Minggu, 07 Juli 2013

FW: Menjadikan Halal Sebagai Gaya Hidup

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Suparman
Sent: Monday, July 08, 2013 7:11 AM
To: BDI
Subject: Menjadikan Halal Sebagai Gaya Hidup

 

Menjadikan Halal Sebagai Gaya Hidup

Jumat, 05 Juli 2013, 19:00 WIB

 

Logo Halal

 

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamualaikum wr wb
Ustaz, bagaimana konsep halal dan haram dalam Islam? Dan, mengapa kesadaran untuk memperhatikan kehalalan pendapatan dan konsumsi masih rendah di tengah umat Islam di negara kita? Terima kasih atas penjelasannya.

Hamba Allah

Waalaikumussalam wr wb

Allah SWT berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS al-Baqarah [2]: 168).

Maka makanlah yang halal lagi, baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS al-Nahl [16]: 114).

Dalam ayat-ayat di atas, Allah SWT memerintahkan untuk hanya memakan makanan yang halal lagi baik dan melarang untuk mengikuti langkah-langkah setan yang selalu menjerumuskan manusia untuk durhaka kepada Tuhannya, termasuk dengan mengonsumsi makanan yang haram.

Dan, dengan hanya mengonsumsi makanan halal lagi baik itu merupakan salah satu bentuk kesyukuran dan ibadah kita kepada Allah SWT.

Masalah halal dan haram ini merupakan batasan-batasan Allah SWT (hududullah) bagi manusia sebagai bentuk ujian keimanan dan penghambaan diri mereka kepada Allah SWT.

Dan, dalam menyikapi perintah Allah SWT ini, sebagian umat Islam tidak lagi memedulikan aspek halal dan haram dalam kehidupannya karena sudah dikuasai oleh hawa nafsunya.

Sedangkan, sebagian lagi memilah-milah dari ajaran agamanya yang ingin diamalkannya sesuai dengan selera dan kesenangannya dan meninggalkan yang tidak ia sukai sehingga dia menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sesuka hatinya dengan berbagai alasan dan argumentasinya.

Dan, tentunya masih banyak umat Islam yang benar-benar teguh memegang agamanya, tunduk kepada hukumnya, dan berkomitmen dalam ketaatannya kepada Allah SWT.

Hak menentukan halal dan haram ini merupakan hak Allah SWT sehingga manusia sama sekali tidak berhak menghalalkan apa yang diharamkan Allah SWT dan mengharamkan apa yang diharamkan-Nya.

Dan, janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta 'ini halal dan ini haram', untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS al-Nahl [16]: 116).

Dalam Islam, wilayah halal itu sangat luas sedangkan wilayah haram sangat sempit sehingga kita tidak perlu memerinci satu per satu yang halal, yang perlu diketahui adalah yang haram karena selain yang haram pasti halal.

Dalam kaedah fikihnya disebutkan bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya.

Oleh karena itu, selama tidak ada dalil dari Alquran dan sunah Nabi SAW yang menegaskan bahwa sesuatu itu haram maka ia adalah halal.

Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan, di antara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat (samar, belum jelas) yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Maka barang siapa yang menjaga dirinya dari perkara syubhat itu, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya. Dan, barang siapa yang terjerumus ke dalam perkara syubhat, ia pun terjerumus ke dalam perkara yang haram. Bagaikan seorang penggembala yang menggembalakan hewan ternaknya di sekitar kawasan terlarang maka hampir-hampir (dikhawatirkan) akan memasukinya. Ketahuilah, sesungguhnya setiap penguasa memiliki kawasan terlarang. Ketahuilah, sesungguhnya kawasan terlarang Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya...” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan, dengan kasih sayang-Nya kepada para hamba-Nya, Allah SWT tidak menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat bagi manusia, dan sebaliknya tidak mengharamkan kecuali yang buruk dan membahayakan manusia itu sendiri. “... dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS al-A'raaf [7]: 157).

Harus dipahami bahwa selamanya niat yang baik itu tidak menjadikan sesuatu yang haram itu menjadi baik, yang haram tetaplah haram sebaik apa pun niat orang yang melakukan sesuatu yang haram itu. Karena itu, tujuan dan cara mencapai tujuan itu haruslah baik dan sesuai dengan tuntunan Islam.

Dalam Islam yang haram itu ada dua jenis, yaitu pertama, diharamkan karena zatnya. Maksudnya, asal dari makanan tersebut memang sudah haram, seperti bangkai, darah, babi, anjing, khamar, dan sebagainya.

Kedua, diharamkan karena cara mendapatkannya. Maksudnya, asal makanannya adalah halal, akan tetapi dia menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan tersebut. Misalnya, makanan dari hasil korupsi, upah perzinaan, hasil menipu, hasil riba, dan lain-lainnya.

Kesadaran kita terhadap halal dan haram ini seharusnya menjadi gaya hidup kita karena itu merupakan bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT.

Dan, tentunya dengan menjadikan halal sebagai gaya hidup akan memberikan manfaat kepada kita karena Allah SWT hanya menghalalkan segala yang baik dan bermanfaat bagi kita.

Mungkin sebagian kita belum menyadari manfaat dari apa yang dihalalkan Allah SWT dan bahaya serta ancaman Allah atas segala apa yang diharamkan-Nya sehingga tidak menimbulkan kesadaran dalam diri kita. Wallahu a'lam bish shawwab.

Ustaz Bachtiar Nasir

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar