Senin, 29 Oktober 2012

Mendahulukan Cinta Kepada Allah


Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang samar bagi setiap orang yang memiliki mata hati, bahwa Allah SWT sangat mencela orang yang benci kepada apa yang dicintai-Nya dan mencintai apa yang dibenci-Nya.

Allah SWT berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Alquran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amat-amal mereka.” (QS. Muhammad: 9).

Dan Allah berfirman, “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya, sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 28).

Kesimpulannya, wajib bagi setiap Muslim yang berakal sehat dan beroleh taufik, untuk mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan yang besar.

Tak perlu disangsikan lagi, bahwa seseorang layak dikatakan memiliki iman yang kuat dan benar, manakala ia mencintai apa yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.

Seorang Mukmin belum bisa dikatakan sebagai Mukmin sejati, kecuali jika ia telah mendahulukan cinta kepada Rasul SAW melebihi cintanya kepada istri, anak-anak dan semua orang.

Karenanya, telah dijelaskan di dalam Hadis Shahihain, dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda, “Tidak layak seseorang dikatakan beriman, sehingga saya lebih dicintai olehnya daripada dirinya, anak-anaknya, kedua orangtuanya dan semua orang."

Dalam hal ini patut diingat, bahwa cinta yang sejati dan benar, menuntut seseorang agar bersedia mengikuti dan menyesuaikan diri dengan apa yang disenangi oleh kekasihnya dan menjauhi apa yang dibenci olehnya.

Karenanya, Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara- saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” (QS. At-Taubah: 24).

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa- dosamu’. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

Sebab turunnya ayat ini adalah, bahwa para sahabat Nabi SAW berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami mencintai Tuhan kami dengan kecintaan yang amat mendalam.

Maka, Allah sangat berkenan menjadikan tanda kecintaan ini dengan menurunkan ayat tersebut.

Kemudian, di dalam Hadis Shahihain disebutkan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau pernah bersabda,“Ada tiga jenis manusia yang di dalam dirinya terdapat manisnya iman. Yaitu, hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, hendaknya mencintai seseorang hanya semata-mata karena Allah, dan hendaknya membenci kekufuran sesudah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam api neraka.”

Barangsiapa mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan kecintaan sejati dan keikhlasan hati yang paling dalam, maka ia dituntut untuk dengan sepenuh hati menyintai Allah dan Rasul- Nya, dan membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian, ia berkewajiban mewujudkan kecintaan dan kebenciannya melalui seluruh anggota tubuhnya sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan.

Apabila anggota tubuhnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ketentuan tadi, maka hal ini menunjukkan ketiadaan rasa cinta yang sejati di dalam dirinya.

Dan ketika itu, seseorang diharuskan memohon ampunan dan tobat kepada Allah dari perbuatan tersebut seraya menyempurnakan kembali cinta yang semestinya.

Wahai hamba Allah, ketahuilah sesungguhnya perbuatan maksiat timbul karena mendahulukan cinta kepada hawa nafsu individual ketimbang cintanya kepada Allah dan Rasul- Nya. Demikian pula semua perbuatan bid’ah, hal ini muncul sebagai akibat didahulukannya kepentingan hawa nafsu ketimbang syariat yang mulia.

Barang siapa cintanya, bencinya, pemberiannya dan pencegahannya hanya untuk kepentingan hawa nafsunya, hal ini menunjukkan kurangnya keimanan yang wajib ada dalam dirinya.

Ketika itu, seseorang diharuskan bertobat dari perbuatannya, kemudian kembali kepada sunah Rasul SAW, mendahulukan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta semua yang diridhai Allah dan Rasul-Nya daripada kepentingan hawa nafsu dan segala keinginannya.

Setiap Mukmin sejati, wajib mencintai Allah dan orang-orang yang dicintai oleh-Nya seperti, para Malaikat, Rasul, Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Shalihin pada umumnya. Karenanya dikatakan, bahwa salah satu tanda keimanan yang meresap dalam sanubari adalah, hendaknya seseorang mencintai orang lain hanya semata-mata karena Allah.

Barangsiapa mencintai dan membenci karena Allah, memberi dan mencegah karena Allah, maka ia telah beroleh keimanan yang sempuma. Allah SWT berfirman, “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat kembalinya.” (QS. An- Nazi’at: 40-41).


*Khutbah Masjidil Haram oleh Syekh Abdullah Ibnu Muhammad Al-Khulaifi, Khatib dan Imam Masjidil Haram

Tidak ada komentar:

Posting Komentar