Kamis, 26 April 2018

blog

Agindk hdo;pu3end bsdg

Disclaimer:

Informasi dalam email ini termasuk lampiran(-lampirannya) mungkin mengandung informasi penting dan rahasia. Jika Anda bukan penerima yang dimaksud, segera beritahukan kepada pengirim dan hapus email ini dari sistem anda. Jika anda bukan penerima yang dimaksud, dengan ini anda diingatkan bahwa setiap tindakan pengungkapan, penyalinan, pendistribusian atau penggunaan informasi dalam email ini secara tidak sah adalah perbuatan yang terlarang.

(The contents of this email, together with its attachments, may be privileged and confidential. If you are not the intended recipient, please notify the sender immediately, and delete this e-mail from your system. If you are not the intended recipients, you are put on notice that any unauthorized disclosure, copying, distribution, or use of the contents of this electronic message is prohibited).

Selasa, 15 Juli 2014

Fadhilah Ramadhan

Fadhilah Ramadhan

Rabu, 02 Juli 2014, 01:57 WIB

Ramadhan (ilustrasi)

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Hasyim Muzadi
Hari ini, kita tengah berada pada minggu pertama bulan suci Ramadhan 1435 H. Menurut banyak riwayat, Allah SWT kadang membanggakan hamba-Nya di hadapan para malaikat.

Allah SWT berkehendak melakukan itu, tidak pada semua waktu, tidak di sembarang tempat, dan tidak kepada semua hamba.

Satu hal yang pasti, semua hamba harus berjuang, bermujahadah, dan berlatih memberi alasan bagi Allah agar Dia berkenan membanggakan kita.

Menurut sahabat Ubadah bin Shomit RA, pernah beberapa saat menjelang Ramadhan tiba, Rasulullah SAW mendatangi para sahabatnya.

Kepada para hamba terbaik yang selalu dibanggakan oleh Rasulullah SAW itu, beliau menjelaskan tentang keutamaan (fadhilah) Ramadhan. Pada bulan ini, kata Rasulullah, Allah SWT menurunkan keberkahan hidup bagi orang-orang yang mencarinya.

Kita memahami sesungguhnya hidup yang paling baik itu adalah kehidupan yang mendatangkan berkah. Sebab, dengan keberkahan itu, manusia akan senantiasa hidup dalam ketenangan dan kedamaian.

Hidup yang bergelimang harta dan kemewahan, namun tidak ada keberkahan di dalamnya, sesungguhnya itulah kehidupan yang kering. Hidup penuh ilmu, tapi tidak berkah dan tak nafi' (manfaat), hal itu akan menjauhkan pemiliknya dari Allah.

Hidup dengan derajat tinggi di mata masyarakat, namun tidak berkah, hanya akan memperoleh kenistaan di hadapan Allah.

Hidup dengan jabatan yang tinggi, namun tidak berkah, hanya akan mendapatkan laknat dari Allah. Karena itu, inti dari kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh berkah.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa pada Ramadhan, Allah akan menurunkan keberkahan yang tak terhingga.

Selain karena berkah, hidup terbaik adalah yang disaput rahmat Allah. Hidup tanpa dibarengi rahmah (kasih dan sayang) Allah juga merupakan kehidupan yang kering.

Hidup yang diperoleh bukan karena rahmat Allah adalah kehidupan yang tak bermakna. Dan, hidup yang terbaik, selain karena diliputi keberkahan dan rahmat, juga karena Allah mengampuni dosa-dosa kita.

Hidup bergelimang keberkahan, penuh rahmat, dan memperoleh pengampunan atas dosa-dosa bisa diusahakan semua Muslimin dan Muslimat.

Hidup semacam ini, kita bisa memohon kepada Allah SWT. Berharap agar permohonan lekas dikabulkan, caranya adalah dengan memanfaatkan datangnya Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan ini.

Sebab, pada bulan inilah, semua hamba Allah, berlomba-lomba melakukan kebaikan, Allah SWT kerap membanggakan itu di hadapan para malaikat.

Sebab itu, shoimin dan shoimat, mari kita bermujahadah pada bulan ini untuk mencari kehidupan yang berkah, penuh rahmat, dan pengampunan atas dosa-dosa agar Allah punya ‘alasan’ membanggakan kita di hadapan para malaikat-malaikat-Nya.

Bukankah makhluk paling baik ibadah dan pengabdiannya kepada Allah adalah para malaikat? Karena itu, Ramadhan ini harusnya menjadi tempat bagi kita untuk mencuci diri dari kerak dosa dan tempat bagi kita untuk mudik ke kampung halaman yang abadi, yakni Allah SWT. Wallahu a'lam.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Produktif di Bulan Puasa

Produktif di Bulan Puasa

·         Spiritual Leadership

Bulan puasa telah tiba. Umat Islam menyambut bulan ini dengan sukacita karena begitu banyak kemuliaan dan keberkahan. Namun dari sisi dunia kerja puasa kerap dituding sebagai saat di mana terjadi penurunan produktivitas kerja. Banyak karyawan masuk lebih siang, pulang lebih cepat, dan tertidur di meja kerja. Apakah hal itu memang wajar atau seharusnya terjadi?

Untuk membahas hal itu saya ingin memulainya dengan sebuah ilustrasi. Pernahkah Anda melihat bagaimana para seniman mencipta karya seninya? Saksikanlah bagaimana pelukis profesional saat menyapukan warna ke atas kanvas, atau pematung saat membuat goresan dan pahatan. Sedemikian asyiknya mereka, bahkan seakan tak peduli dengan sekelilingnya. Dia bisa lupa waktu bahkan juga bisa tidak merasakan lapar.

Energi yang digunakan bukan dari energi fisik berupa asupan makanan, tapi sesuatu yang dahsyat yang menimbulkan dorongan untuk mencurahkan segala ide, gairah, dan potensinya. Hasilnya sebuah mahakarya yang luar biasa, yang menggetarkan hati orang-orang yang melihatnya, bahkan melewati lintasan abad dan zaman.

Demikian juga pemusik profesional saat berlatih, mereka menghabiskan ribuan jam dengan penuh kegairahan dan sangat menikmatinya. Saat pertunjukkan tiba, mereka pun flow hingga seolah berada di dunia lain.

Mereka yang sukses, selalu tampak menikmati apa yang dikerjakannya. Lalu bila para seniman atau pemusik bisa berada di puncak pengalaman kinerja seperti di atas, bagaimana dengan karyawan yang bekerja di perusahaan? Apa yang harus dilakukan pihak manajemen agar tercipta kondisi mental sebagaimana para seniman atau pemusik?

Lembaga konsultan SDM selama ini sibuk mempelajari bagaimana agar terjadi peningkatan kinerja pada karyawan sehingga mereka tidak hanya bekerja karena beban atau menunggu gajian. Para konsultan ini mencari formula terbaik bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang menginspirasi dan menimbulkan energi luar biasa yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan produktivitas individu.

Sedemikian lama dunia meyakini bahwa kunci kesuksesan seseorang di dunia kerja adalah karena kecerdasan intelektualnya. Karena itu perangkat penyeleksian karyawan selalu berdasarkan test IQ. Keadaan ini berubah kemudian ketika penelitian membuktikan ternyata peran IQ hanya 6-20%. Sejak itulah dimulai era EQ atau kecerdasan emosi.

Namun kemudian muncul kesadaran baru bahwa ada sesuatu yang diperlukan dan sangat penting bagi terciptanya kondisi kinerja terbaik. IQ dan EQ saja ternyata tidak cukup. Dalam riset McKinsey jawaban terbanyak dari para eksekutif tentang kinerja puncak pada 10 tahun terakhir hanya sedikit berkaitan dengan IQ dan EQ.

Hal yang dianggap penting dan berpengaruh pada kinerja puncak adalah, kegairahan, tantangan, dan sesuatu yang dianggap berharga dalam hidup. Semua itu akan membuat perbedaan dalam kinerja mereka.

Karena itu kini muncul istilah untuk menyebut kategori ketiga dalam bekerja yang dikenal sebagai Meaning Quotient (MQ). Jika MQ di sebuah lingkungan perusahaan rendah, pekerja akan memberikan lebih sedikit energi pada pekerjaannya, dan memandang pekerjaan ’hanya sebuah pekerjaan’ yang memberi mereka gaji.

Dengan menyadari makna bekerja seorang karyawan memahami bahwa yang mereka kerjakan adalah sesuatu ‘yang berarti’, yang membuat mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan benar-benar penting, atau bahwa hal itu akan membuat perubahan yang berarti untuk orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa makna seperti itu mendorong produktivitas kerja yang lebih tinggi.

Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi meneliti secara berbeda keadaan mental yang memunculkan performa luar biasa dalam seni, olahraga, bisnis, atau seni. Dari penelitiannya dia menyimpulkan bahwa kemampuan inti mereka untuk memenuhi tujuan atau tantangan menciptakan sesuatu yang dia sebut, ‘flow’.

Dia menemukan bahwa orang yang sering mengalaminya lebih produktif dan menemukan kepuasan yang lebih besar. Mereka menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiri untuk meningkatkan kemampuan mereka, sehingga seolah menimbulkan energi tak terbatas. Mereka menunjukkan kesediaan untuk mengulang pekerjaan bahkan jika mereka tidak dibayar untuk melakukannya.

Apa yang dikatakan tentang ‘flow’ ternyata serupa dengan MQ. Penelitian menunjukkan bahwa jika karyawan bekerja di lingkungan dengan IQ, EQ, dan MQ yang tinggi, maka akan lima kali lebih produktif dibandingkan rata-rata lainnya.

Membahas mengenai MQ, sesungguhnya sama dengan apa yang saya paparkan tentang pentingnya Spiritual Quotien (SQ). SQ adalah kecerdasan manusia yang mampu memaknai segala sesuatu. SQ dapat mengatasi persoalan manusia ketika IQ dan EQ sudah tak mampu lagi diandalkan. Inilah yang diperlukan para karyawan perusahaan.

Kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan jauh dari sekedar materi dan untuk kepentingan pribadi, namun juga memberi dampak luas pada pelanggan dan masyarakat luas bahkan sebagai pengabdian pada Sang pencipta. Jika bekerja sudah dimaknai sebagai pengabdian dan ibadah pada Sang Pencipta, maka bulan puasa seharusnya tidak menjadi halangan namun justru memacu produktivitas kerja.

Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165

 

Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan

Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan

Monday, 30 June 2014, 15:39 WIB

Pada dasarnya jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia.

 

REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama berbeda pendapat mengenai dasar-dasar akhlak mulia. Ada ulama yang mengatakan bahwa akhlak mulia adalah tabiat alamai seseorang yang tidak bisa dibuat-buat karena merupakan karunia dari Allah.

Namun, ada pula ulama yang beranggapan, akhlak mulia adalah watak yang terbentuk, sehingga dapat diraih dengan cara giat berlatih dan membiasakan diri secara intens.

Mahmud al-Mishri dalam karyanya Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW berpendapat, tabiat dan kebiasaan sesungguhnya saling mendukung. Menurutnya, ini adalah opini yang paling mendekati kebenaran.

Sebagian akhlak mulia, kata dia, bisa saja disebut sebagai tabiat alami yang dianugerahkan Allah kepada seseorang. Pada kasus ini, seseorang mungkin tidak perlu lagi berlatih atau membiasakan diri untuk ‘menjadi baik’. 

“Karena itu, orang yang tidak dikaruniai kelabihan ini dituntut untuk melawan hawa nafsunya dan melatih diri untuk berakhlak mulia,” tulis al-Mishri.

Pada dasarnya, lanjut al-Mishri, jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia. Hal ini seperti yang diungkapkan Abu Dzu’aib Al Hudzli dalam syairnya, “Nafsu manusia selalu berkeinginan jika dituruti, dan akan berhenti jika ditahan.”

Salah satu bukti bahwa akhlak merupakan tabiat sekaligus hasil latihan dan pembiasaan adalah sabda Rasulullah SAW kepada Asyaj Abdul Qais: “Sungguh, kamu memiliki dua sifat yang dicintai Allah, yaitu murah hati dan sabar,” kata nabi kepada sahabatnya itu.

Asyaj pun lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua sifat itu sudah menjadi tabiatku sejak aku diciptakan, atau apakah Allah yang membentukku seperti itu (dalam proses yang aku jalani)?”

Rasul menjawab, “Allah-lah yang membentuk watakmu sedemikian rupa.”

Asyaj lalu berkata lagi, “Segala puji bagi Allah yang telah membentukku dengan dua akhlak yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Muslim dengan sanad sahih).

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat, hadis di atas menunjukkan bahwa sebagian akhlak merupakan tabiat dan sebagian lainnya adalah hasil latihan dan pembiasaan diri. Akhlak karena tabiat menurutnya lebih baik kualitasnya daripada akhlak yang diperoleh dari hasil latihan.

“Bila akhlak mulia telah menjadi tabiat seseorang, maka itu akan menjadi pembawaan dan perangai baginya, sehingga pelaksanaannya tidak lagi memerlukan latihan yang melelahkan. Ini adalah kelebihan yang Allah karuniakan kepada orang-orang yang dikehendakinya, ” kata Utsaimin.

Di sisi lain, kata dia, orang yang telah berusaha membentuk  dan melatih diri untuk berakhlak  mulia tentu saja mendapat tempat tersendiri di sisi Allah SWT.

“Allah tidak akan menyia-nyiakan amalnya karena upaya dan kerja kerasnya. Pada poin ini, dia dapat dikatakan lebih utama daripada orang yang dikaruniai tabiat akhlak mulia. Akan tetapi, dia tetap tidak lebih sempurna dalam hal penciptaan,” katanya.

“Jika ada seorang hamba yang dikaruniai dua bentuk akhlak mulia sekaligus (tabiat alami dan hasil latihan), maka sungguh ia sosok yang paling sempurna,” ujar al-Utsaimin lagi.

Reporter : Ahmad Islamy Jamil

Redaktur : Chairul Akhmad

 

 

Anak 5,5 tahun hafal 29 juz

Senin, 30 Juni 2014

Pelihara Malu

 

Pelihara Malu

Sabtu, 21 Juni 2014, 07:32 WIB

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: TGH Habib Ziadi
Kebanyakan manusia pada hari ini tidak memiliki malu. Sifat malu ibarat barang langka di tengah-tengah masyarakat.

Sedikit sekali ada yang malu berbuat buruk, malu menggunjing, malu tidak amanah, malu karena malas, dan malu suka bohong.

Kenyataan yang lebih parah, banyak orang membuka aibnya sendiri. Entah itu masa lalunya atau hubungan buruknya dengan istri atau mantan kekasihnya di depan publik. Betapa entengnya mereka menyebut pernah berbuat ini dan itu.

Mereka umbar kekurangan orang lain tanpa sensor. Bahkan, isi dapur rumah sendiri dibongkar habis di hadapan media. Seperti itulah lakon para selebritas akhir-akhir ini.

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Para ulama mengatakan malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.’’

Sifat malu adalah pembawaan dalam diri seorang yang mendorongnya untuk mengetahui perbuatan buruk, meninggalkan prilaku yang tidak pantas dan kurang layak, serta mencegah diri dari kelalaian memenuhi hak dan kewajiban.

Orang kuat keimanannya kuat pula rasa malu dalam hatinya. Sebaliknya, orang yang lemah keimanannya sedikit rasa malunya. 

Maka jika telah hilang sama sekali rasa malu dalam diri seorang manusia, dikhawatirkan hilang pula rasa malunya.

Rasulullah SAW sangat pemalu. Ini digambarkan Abu Sa’id Al-Khudri, “Rasulullah lebih pemalu daripada gadis dalam pingitannya. Bila beliau tidak menyukai sesuatu, kami bisa mengetahuinya pada wajah beliau.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Dalam riwayat lain, beliau menegaskan, “Malu itu kebaikan seluruhnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Muncul pertanyaan, mengapa malu itu semuanya baik? bukankah kita mendapati ada orang yang malu berbuat baik atau meninggalkan maksiat?

Jawabannya, jika rasa malu pada seseorang menghalanginya melakukan kebaikan atau mendorongnya berbuat kemaksiatan pada hakikatnya itu bukanlah malu. Itu merupakan sikap lemah yang melekat pada diri seseorang.

Ibnu Rajab Al-Hambali ketika menjelaskan hadis di atas, mengatakan, malu yang dipuji dalam ucapan Rasulullah SAW adalah akhlak yang bisa mendorong seseorang melakukan kebaikan dan meninggalkan kejelekan.

Sedangkan rasa lemah yang menyebabkan seseorang mengurangi hak Allah ataupun hak hamba-Nya bukan termasuk malu. Tetapi ini adalah kelemahan, ketidakmampuan, dan kehinaan.

Hendaklah kita memelihara sifat malu yang diajarkan oleh Islam. Malu pada tempatnya. Sebab, sifat malu itulah perhiasan hidup manusia di dunia ini. Tanpanya, manusia tidak berbeda dengan hewan.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Khatam dan Tartil

Khatam dan Tartil

Rabu, 25 Juni 2014, 08:47 WIB

Anak-anak tengah membaca Alquran

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus
Dalam kitab at-Tibyan fi Adab Hamalat al-Quran, Imam an-Nawawi menjelaskan banyak hal etika membaca Alquran. Di antaranya, ada dua keutamaan yang menarik, yaitu khatam dan tartil.

Khatam artinya menamatkan atau menyelesaikan membaca Alquran, dari surah al-Fatihah hingga an-Nas. Tartil adalah membaca Alquran dengan perlahan atau tidak tergesa-gesa.

Khatam dan tartil tergolong utama dilakukan. Namun, karena satu dan lain hal, terutama bagi kebanyakan orang, dua hal tersebut dirasa berat. Mari simak pengalaman ulama salaf terkait khatam dan tartil.

Tentu saja dengan harapan dapat mengambil pelajaran berharga dari mereka. Selanjutnya, mudah-mudahan dapat mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ulama salaf memiliki kebiasaan berbeda menamatkan Alquran.

Ada yang lama, cepat, dan benar-benar cepat. Mereka mempunyai target menamatkannya. Mereka melakukan atas kemauan sendiri.

Ibnu Abu Dawud berkata, sebagian ulama salaf menamatkan Alquran sekali dalam dua sampai satu bulan, 10 malam, delapan, tujuh, dan enam malam.

Sebagian ulama salaf yang lain menamatkan Alquran dalam lima, empat, tiga , dan dua malam. Sebagiannya, ada yang menamatkan dalam satu hari satu malam.

Sebagian ulama salaf ada yang menamatkan Alquran dua dan tiga kali dalam satu hari satu malam. Hebatnya lagi, ada yang delapan kali dalam sehari semalam.

Yakni, empat kali pada waktu malam dan siang. Subhanallah. Di antara yang menamatkan Alquran satu kali dalam satu hari, yaitu Utsman bin Affan, Tamim ad-Dariy, Said bin Zubair, Mujahid, dan asy-Syafii.

Mereka menamatkannya tiga kali dalam sehari, Sali bin Umar, seorang qadhi di Mesir pada masa pemerintahan Dinasti Muawiyah. Abu Bakar bin Abu Dawud menamatkan Alquran tiga kali dalam satu malam.

Selain itu, Abu Utsman al-Maghribi berkata, Ibnu Khatib menamatkan Alquran empat kali pada siang dan malam. Katanya, “Inilah jumlah terbanyak menamatkan Alquran dalam sehari semalam yang saya ketahui.

Di lain pihak, ada sebagian ulama salaf yang mementingkan tartil daripada khatam. Kelompok ini memandang tidak apa-apa kalau tidak khatam dalam waktu singkat. Hal yang penting tartilnya terjaga baik.

Ada sebagian ulama salaf yang mengulang membaca satu ayat agar meresapinya. Cara demikian dilakukan Rasulullah SAW. Di belakang Rasulullah SAW, ada juga sejumlah ulama salaf yang melakukan cara sama.

Ambil contoh, Tamim ad-Dariy. Ia membaca berulang-ulang ayat berikut, “Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka Kami akan menjadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka? Amat buruklah apa yang mereka sangka itu,” (QS al-Jatsiyah [45] : 21). Demikian pula Ibnu Masud, Said bin Zubair, dan yang lainnya.

Redaktur : Damanhuri Zuhri