REPUBLIKA.CO.ID, Cantik, pemberani dan cerdas. Itulah sosok
seorang Cut Nyak Meutia, Pahlawan Kemerdekaan Nasional dari bumi Serambi
Makkah, Aceh.
Di awal abad ke-20 M, Cut Nyak Meutia berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwanya demi memerangi dan mengusir penjajah Belanda dari Tanah Rencong.
Putri Teuku Ben Daud dan Cut Jah atau Cut Mulieng itu tak rela tanah kelahirannya dijajah tentara kafir.
Kecintaannya terhadap tumpah darah dan rakyat Aceh telah mengobarkan semangat perlawanan pada dirinya. Muslimah pemberani itu pun angkat senjata, meski harus mengarungi lembah dan hutan. Semua dilakukannya demi mempertahankan kedaulatan negerinya.
Sang mujahidah pun gugur sebagai syahidah. Pada 25 Oktober 1910, Muslimah pemberani itu menghembuskan nafas terakhirnya, setelah tiga peluru yang meletus dari moncong senapan tentara Belanda menembus kepada dan badannya.
Meski begitu, Cut Nyak Meutia telah meniupkan semangat juang bagi kaumnya. Sebuah semangat yang tak akan pernah padam dan selalu dikenang sejarah.
Cut Nyak Meutia terlahir di Perlak, Aceh pada 1870. Suami pertamanya bernama Teuku Muhammad alias Teuku Cik Tunong, wafat Mei 1905. Suami keduanya bernama Pang Nangru meninggal pada September 1910 di Paya Cicem. Semangat jihad fi sabilillahnya begitu tinggi. Ia pun menamai putranya, Raja Sabil.
Tentara kolonial Belanda telah bercokol dan menguasai Aceh, sebelum Cut Nyak Meutia terlahir. Kezaliman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Aceh telah memicu dan mengobarkan semangat perlawanan.
Tepat, tiga tahun sebelum Perang Aceh berkobar, seorang bayi perempuan yang diberi nama Cut Nyak Meutia terlahir.
Di awal abad ke-20 M, Cut Nyak Meutia berjuang dengan mengorbankan harta dan jiwanya demi memerangi dan mengusir penjajah Belanda dari Tanah Rencong.
Putri Teuku Ben Daud dan Cut Jah atau Cut Mulieng itu tak rela tanah kelahirannya dijajah tentara kafir.
Kecintaannya terhadap tumpah darah dan rakyat Aceh telah mengobarkan semangat perlawanan pada dirinya. Muslimah pemberani itu pun angkat senjata, meski harus mengarungi lembah dan hutan. Semua dilakukannya demi mempertahankan kedaulatan negerinya.
Sang mujahidah pun gugur sebagai syahidah. Pada 25 Oktober 1910, Muslimah pemberani itu menghembuskan nafas terakhirnya, setelah tiga peluru yang meletus dari moncong senapan tentara Belanda menembus kepada dan badannya.
Meski begitu, Cut Nyak Meutia telah meniupkan semangat juang bagi kaumnya. Sebuah semangat yang tak akan pernah padam dan selalu dikenang sejarah.
Cut Nyak Meutia terlahir di Perlak, Aceh pada 1870. Suami pertamanya bernama Teuku Muhammad alias Teuku Cik Tunong, wafat Mei 1905. Suami keduanya bernama Pang Nangru meninggal pada September 1910 di Paya Cicem. Semangat jihad fi sabilillahnya begitu tinggi. Ia pun menamai putranya, Raja Sabil.
Tentara kolonial Belanda telah bercokol dan menguasai Aceh, sebelum Cut Nyak Meutia terlahir. Kezaliman dan kesewenang-wenangan yang dilakukan tentara Belanda terhadap rakyat Aceh telah memicu dan mengobarkan semangat perlawanan.
Tepat, tiga tahun sebelum Perang Aceh berkobar, seorang bayi perempuan yang diberi nama Cut Nyak Meutia terlahir.
Ya, Cut Nyak Meutia dibesarkan dalam suasana peperangan dan
pertempuran. Dalam darahnya mengalir semangat jihad dan keberanian.
Menginjak dewasa, sang mujahidah pun menikah dengan seorang pejuang Aceh bernama Teuku Muhammad yang dikenal dengan panggilanTeuku Cik Tunong.
Semangat perlawanan rakyat Aceh untuk mengusir penjajah terus berkobar. Cut Nyak Meutia tak bisa tinggal diam. Ia bersama sang suami, Teuku Cik Tunon, langsung memimpin perang di wilayah Pasai.
Perang rakyat Aceh terhadap Belanja yang terjadi pada 1900 itu telah menelan korban jiwa yang begitu banyak, baik dari Aceh maupun Belanda.
Mendapat perlawanan yang kian sengit, kolonial Belanda menambah persenjataannya. Cut Nyak Meutia pun harus memutar otak untuk menghadapi pasukan Belanja dengan senjata yang mutakhir.
Bersama suaminya, ia memimpin perang gerilya. Berkali-kali pasukannya berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Bahkan, mereka pun sempat menggempur markas pasukan Belanda di Idie.
Perlawanan yang dikobarkan Cut Nyak Meutia bersama sang suami terus membakar semangat rakyat Aceh. Belanda pun mulai keteteran. Beragam upaya dilakukan untuk menghentikan bara perlawanan yang terus dikobarkan Cut Nyak Meutia bersama sang suami dan rakyat Aceh. Penjajah sempat membujuk keluarga Cut Nyak Meutia agar menghentikan perlawanan.
Semua upaya Belanda itu gagal. Tak ada kata tunduk terhadap penjajah kafir bagi Cut Nyak Meutia. Tanpa mengenal rasa takut, Cut Nyak Meutia bersama suaminya terus menggerakkan perlawanan.
Menginjak dewasa, sang mujahidah pun menikah dengan seorang pejuang Aceh bernama Teuku Muhammad yang dikenal dengan panggilanTeuku Cik Tunong.
Semangat perlawanan rakyat Aceh untuk mengusir penjajah terus berkobar. Cut Nyak Meutia tak bisa tinggal diam. Ia bersama sang suami, Teuku Cik Tunon, langsung memimpin perang di wilayah Pasai.
Perang rakyat Aceh terhadap Belanja yang terjadi pada 1900 itu telah menelan korban jiwa yang begitu banyak, baik dari Aceh maupun Belanda.
Mendapat perlawanan yang kian sengit, kolonial Belanda menambah persenjataannya. Cut Nyak Meutia pun harus memutar otak untuk menghadapi pasukan Belanja dengan senjata yang mutakhir.
Bersama suaminya, ia memimpin perang gerilya. Berkali-kali pasukannya berhasil mencegat patroli pasukan Belanda. Bahkan, mereka pun sempat menggempur markas pasukan Belanda di Idie.
Perlawanan yang dikobarkan Cut Nyak Meutia bersama sang suami terus membakar semangat rakyat Aceh. Belanda pun mulai keteteran. Beragam upaya dilakukan untuk menghentikan bara perlawanan yang terus dikobarkan Cut Nyak Meutia bersama sang suami dan rakyat Aceh. Penjajah sempat membujuk keluarga Cut Nyak Meutia agar menghentikan perlawanan.
Semua upaya Belanda itu gagal. Tak ada kata tunduk terhadap penjajah kafir bagi Cut Nyak Meutia. Tanpa mengenal rasa takut, Cut Nyak Meutia bersama suaminya terus menggerakkan perlawanan.
Pada Mei 1905, ia harus menerima kenyataaan pahit.
Suaminya, Teuku Cik Tunong tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Perlawanan tak berhenti. Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk suami pertamanya untuk mendampingi perjuangan mujahidah dari Perlak itu.
Pang Nangru merupakan orang kepercayaan Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda.
Belanda pun kian marah. Pengepungan terhadap Cut Nyak Meutia kian diperketat. Pasukan sang mujahidah pun kian terpukul.
Dengan cara bergerilya, Cut Nyak Meutia menghindar ke pedalaman rimba Pasai. Ia bersama pejuang Aceh berpindah-pindah tempat. Hingga akhirnya, pada September tahun 1910, Pang Nangru gugur. Cut Nyak Meutia berhasil meloloskan diri.
Kekuatan pun kian melemah. Terlebih, beberapa teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Cut Nyak Meutia tak gentar. Ia terus melakukan perlawanan sembari bergerilya bersama putranya, Raja Sabil. Pada 24 Oktober 1910, pasukan Belanda mengetahui tempat persembunyiannya.
Berbekal sebilah rencong di tangannya, Cut Nyak Meutia tetap melawan gempuran senjata api. Sampai tetes darah penghabisan, sang mujahidah tetap membela keyakinannya.
Ia gugur setelah tiga butir peluru bersarang di kepala dan dadanya. Ia gugur sebagai seorang pahlawan bagi rakyat Aceh dan mujahidah bagi agamanya.
Perlawanan tak berhenti. Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Pang Nangru, pria yang ditunjuk suami pertamanya untuk mendampingi perjuangan mujahidah dari Perlak itu.
Pang Nangru merupakan orang kepercayaan Teuku Cik Tunong. Bersama suami keduanya, Cut Nyak Meutia terus melanjutkan perjuangan melawan penjajah Belanda.
Belanda pun kian marah. Pengepungan terhadap Cut Nyak Meutia kian diperketat. Pasukan sang mujahidah pun kian terpukul.
Dengan cara bergerilya, Cut Nyak Meutia menghindar ke pedalaman rimba Pasai. Ia bersama pejuang Aceh berpindah-pindah tempat. Hingga akhirnya, pada September tahun 1910, Pang Nangru gugur. Cut Nyak Meutia berhasil meloloskan diri.
Kekuatan pun kian melemah. Terlebih, beberapa teman Pang Nangru akhirnya menyerahkan diri. Cut Nyak Meutia tak gentar. Ia terus melakukan perlawanan sembari bergerilya bersama putranya, Raja Sabil. Pada 24 Oktober 1910, pasukan Belanda mengetahui tempat persembunyiannya.
Berbekal sebilah rencong di tangannya, Cut Nyak Meutia tetap melawan gempuran senjata api. Sampai tetes darah penghabisan, sang mujahidah tetap membela keyakinannya.
Ia gugur setelah tiga butir peluru bersarang di kepala dan dadanya. Ia gugur sebagai seorang pahlawan bagi rakyat Aceh dan mujahidah bagi agamanya.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter:
Heri Ruslan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar