Selasa, 05 Februari 2013

FW: Hukum Asuransi Menurut Islam

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Yoga Aditama
Sent: Monday, February 04, 2013 9:40 AM
To: BDI
Subject: FW: Hukum Asuransi Menurut Islam

 

Hukum Asuransi Menurut Islam

Written by Tim Pojok Syariah.In

 

 

Pada dasarnya yang mendasari hokum asuransi syariah adalah permasalahan AKAD, TAKAFUL dan TABARRU.

Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan disini tidak dibedakan apakah berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah, dimana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Dalam muammalah, kejelasan bentuk akad sangat menentukan apakah transaksi yang dilakukan sudah sah atau tidak menurut kaidah syar’i. Demikian pula dalam berasuransi, ketidakjelasan bentuk akad akan berpotensi menimbulkan permasalahan dari sisi legalitas hokum Islam. Jika kita tengok fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) tentang pedoman asuransi syariah, maka pernyataan “akad yang sesuai syariah” dapat dijabarkan sebagai akad atau perikatan yang terbebas dari unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), ribazulmu (penganiayaan), riswah (suap), barang haram, dan maksiat. (bunga)

 

Nawawi Rambe dalam “Fiqh Islam” (1994) menjelaskan bahwa muammalah mencakup kegiatan transaksi jual beli, hutang piutang, gadai, jaminan, pinjam meminjam (‘ariyah), riba, bank, sewa menyewa (ijarah), syarikat, upah, wakaf, hibah, hadiah, sogok, barang temuan (luqatah) dan beberapa masalah lain yang berkaitan dengan bidang ekonomi. Karena asuransi pada mulanya tidak dikenal dalam literatur Islam maka oleh jumhur ulama di-qiyaskan sebagai praktek jual beli. Dengan demikian, sah tidaknya transaksi asuransi dari kacamata syariah ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun jual beli, yaitu :

1.      Adanya subyek yang melakukan jual beli (aaqid), yaitu penjual dan pembeli, dengan syarat berakal, akil baligh, dan tanpa paksaan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil kecuali melalui perniagaan atas dasar suka sama suka.” (QS. An-Nisaa : 29).

2.      Adanya obyek atau barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaihi), dengan syarat suci (bukan barang najis), bermanfaat, dapat diserahterimakan, dan diketahui keadaan, sifat, dzat, serta ukurannya.

3.      Adanya sighatul aqd (pernyataan transaksi), dengan syarat adanya kesepakatan atau keikhlasan antara kedua belah pihak.

Takaful berasal dari akar bahasa Arab : takafala, ya takafulu. Kata takaful sendiri tidak dijumpai dalam Al-Qur’an, namun terdapat kata yang seakar dengannya yaitu “idz tamsyi ukhtuka fataquulu hal adulukum ‘alaa man yakfuluhu“ yang artinya “yaitu ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada keluarga Fir’aun : Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?” (QS. Thahaa : 40). Kata yakfulu disini menunjuk arti “menjamin.” Secara istilah, takaful adalah perjanjian sekelompok orang yang disebut partisipan yang secara timbal balik saling menjamin antara satu dengan lainnya. Syekh Abu Zahrah, ahli fiqh Mesir menggunakan istilah at-takaful al-ijtima’i, yaitu bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat berada dalam jaminan atau tanggungan masyarakatnya. Setiap yang mampu atau yang membantunya dengan kebajikan, setiap potensi kemanusiaan dalam masyarakatnya yang membantunya dengan kebajikan, setiap potensi kemanusiaan dalam masyarakat, sejalan dalam memelihara untuk menolak kendala-kendala pembangunan masyarakat yang dibangun atas dasar yang benar. Ungkapan yang paling tepat untuk makna at-takaful al-ijtima’i adalah sabda Nabi SAW, “Mukmin terhadap mukmin lain ibarat bangunan yang saling memperkuat satu sama lainnya.” HR. Muslim).

 

Tabbaru berasal dari kata tabarra’a yang artinya derma. Orang yang berderma disebut mutabarri’ (dermawan). Dalam Al- Qur’an, kata tabarru merujuk pada kata al-birr (kebajikan) sebagaimana firman Allah SWT, “Bukanlah menghadap wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan (memerdekakan) hamba sahayanya, mendirikan shalat dan orang-orang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177).

Akad tabarru’ (gratuitous contract) merupakan bentuk transaksi atau perjanjian kontrak yang bersifat nir-laba (not-for profit transaction) sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial atau bisnis tetapi semata-mata untuk tujuan tolong-menolong dalam rangka kebaikan. Pihak yang meniatkan tabarru’ tidak boleh mensyaratkan imbalan apapun. Bahkan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, dana tabarru’ ini haram untuk ditarik kembali karena dapat disamakan dengan hibah.

 

Implementasi akad takafuli dan tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’. Keberadaan rekening tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke- gharar-an) asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 4 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 6 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul gharar tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.

Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudharib) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shahibul maal (peserta) dan mudharib (pengelola) berdasarkan akad mudharabah ( bagi hasil ) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka.

 

Wallahu a’lam.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar