Jumat, 02 Agustus 2013

FW: Guru ngaji (TPQ/TPA) apakah termasuk 8 Asnaf?

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

 

 

From: Rizky Nuzulul
Sent: Saturday, August 03, 2013 10:12 AM
To: BDI
Cc: Pengurus BDI Badak
Subject: RE: Guru ngaji (TPQ/TPA) apakah termasuk 8 Asnaf?

 

Assalamu'alaykum Warohmatullohi Wabarokatuh,

 

Ya akhi,

Ana coba lampirkan pertanyaan yang senada seperti pertanyaan akhi Jamil

Semoga bisa memberi pencerahan

 

Barakallahu fikum

 

Salam,

 

N.Rizki

 

Perluasan Makna Fi Sabilillah Sebagai Mustahiq Zakat

Pertanyaan

Assalamu 'alaikum, Ustad.

Salah satu mustahik zakat adalah fi sabilillah. Dan sekarang banyak orang yang menafsirkan fi sabilillah dengan tafsir yang yang sangat luas. Seperti untuk membangun lembaga pendidikan Islam, masjid dll. Intinya semua amal yang ada unsur di jalan Allah tidak masalah memakai dana zakat.

Mohon dijelaskan! Berikut dalil pendukungnya. Syukron

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Para ulama memang berbeda pendapat tentang makna mustahiq zakat yang satu ini, yaitu fi sabilillah.

Perbedaan ini berangkat dari ijtihad mereka yang cenderung

1.      Mudhayyiqin (menyempitkan makna) dan

2.      Muwassain (meluaskan makna).

Sebagian ulama beraliran mudhayyiqin bersikeras untuk tidak memperluas maknanya, fi sabilillah harus diberikan tetap seperti yang dijalankan di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam dan para shahabat, yaitu untuk para mujahidin yang perang secara fisik.

Sebagian ulama yang beraliran muwassa'in cenderung untuk memperluas maknanya sampai untuk biaya dakwah dan kepentingan umat Islam secara umum.

1. Pendapat Pertama - Mudhayyiqin (menyempitkan makna)

Jumhur(pendapat mayoritas) ulama termasuk di dalamnya 4 imam mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali) termasuk yang cenderung kepada pendapat yang pertama (mudhayyiqin),

mereka mengatakan bahwa yang termasuk fi sabilillah adalah para peserta pertempuran fisik melawan musuh-musuh Allah aza wa jalla dalam rangka menegakkan agama Islam.

Di kalangan ulama kontemporer yang mendukung hal ini adalah Syeikh Muhammad Abu Zahrah.

Perbedaannya bukan dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istimbath ahkam.

Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqih dari sumber-sumber Al-Quran dan Sunnah.

 

Mereka yang termasuk ke dalam pendapat ini adalah Jumhur Ulama.

Dalilnya karena di zaman Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam memang bagian fi sabilillah tidak pernah digunakan untuk membangun masjid atau madrasah.

Di zaman itu hanya untuk mereka yang jihad secara fisik saja.

 

Para ulama jumhur mengatakan bahwa para mujahidin di medan tempur mereka berhak menerima dana zakat,

meskipun secara materi mereka cukup berada. Sebab dalam hal ini memang bukan sisi kemiskinannya yang dijadikan objek zakat,

melainkan apa yang dikerjakan oleh para mujahidin itu merupakan mashlahat umum.

 

Adapun para tentara yang sudah berada di dalam kesatuan, di mana mereka sudah mendapatkan gaji tetap dari kesatuannya, tidak termasuk di dalam kelompok penerima zakat.

Namun seorang peserta perang yang kaya, tidaklah berperang dengan menggunakan harta yang wajib dizakati dari kekayaannya.

Sebagai seorang yang kaya, bila kekayaannya itu mewajibkan zakat, wajiblah atasnya mengeluarkan harta zakat dan menyerahkannya kepada amil zakat.

 

Adapun bila kemudian dia ikut perang, dia berhak mendapatkan harta dari amil zakat karena ikut sertanya dalam peperangan.

Tapi tidak boleh langsung di-"by pass". Dia harus bayar zakat dulu baru kemudian menerima dana zakat.

 

Namun Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang kaya yang ikut serta dalam peperangan, maka dia tidak berhak menerima dana dari harta zakat.

 

 

2. Pendapat Kedua - Muwassain (meluaskan makna).

Sedangkan para ulama yang lain cenderung meluaskan makna fi sabilillah, tidak hanya terbatas pada peserta perang fisik, tetapi juga untuk berbagai kepentingan dakwah yang lain.

Di antara yang mendukung pendapat ini adalah Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Dr. Muhammad `Abdul Qadir Abu Faris dan Dr. Yusuf Al-Qardawi.

Dasar pendapat mereka juga ijtihad yang sifatnya agak luas serta bicara dalam konteks fiqih prioritas. Di masa sekarang ini, lahan-lahan jihad fi sabilillah secara fisik boleh dibilang tidak terlalu besar.

Sementara tarbiyah dan pembinaan umat yang selama ini terbengkalai perlu pasokan dana besar. Apalagi di negeri minoritas muslim seperti di Amerika, Eropa dan Australia.

 

Siapa yang akan membiayai dakwah di negeri-negeri tersebut, kalau bukan umat Islam. Dan bukankah pada hakikatnya perang atau pun dakwah di negeri lawan punya tujuan yang sama,

yaitu menyebarkan  agama Allah aza wa jalla dan menegakkannya.

 

Kalau yang dibutuhkan adalah jihad bersenjata, maka dana zakat itu memang diperlukan untuk biaya jihad. Tapi kalau kesempatan berdakwah secara damai di negeri itu terbuka lebar, bagaimana mungkin biaya zakat tidak boleh digunakan. Bukankah tujuan jihad dan dakwah sama saja?

 

Oleh karena itu, dalam kitab Fiqhuz Zakah, Dr. Yusuf al-Qaradawi menyebutkan bahwa asnaf fi sabilillah, selain jihad secara fisik, juga termasuk di antaranya adalah:

1.      Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) yang menunjang program dakwah Islam di wilayah minoritas,

dan menyampaikan risalah Islam kepada non muslim di berbagai benua merupakan jihad fi sabilillah.

 

2.      Membangun pusat-pusat dakwah (al-Markaz Al-Islami) di negeri Islam sendiri yang membimbing para pemuda Islam kepada ajaran Islam yang benar

serta melindungi mereka dari pengaruh ateisme, kerancuan fikrah, penyelewengan akhlaq serta menyiapkan mereka untuk menjadi pembela Islam

dan melawan para musuh Islam adalah jihad fi sabilillah.

 

3.      Menerbitkan tulisan tentang Islam untuk mengantisipasi tulisan yang menyerang Islam, atau menyebarkan tulisan yang bisa menjawab kebohongan para penipu dan keraguan yang disuntikkan musuh Islam, serta mengajarkan agama Islam kepada para pemeluknya adalah jihad fi sabilillah.

 

4.      Membantu para du'at Islam yang menghadapi kekuatan yang memusuhi Islam di mana kekuatan itu dibantu oleh para thaghut dan orang-orang murtad, adalah jihad fi sabilillah.

 

5.      Termasuk di antaranya untuk biaya pendidikan sekolah Islam yang akan melahirkan para pembela Islam dan generasi Islam yang baik atau biaya pendidikan seorang calon kader dakwah/ da`i yang akan diorientasikan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah aza wa jalla melalui ilmunya adalah jihad fi sabilillah.

Apakah pergi haji termasuk kategori fi sabilillah?

Al-Hanabilah dan sebagian Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pergi haji ke baitullah itu masih termasuk kategori fi sabilillah. Mereka menggunakan dalil berikut ini:

Dari Ibnu Abbas ra bahwa seseorang menyerahkan seekor hewan untuk fi sabilillah, namun isterinya ingin pergi haji.

Nabi SAW bersabda, "Naikilah, karena hajji itu termasuk fi sabilillah". (HR Abu Daud)

 

Maka seorang miskin yang berkewajiban haji berhak atas dana zakat, menurut pendapat ini. Asalkan hajinya haji yang wajib, yaitu haji untuk pertama kali.

Sedangkan untuk haji yang sunnah, yaitu haji yang berikutnya, tidak termasuk dalam kategori ini.

 

Tidak Harus Menggunakan Dana Zakat

Karena perdebatan para ulama cukup hangat dalam masalah ini, antara yang pro dan kontra, maka tidak ada salahnya kita berpikir positif dan mencari jalan tengah yang aman dan selamat.

Misalnya, ketimbang kita terlalu memaksakan hukum zakat untuk sekedar membiayai proyek dakwah, mengapa kita tidak pikirkan sumber-sumber dana lainnya?

Sebenarnya di luar sistem zakat, dalam syariat Islam ini masih ada begitu banyak jenis infaq yang lebih fleksibel dan efektif untuk diterapkan,

dan yang penting tidak akan menimbulkan masalah dari segi hukum dan aturannya.

 

Syariat zakat memang agak kaku dan kurang fleksible untuk digunakan dalam banyak kebutuhan. Setidak-tidaknya, masih banyak kendala masalah khilafiyah (perbedaan pendapat)  di dalamnya,

yang akan menimbulkan pertentangan.

Sebagai contohnya adalah masalah zakat profesi, yang hingga kini para ulama tidak sepakat.

Sebagian ulama menginginkan diberlakukannya zakat profesi namun sebagian lainnya tidak setuju dengan keberadaan zakat itu.

 

Contoh yang paling aktual adalah apa yang anda tanyakan, yaitu tentang khilafiyah (perbedaan pendapat) makna fi sabilillah.

Sebagian ulama bersikeras tidak memaknai keluar dari konteks di zaman Nabi shalallahu 'alaihi wassallam,

yaitu hanya untuk mereka yang ikut dalam perang fisik dan pertempuran saja. Sebagian lainnya berusaha memperluas maknanya hingga segala bentuk dakwah dianggap sudah termasuk fi sabilillah.

Maka Pak Ustadz meski sudah kaya, juga dapat dana dari zakat. Karena Pak Ustadz dianggap termasuk orang yang dalam kategori fi sabilillah.

 

Tentu saja masalah ini adalah masalah yang kontroversial, tetapi terjadi tarik menarik dari mereka yang setuju dan yang tidak. Dan kalau kita coba dalami argumentasi masing-masing kalangan, rasanya kok sama-sama benarnya. Sehingga sulit buat kita untuk menyalahkan salah satunya.

Jenis Infaq Selain Zakat

Tapi satu hal yang patut diingat bahwa baitulmal di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bukan bersumber dari zakat semata. Ada begitu banyak jenis infaq yang bukan zakat,

dengan ketentuan yang jauh lebih elastis, fleksible dan sekaligus visible untuk dikembangkan secara modern di zaman sekarang.

 

Misalnya, syariat waqaf yang unik itu, di mana orang yang berinfaq sama sekali tidak kehilangan hartanya, kecuali dia hanya melepas keuntungannya.

Atau cara yang lain lagi adanya kebolehan buat pelaksana (nadzir) suatu waqaf untuk mengambil bagian. Dan tidak ada ketentuan batasan prosentase.

 

Berbeda dengan zakat yang dibatasi untuk amilnya hanya maksimal 1/8 saja, syariat waqaf tidak mengenal batasan itu. Semua tergantung kepada kesepakatan antara mereka yang berwaqaf dengan yang menjadi amilnya (nadzir). Nadzir berhak untuk mengajukan sistem sendiri atas persetujuan pihak yang memberi waqaf. Tidak seperti amil zakat yang semua aturannya harus mengacu kepada ketentuan langsung dari langit.

Intinya, syariat waqaf itu jauh lebih mudah dan elastis. Tapi di akhirat sangat berguna.

Wallahu a'lam bishshawab, wassaalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz Ahmad Sarwat, Lc

Orang Yang Tidak Boleh Menerima Zakat

Ada lima kelompok yang tidak diperbolehkan menerima zakat, yaitu:

1. Orang Kaya

Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda,"Tidak halal zakat diberikan kepada orang kaya." (diriwayatkan oleh lima ulama hadits).

·        Yang dikecualikan dari kriteria ini adalah pasukan perang fi sabilillah, amil zakat, penghutang untuk kemaslahatan orang lain, seperti yang dikatakan oleh jumhur ulama.

·        Seorang anak dianggap cukup jika ayahnya kaya, demikian juga seorang isteri dianggap kaya jika suaminya kaya, sehingga keduanya tidak boleh diberi zakat.

2. Orang Kuat Bekerja

Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam bersabda, "Tidak halal zakat diberikan kepada orang kaya dan orang yang memiliki organ lengkap." (hadist riwayat lima imam hadits).

ذي مِرَّة dzi mirrah dalah orang yang memiliki organ tubuh lengkap. Juga dengan pernyataan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam terhadap dua orang lelaki yang meminta zakat,

"Jika kalian mau akan aku berikan kepada kalian, tetapi tidak ada hak dalam zakat ini bagi orang kaya dan orang yang kuat bekerja." (Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasa'i)

  • Ia benar-benar memiliki pekerjaan yang menghasilkan; jika tidak ada pekerjaan, maka ia diberi zakat.
  • Hasil penghasilannya cukup; jika tidak, maka ia boleh menerima zakat sehingga mencukupi.

3. Non Muslim

  • Para ulama sepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada orang kafir yang memerangi, orang murtad, dan orang ateis.
  • Jumhur ulama khususnya empat imam madzhab bersepakat bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada kafir dzimmiy sebagai fakir. Ia bisa menerima zakat menurut sebagian ulama dalam statusnya sebagai muallaf. Mereka bersepakat bahwa ahlu dzimmah boleh diberikan sedekah sunnah sebagaimana baitul mal memberikan kecukupan mereka dari selain zakat.
  • Diperbolehkan memberikan zakat kepada orang fasik, selama tidak terang-terangan dan terus menerus menunjukkan kefasikannya agar zakat tidak menjadi fasilitas kefasikannya. Dan diperbolehkan memberikan zakat itu kepada keluarganya karena kefasikan seseorang tidak boleh menghilangkan hak orang lain.
  • Diperbolehkan memberikan zakat kepada sesama muslim meskipun dari firqah yang berbeda dengan ahlussunnah, selama ia masih berstatus Islam, dan tidak melakukan perbuatan bid'ah yang membuatnya kafir.

Dan yang lebih dari semua itu adalah memberikan zakat kepada seorang muslim yang taat beragama.

4. Kerabat

  • Seorang suami tidak boleh memberikan zakatnya kepada isteri, karena ia berkewajiban untuk menafkahinya. Jika ia memberikan zakat kepadanya, maka seperti orang yang memberikan pada diri sendiri. Sedangkan isteri boleh memberikan zakatnya kepada suami menurut jumurul ulama, seperti dalam hadits isteri Ibnu Mas'ud yang bertanya kepada Rasulullah saw. bersama dengan seorang wanita Anshar. Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam menjawab, "Keduanya mendapatkan dua pahala, pahala zakat dan pahala kerabat." (Asy-Syaikhani)
  • Tidak boleh memberikan zakat kepada kedua orang tua, jika ia yang berkewajiban menafkahinya, sebab ini sama dengan memberi kepada diri sendiri. Sebagaimana tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada anak yang menjadi kewajibannya.
  • Diperbolehkan memberikan zakat kepada kerabat lain, bahkan menurut madzhab Hanafi –yang memperluas kewajiban nafkah itu kepada kerabat– tetapi tidak menjadikannya penghalang diberi zakat. Sebab, penghalang zakat itu adalah bersambungnya manfaat antara pemberi dan penerima zakat, yang mengesankan bahwa ia memberikan pada diri sendiri seperti yang terjadi pada suami isteri, kedua orang tua dan anak.

5. Keluarga Nabi Muhammad SAW

  • Mereka itu adalah keturunan Bani Hasyim menurut jumurul ulama. Asy-Syafi'iyyah menambahkan keturunan Abdul Muththalib juga tidak berhak mendapat zakat.
  • Jumhur ulama berpendapat bahwa keluarga Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam tidak boleh menerima zakat, karena zakat itu adalah kotoran manusia seperti dalam hadits Muslim.
  • Larangan ini mencakup zakat dan sedekah sunnah.
  • Menurut madzhab Hanafi, larangan ini khusus pada zaman Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam untuk menepis tuduhan miring. Sedangkan setelah wafat Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam, mereka diperbolehkan menerima zakat.
  • Keluarga Bani Hasyim boleh memberikan zakat kepada sesama Bani Hasyim.
  • Jika mereka tidak mendapatkan jatah seperlimanya seperlima ghanimah(harta rampasan perang) dan fa'i(harta rampasan yg tidak jadi perang), maka ia boleh menerima zakat menurut kesepakatan ulama.

Kesalahan Membagi Zakat

Jika seorang muzakki memberikan zakatnya kepada seorang mustahiq, kemudian diketahui bahwa ia telah salah dengan membagikan zakat kepada orang yang tidak berhak, seperti diserahkan kepada orang kafir, kerabat dekat, atau orang kaya, maka apa yang harus dilakukan?

  • Jika muzakki telah berusaha, bertanya, dan mencari, kemudian ia serahkan zakat dan ternyata dikemudian hari terbukti salah alamat, maka ia tidak berkewajiban membayarnya lagi. Seperti dalam hadits Ma'n bin Yazid ketika ayahnya meletakkan sedekah di masjid, kemudian Ma'n mengambilnya dan diadukan kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam, lalu Nabi shalallahu 'alaihi wassallam bersabda, "Bagimu yang telah kamu niatkan, wahai Yazid, dan bagimu yang telah kau ambil, wahai Ma'n." (Bukhari)
  • Namun jika kesalahan itu karena tidak ada usaha, bertanya dan mencari, maka muzakki harus bertanggung jawab atas kesalahannya itu, dan membayar zakat lagi.
  • Sedang jika imam yang membagi zakat, lalu salah, maka muzakki tidak berkewajiban apa-apa.
  • Dan kepada orang yang menerima zakat sementara ia tidak berhak menerimanya, maka ia harus mengembalikannya atau mengembalilkan nilainya jika sudah dibelanjakan.

Wallahu a'lam bishshawab, wassaalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

 

 

From: BDI
Sent: Thursday, August 01, 2013 7:53 AM
Subject: FW: Guru ngaji (TPQ/TPA) apakah termasuk 8 Asnaf?

 

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

 

From: Jamil
Sent: Thursday, August 01, 2013 6:09 AM
To: BDI
Subject: Guru ngaji (TPQ/TPA) apakah termasuk 8 Asnaf?

 

Assalamu'alaikum wr.wb

 

Mohon penjelasan, sebagaimana yang tercantum dalam (At-Taubah:60). Tentang 8 Asnaf yang berhak menerima zakat fitrah salah satu diantaranya adalah fisabilillah (orang yang berjuang dijalan Alloh).

Didesa saya sudah menjadi tradisi anak-anak yang mengaji di TPQ/TPA memberikan zakatnya langsung ke guru ngajinya, apakah hal ini dibolehkan? Sejauh mana cakupan definisi fisabilliah tersebut?

 

Demikina terimaksih atas penjelasannya

Wassalamu'alaikum wr.wb

J a m i l

 

 

Disclaimer:
The contents of this email, together with its attachments, may contain confidential information belong to Virginia Indonesia Co., LLC ("VICO") and Virginia Indonesia Co., CBM Limited  ("VICO CBM"). If you are not the intended recipient, please notify the sender immediately and delete this e-mail from your system, and you should not disseminate, distribute, copy or otherwise use this email or any part thereof.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar