertahap dalam memberikan pelajaran kepada manusia,
dengan memulai dari perkara yang paling penting kemudian yang penting dan
seterusnya.
13. Keutamaan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla
dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sesudah yang wajib.
14. Keutamaan orang yang bangun di tengah malam untuk
shalat malam (Tahajjud dan Witir), berdo’a, dan bermunajat kepada Allah Azza wa
Jalla dengan rasa harap dan cemas serta mohon ampunan kepada Allah Azza wa
Jalla di waktu sahur.
15. Hendaklah seseorang berdo’a kepada Allah Azza wa
Jalla dengan rasa harap dan cemas.
16. Pokok segala urusan, yaitu urusan dunia dan akhirat
adalah Islam.
17. Shalat adalah tiang agama, dan bangunan tidak
menjadi tegak kecuali dengannya. Dan hadits ini menunjukkan pentingnya masalah
shalat.
18. Keutamaan dan anjuran untuk berjihad. Jihad adalah
puncak agama Islam karena dengan jihadlah kalimat Allah Azza wa Jalla menjadi
tegak dan tinggi.
19. Bahwa kunci dari semua perkara di atas ialah
menjaga lisan.
20. Bahayanya lisan jika tidak dijaga karena bisa jadi
dengan satu kalimat yang dimurkai Allah Azza wa Jalla , menyebabkan seseorang
masuk neraka.
21. Di antara penduduk neraka, ada yang diseret di atas
wajah mereka. Wal’iyâdzu billâh. Nas-alullâha as-salâmah wal ‘âfiyah.
$MARAJI’
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Shahîhul-Bukhâri.
3. Shahîh Muslim.
4. Musnad Imam Ahmad.
5. Sunan Abu Dâwud.
6. Sunan at-Tirmidzi.
7. Sunan an-Nasâ-i.
8. Sunan Ibnu Mâjah.
9. Shahîh Ibnu Hibbân (At-Ta’lîqâtul Hisân.)
10. Hilyatul Auliyâ`, karya Abu Nu’aim.
11. Kitâbush Shamt, karya Ibnu Abid Dunya.
12. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab
al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâjis.
13. Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah,
karya Nâzhim Muhammad Sulthân.
14. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun
XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 5673 dan Muslim no.
2816 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[2]. Shahîh: HR. Ahmad 3/474, Abu Dâwud no. 792, Ibnu
Mâjah no. 910, 3847 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[3]. Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 256
[4]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1362, Muslim no. 2647,
Ahmad 1/82, Abu Dâwud no. 4694, at-Tirmidzi no. 2136, Ibnu Mâjah no. 78, dan
Ibnu Hibbân no. 334, 335- At-Ta’lîqâtul Hisân dari ‘Ali bin Abi Thâlib
Radhiyallahu anhu .
[5]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1894 dan Muslim no.
1151, dan Ibnu Hibbân no. 3416, 3427 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[6]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/139
[7]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/139
[8]. Tentang sedekah dan berbagai keutamaannya, silakan
lihat buku penulis SEDEKAH sebagai bukti keimanan dan penghapus dosa, cet. II
Pustaka at-Taqwa-Bogor.
[9]. Shahîh: HR. Ahmad 3/321, 399, at-Tirmidzi no. 614,
ath-Thabrâni dalam Al-Mu’jamul Kabîr 19/212, dan Ibnu Hibbân no.
1720-At-Ta’lîqâtul Hisân.
[10]. Hasan dengan berbagai penguatnya, HR. at-Tirmidzi
no. 3499, an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 108
[11]. Shahîh: HR. Muslim no. 1163 (202) dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu.
[12]. Hasan: HR. at-Tirmidzi no. 3549 dari Bilâl bin
Rabâh Radhiyallahu anhu.
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 572, Muslim no. 640,
Ahmad 3/267, Ibnu Hibbân no. 1537 dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu.
[14]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/145
[15]. Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 259
[16]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/146
[17]. Lihat Al-Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 259
[18]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2518, Muslim no. 84,
Ahmad 5/150, an-Nasâ-i 6/19, dan Ibnu Hibbân no. 152
[19]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/146
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/147
[21]. Shahîh: HR. Ahmad 2/291, 392, 442, at-Tirmidzi
no. 2004, Ibnu Mâjah no. 4246, al-Hâkim 4/324, dan Ibnu Hibbân no.
476-At-Ta’lîqâtul Hisân dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[22]. Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 6477, 6478, Muslim no.
2988, at-Tirmidzi no. 2314, dan Ibnu Hibbân no. 5676, 5677- At-Ta’lîqâtul Hisân
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu .
[23]. Kitâbush Shamt no. 59 karya Ibnu Abid Dunya.
[24]. Kitâbush Shamt no. 60, 653 karya Ibnu Abid
Dunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar