Minggu, 04 November 2012

FW: Dialog Imam Ahmad Dengan Tokoh Mu'tazilah

 

 

Regards,

Ari Wicaksono

VICO Indonesia-Finance JKT dept. ext 6750 (081932416750 & 021-5236750)

Start an eco-friendly life: REDUCE, REUSE, RECYCLE. Don't print this email unless you REALLY need to!

From: BDI
Sent: Monday, October 01, 2012 7:29 AM
Subject: FW: Dialog Imam Ahmad Dengan Tokoh Mu’tazilah

 

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

From: Ardian Wirata
Sent: Friday, September 28, 2012 2:01 PM
To: BDI
Subject: Dialog Imam Ahmad Dengan Tokoh Mu’tazilah

 

Assalamu’alaykum Warohmatullohi Wabarokatuh,

 

Al Imam Ali bin alMadiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, "Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar asShiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah."

Bagaimana kisah nya saat berdebat dengan tokoh mu’tazilah saat yaumul mihnah? Simak kisah berikut yang saya ambil dari

http://singgahsejenak.wordpress.com/2009/11/20/dialog-imam-ahmad-dengan-tokoh-mutazilah/

***

 

Imam Ahmad bin Hambal, salah seorang imam Ahlu Sunnah terkemuka, mendapat cobaan begitu berat disebabkan pendiriannya yang kokoh bahwa Al Qur’an bukan makhluk, tetapi Kalamullah. Pendirian beliau ini menyelisihi paham Khalifah pada waktu itu, Al Watsiq beserta para tokoh Mu’tazilah diantaranya Ibnu Abi Duwwad. Mereka memaksakan paham ini kepada seluruh rakyatnya, termasuk para ulama pada waktu itu. Khalifah Al Watsiq suka menguji manusia dengan permasalahan tersebut (tentang Al Qur’an Makhluk). Barang siapa yang sepakat dengannya maka dibiarkan bebas, namun siapa yang menentangnya, maka akan di hukum, baik dipenjara, dicambuk, bahkan dibunuh. Imam ahmad bin Hambal adalah salah satu dari sekian ulama yang dijebloskan ke penjara, dicambuk berpuluh-puluh kali, bahkan beliau sempat akan dibunuh. Namun karena pertolongan Allah, kemudian karena keikhlasan, keteguhan serta kefaqihan beliau, maka hukuman bunuh dibatalkan, bahkan khalifah Al Watsiq bertaubat dari fahamnya tersebut setelah mendengar perkataan Imam Ahmad ketika berdialog dengan Ibnu Abi Duwwad.

Imam Adz Dzahabi meriwayatkan kisahnya dari Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq, anak sang khalifah Al Watsiq di kitabnya Siyaru A’laamin Nubalaa’ juz XI :312, ini ceritanya:

Berkata Al Muhtadi Billah Muhammad bin Al Watsiq: “Dahulu ayahku (khalifah Al Watsiq) bila hendak membunuh seseorang, ia mengajak kami menyaksikannya. Suatu saat dihadapkan kepadanya seorang tua yang disemir rambutnya dalam keadaan terikat”. (Orang tua ini adalah Abu Abdillah Ahmad bin Hambal Rahimahullah). Ayahku itu berkata: “ijinkan Abu Abdillah (Ibnu Abi Duwwad, kuniyahnya sama dengan imam Ahmad) beserta para sahabatnya untuk masuk”. Yang ia maksud adalah Ibnu Abi Duwwad. Perawi berkata: “Maka masuklah orang tua itu (Imam Ahmad)”. Orang itu berucap: “Assalamu’alaika Yaa Amiral Mukminin”. (semoga keselamatan atas dirimu). Beliau (Al Watsiq) menjawab: “Laa Sallamallahu ‘Alaika.” (semoga Allah tidak memberikan keselamatan atas kamu). Lelaki itu kontan menanggapi: “Sungguh jelek cara kamu memberikn salam. Padahal Allah Ta’ala berfirman (yang artinya):

Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).” (An Nisaa’ : 86)

Ibnu Abi Duwwad berkomentar: “ Lelaki itu (Imam Ahmad) pandai bersilat lidah. Maka ayahku berkata: “Ajaklah ia bicara.” Ibnu Abi Duwwad bertanya: “ Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?” Lelaki tua itu menjawab: “Dia tidak bersikap adil terhadapku. Aku yang seharusnya bertanya.” Ayahku berkata: “Tanyalah Ibnu Abi Duwwad.” Lelaki itu bertanya: “Apa pendapatmu tentang Al Qur’an?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “ Al Qur’an itu makhluk (bukan kalam Illahi).” Syaikh (lelaki tua) itu bertanya lagi: “Apakah ucapan itu sesuatu yang sudah diketahui oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar dan Al Khulafa’ Ar Rasyidun yang lain atau belum?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: ”Belum.” Lelaki itu berkata: “Maha Suci Allah, sesuatu (masalah agama) yang tidak diketahui Nabi, namun kamu mengetahuinya.” Ibnu Abi Duwwad menjadi malu. Lalu ia berkata: “Beri aku kesempatan lagi.” Lelaki tua itu berkata lagi: “Pertanyaannya tetap sama (yakni apakah Abu Bakar, Umar dan Al Khulafa Ar Rasyidun yang lain mengetahui hal itu).” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Ya, mereka telah mengetahuinya.” Lelaki tua itu bertanya lagi: “Mereka mengetahuinya, namun tidak mendakwahkannya kepada manusia?” Ibnu Abi Duwwad menjawab: “Iya”. Lelaki tua itu bertanya lagi: “Apakah yang cukup mereka lakukan tidak cukup bagimu?” Perawi berkata: “Maka ayahku lantas bangkit dan memasuki majelis, ia langsung duduk dan bertanya: “Sesuatu yang tidak diketahui Nabi Shalallahu alaihi Wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan seluruh Al Khulafa’ Ar Rasyidun, namun kamu mengetahuinya? Lalu sesuatu yang mereka ketahui dan tidak mereka dakwahkan, masih belum cukup bagimu sehingga kamu mendakwahkannya?” Beliau lalu menyuruh orang membuka ikatan lelaki tua itu dan memberikan kepadanya empat ratus dinar, lalu mengijinkannya pulang. Semenjak itu Ibnu Abi Duwwad dipandang sebelah mata oleh khalifah Al Watsiq, dan setelah itu ayahku tidak pernah lagi menguji orang lain dengan masalah itu.” (sampai di sini riwayat Imam Adz Dzahabi).

Apa yang keluar dari perkataan beliau (Imam Ahmad Rahimahullahu Ta’ala) merupakan kaidah besar bagi kaum Muslimin dalam memahami agamanya. Kaidah yang dapat membentengi umat Islam dari berbagai paham yang menyimpang. Kaidah ini yakni: Mengambil agama dari apa yang diajarkan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan memahaminya dengan apa yang dipahami oleh para sahabat Beliau Radliallahu ‘Anhum serta mencukupkan diri dengan apa yang datang dari mereka. Kaidah ini, jika dipegang kuat-kuat dan dipahami dengan baik oleh kaum Muslimin, niscaya mereka akan selamat dari kesalahan dalam beragama dan dari berbagai paham-paham yang menyimpang yang menisbatkan diri kepada Islam dan ajaran Islam, khususnya bagi kita pada zaman ini yang begitu banyak paham-paham yang menyesatkan.

Adapun faidah lain yang bisa kita ambil dari kisah ini diantaranya:

  1. Wajibnya tetap taat kepada pemimpin dalam perkara yang baik walaupun pemimpin berada dalam kesesatan serta memberikan haknya baik ia sebagai pemimpin maupun seorang Muslim. Hal ini ditunjukkan dengan sikap Imam Ahmad tetap memberikan salam kepada Al Watsiq dan tetap mengakuinya sebagai Amirul Mukminin.
  2. Wajibnya ber-amar ma’ruf dan nahi munkar terhadap pemimpin dengan cara yang baik.
  3. Dibolehkannya berdebat dalam masalah agama jika itu akan mendatangkan mashlahat yang besar. Namun debat ini juga harus dilakukan oleh orang yang mendalam ilmunya serta mempunyai keikhalasan niat. Adapun debat-debat yang tidak mendatangkan mashlahat bahkan menimbulkan mudlarat yang dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya seperti yang banyak terjadi pada hari ini, maka ini masuk dalam debat yang dilarang. Telah ada hadits dalam permasalahan ini.
  4. Keselamatan agama seseorang jika ia dekat dengan ulama’ atau mengambil agama melalui para ulama’ yang sebenar-benar ulama’. Al Watsiq selamat dari paham sesatnya itu ketika ia mendengar perkataan Imam Ahmad Rahimahullah.
  5. Ujian Allah Ta’ala kepada hamba-Nya, disamping untuk menghapus segala dosanya, juga bermanfaat untuk mengangkat kedudukan hamba tersebut ke tempat yang terpuji, baik di dunia maupun di akhirat.
  6. Perlunya istiqomah dalam beragama.

 

Wassalam,

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar