Minggu, 04 November 2012

Hakikat Tobat Nasuha?



Tobat yang diperintahkan agar dilakukan oleh kaum Mukminin adalah tobat nasuha (yang semurni-murninya) seperti disebut dalam Alquran, "Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya." (QS. At-Tahrim: 8).

Apa makna tobat nasuha itu? Al-Hafizh Ibnu Katsir mengupas hal ini dalam kitab tafsirnya. Tobat nasuha adalah tobat yang sebenarnya dan sepenuh hati.

Tobat nasuha akan menghapus keburukan-keburukan yang dilakukan sebelumnya, mengembalikan keaslian jiwa orang yang bertobat, serta menghapus keburukan-keburukan yang dilakukannya.

Nasuha adalah redaksi hiperbolik dari kata nashiih. Seperti kata syakuur dan shabuur, sebagai bentuk hiperbolik dari syakir dan shabir. Dan terma "n-sh-h" dalam bahasa Arab bermakna, bersih. Sebagaimana dikatakan dalam bahasa Arab, "nashaha al-'asal" jika madu itu murni, tidak mengandung campuran.

Sedangkan kesungguhan dalam bertobat adalah seperti kesungguhan dalam beribadah. Dalam bermusyawarah, an-nush itu bermakna, membersihkannya dari penipuan, kekurangan dan kerusakan, dan menjaganya dalam kondisi yang paling sempurna. An-nush (asli) adalah lawan kata al-gisysy (palsu).

Pendapat kalangan salaf berbeda-beda dalam mendefinisikan hakikat tobat nasuha itu. Hingga Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyebut ada dua puluh tiga pendapat. Sebagaimana dikupas dalam Tafsir Al-Qurthubi ayat kedelapan dari Surah At-Tahrim.

Namun, sebenarnya pengertian aslinya hanyalah satu, tetapi masing-masing orang mengungkapkan kondisi masing-masing, atau juga dengan melihat suatu unsur atau lainnya.
 Ibnu Jarir, Ibnu Katsir dan Ibnu Qayyim menyebutkan dari Umar, Ibnu Mas'ud serta Ubay bin Ka'ab RA bahwa pengertian tobat nasuha adalah seseorang yang bertobat dari dosanya dan ia tidak melakukan dosa itu lagi, seperti susu tidak kembali ke payudara hewan.

Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dengan marfu', tobat dari dosa adalah, ia bertobat darinya (suatu dosa itu) kemudian ia tidak mengulanginya lagi." (sanadnya dha'if. Dan mauquf lebih tepat, seperti dikatakan oleh Ibnu Katsir).

Hasan Al-Bashri berkata, “Tobat adalah jika seorang hamba menyesal akan perbuatannya pada masa lalu, serta berjanji untuk tidak mengulanginya.”

Al-Kulabi juga berkata, “Tobat yaitu agar meminta ampunan dengan lidah, menyesal dengan hatinya, serta menjaga tubuhnya untuk tidak melakukannya lagi.”

Berikutnya, Sa'id bin Musayyab berujar, “Tobat nasuha adalah, agar engkau menasihati diri kalian sendiri.”

Kelompok pertama menjadikan kata nasuha itu dengan makna maf'ul (objek) yaitu orang yang tobat itu bersih dan tidak tercemari kotoran. Maknanya adalah, ia dibersihkan, seperti kata raquubah dan haluubah yang berarti dikendarai dan diperah. Atau juga dengan makna fa'il (subjek), yang bermakna, yang menasihati, seperti khaalisah dan shaadiqah.

Muhammad bin Ka'ab Al-Qurazhi dalam “Madaarij Saalikiin” berkata, “Tobat itu diungkapkan oleh empat hal; beristighfar dengan lidah, melepaskannya dari tubuh, berjanji dalam hati untuk tidak mengerjakannya kembali, serta meninggalkan rekan-rekan yang buruk.”
Sekadar Bicara Tobat dengan Lidah Bukan Tobat
Tobat tidak sekadar mengucapkan dengan lidah, seperti dipahami oleh kalangan awam.

Ketika salah seorang dari mereka datang kepada seorang tokoh agama ia berkata kepadanya, "Pak Kyai, berilah tobat kepada saya."

Kyai itu akan menjawab, "Ikutilah perkataanku ini!", "Aku tobat kepada Allah SWT, aku kembali kepada-Nya, aku menyesali dosa yang telah aku lakukan, dan aku berjanji untuk tidak melakukan maksiat lagi selamanya, serta aku membebaskan diri dari seluruh agama selain agama Islam’."

Ketika ia telah mengikuti ucapan kyai itu dan pulang, ia menyangka bahwa ia telah selesai melakukan tobat. Ini adalah bentuk kebodohan dua pihak sekaligus, kebodohan orang awam itu, serta sang kyai juga.

Karena tobat bukan sekadar ucapan dengan lidah saja, karena jika tobat hanya sekadar berbuat seperti itu, alangkah mudahnya tobat itu.

Tobat adalah perkara yang lebih besar dari itu, dan juga lebih dalam dan lebih sulit. Ungkapan lisan itu dituntut setelah ia mewujudkannya dalam tindakannya. Untuk kemudian ia mengakui dosanya dan meminta ampunan kepada Allah SWT.

Sedangkan sekadar istighfar atau mengungkapkan tobat dengan lisan tanpa janji dalam hati adalah tobat para pendusta. Seperti dikatakan oleh Dzun Nun Al-Mishri. Itulah yang dikatakan oleh Sayyidah Rabi'ah Al-Adawiyah, "Istighfar kita membutuhkan istighfar lagi!"

Sebagian mereka ini ada yang berkata, "Aku beristighfar kepada Allah SWT dari ucapanku, aku beristighfar kepada Allah SWT.” Atau tobat yang hanya dengan lisan, tidak disertai dengan penyesalan dalam hati.

Hakikat tobat adalah perbuatan akal, hati dan tubuh sekaligus. Dimulai dengan perbuatan akal, diikuti oleh perbuatan hati, dan menghasilkan perbuatan tubuh. Oleh karena itu, Al-Hasan berkata, "Ia adalah penyesalan dengan hati, istighfar dengan lisan, meninggalkan perbuatan dosa dengan tubuh, dan berjanji untuk tidak akan mengerjakan perbuatan dosa itu lagi."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar