REPUBLIKA.CO.ID, Ada sebuah teori yang belakangan ini muncul di dunia intelektual muslim yang mengingkari bahwa manusia adalah khalifah Allah di muka bumi.
Pendapat tersebut mengatakan bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi itu diambil dari teori al-hulul (Allah berinkarnasi pada manusia), teori al-ittihad (bersatunya Allah dengan makhluk), teori al-quthub dan al-ghauts (bahwa alam ini diatur oleh kabinet wali di bawah pimpinan Wali Quthub atau Ghauts) yang datang dari kalangan sufi ekstrem.
Apakah memang benar demikian? Apakah hal ini termasuk menafikan Islam jika kita mengatakan bahwa manusia itu khalifah Allah di muka bumi? Apakah Ide kekhalifahan manusia di bumi itu dapat diterima oleh ad-din?
Syekh Yusuf Qardhawi menanggapi hal ini yang cukup memiliki kedudukan yang sagat penting dalam pemikiran Islam klasik dan modern. Hal itu karena tema ini berkaitan dengan kedudukan manusia menurut pandangan Islam dan penentuan derajatnya di alam semesta.
Topik ini merupakan ajang pembicaraan para mutakallim (ahli ilmu
kalam), ahli filsafat, ahli tafsir, dan ahli tasawuf dalam berbagai kesempatan,
sebagaimana yang terjadi pada zaman sekarang ini di kalangan ulama, budayawan,
dan pemerhati masalah keislaman.
Hal ini juga menjadikan sebagian orientalis yang fanatik yang sengaja menghembus-hembuskan racun dalam masalah ini, dengan menyadap beberapa kalimat, untuk melontarkan tuduhan bahwa Islam merendahkan kedudukan manusia.
Qardhawi mengatakan, istilah "manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi” ini bukanlah ciptaan budayawan Islam modern dan bukan pula ciptaan golongan sufi yang ekstrem. Tetapi istilah ini diriwayatkan dari tokoh-tokoh mufasir (ahli tafsir) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka.
Istilah ini merupakan salah satu pendapat dari dua atau dari berbagai pendapat mengenai makna "khilafah” dalam firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”(QS. Al-Baqarah: 30).
Mengenai ini kitab-kitab tafsir klasik ataupun modern hampir tidak ada yang tidak menyebutnya. Seperti dari kitab tafsir klasik berikut:
Pertama, apa yang dikemukakan oleh Ibnul Jauzi dalam tafsirnya. Dia menyebutkan dua pendapat mengenai makna kekhalifahan Bani Adam. Yaitu, mereka (manusia) sebagai khalifah (pengganti) Allah dalam melaksanakan syariat-Nya, menegakkan tauhid-Nya, dan memberlakukan hukum di antara makhluknya. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud.
Kedua, apa yang dikatakan oleh lmam Ar-Razi, dan ini merupakan pendapat yang kedua, yaitu bahwa Allah menyebutnya khalifah, karena ia menggantikan/mewakili Allah untuk memberlakukan hukum diantara orang-orang mukallaf. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan As-Sadi.
Hal ini juga menjadikan sebagian orientalis yang fanatik yang sengaja menghembus-hembuskan racun dalam masalah ini, dengan menyadap beberapa kalimat, untuk melontarkan tuduhan bahwa Islam merendahkan kedudukan manusia.
Qardhawi mengatakan, istilah "manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi” ini bukanlah ciptaan budayawan Islam modern dan bukan pula ciptaan golongan sufi yang ekstrem. Tetapi istilah ini diriwayatkan dari tokoh-tokoh mufasir (ahli tafsir) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudah mereka.
Istilah ini merupakan salah satu pendapat dari dua atau dari berbagai pendapat mengenai makna "khilafah” dalam firman Allah Ta’ala, ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.”(QS. Al-Baqarah: 30).
Mengenai ini kitab-kitab tafsir klasik ataupun modern hampir tidak ada yang tidak menyebutnya. Seperti dari kitab tafsir klasik berikut:
Pertama, apa yang dikemukakan oleh Ibnul Jauzi dalam tafsirnya. Dia menyebutkan dua pendapat mengenai makna kekhalifahan Bani Adam. Yaitu, mereka (manusia) sebagai khalifah (pengganti) Allah dalam melaksanakan syariat-Nya, menegakkan tauhid-Nya, dan memberlakukan hukum di antara makhluknya. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud.
Kedua, apa yang dikatakan oleh lmam Ar-Razi, dan ini merupakan pendapat yang kedua, yaitu bahwa Allah menyebutnya khalifah, karena ia menggantikan/mewakili Allah untuk memberlakukan hukum diantara orang-orang mukallaf. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, dan As-Sadi.
Pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah, “Hai Daud,
sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil..." (QS. Shad: 26).
Meskipun ayat-ayat yang mulia ini membicarakan kisah Adam, namun konteks ayat menunjukkan bahwa yang diberi mandat kekhalifahan adalah Adam dan anak cucunya.
Hal ini berdasarkan perkataan malaikat yang disebutkan dalam Alquran, “... mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensudkan Engkau?”(QS. Al-Baqarah: 30).
Dalam konteks ini yang dimaksudkan oleh malaikat bukanlah Adam AS, tetapi yang mereka maksudkan ialah jenis makhluk baru ini secara umum karena mereka sudah mengerti tabiat penciptaannya, atau dengan mengiyaskan (menganalogikan) dengan penghuni bumi sebelumnya, atau berdasarkan pemberitahuan Allah kepada mereka, menurut berbagai pendapat dan kemungkinan yang bermacam-macam dalam masalah ini.
“Saya tidak ingin memperkuat salah satu dari dua atau beberapa pendapat mengenai makna kata "khalifah” dalam ayat yang mulia itu, meskipun alur ceritanya sejak pemberitahuan Allah kepada para malaikat mengedepankan pembicaraan mengenai makhluk baru ini sebelum ada wujudnya,” kata Qardhawi.
Kemudian penggambaran tentang bagaimana Allah mengajari makhluk ini akan semua nama-nama benda, menampakkan kelebihannya di atas malaikat melalui ujian. Lebih lanjut, Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada makhluk yang unik ini.
Dijadikan-Nya sujud ini terkait dengan firman-Nya, “Kemudian Dia mengusir iblis dari rahmat-Nya, dan menetapkan laknat kepada iblis hingga hari kiamat ketika dia tidak mau memenuhi perintah-Nya untuk memberikan sujud penghormatan terhadap makhluk baru (manusia) ini.”
Meskipun ayat-ayat yang mulia ini membicarakan kisah Adam, namun konteks ayat menunjukkan bahwa yang diberi mandat kekhalifahan adalah Adam dan anak cucunya.
Hal ini berdasarkan perkataan malaikat yang disebutkan dalam Alquran, “... mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensudkan Engkau?”(QS. Al-Baqarah: 30).
Dalam konteks ini yang dimaksudkan oleh malaikat bukanlah Adam AS, tetapi yang mereka maksudkan ialah jenis makhluk baru ini secara umum karena mereka sudah mengerti tabiat penciptaannya, atau dengan mengiyaskan (menganalogikan) dengan penghuni bumi sebelumnya, atau berdasarkan pemberitahuan Allah kepada mereka, menurut berbagai pendapat dan kemungkinan yang bermacam-macam dalam masalah ini.
“Saya tidak ingin memperkuat salah satu dari dua atau beberapa pendapat mengenai makna kata "khalifah” dalam ayat yang mulia itu, meskipun alur ceritanya sejak pemberitahuan Allah kepada para malaikat mengedepankan pembicaraan mengenai makhluk baru ini sebelum ada wujudnya,” kata Qardhawi.
Kemudian penggambaran tentang bagaimana Allah mengajari makhluk ini akan semua nama-nama benda, menampakkan kelebihannya di atas malaikat melalui ujian. Lebih lanjut, Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada makhluk yang unik ini.
Dijadikan-Nya sujud ini terkait dengan firman-Nya, “Kemudian Dia mengusir iblis dari rahmat-Nya, dan menetapkan laknat kepada iblis hingga hari kiamat ketika dia tidak mau memenuhi perintah-Nya untuk memberikan sujud penghormatan terhadap makhluk baru (manusia) ini.”
Semua ini menjadikan hati cendrung kepada asumsi bahwa
pemberitahuan Ilahi kepada malaikat bahwasanya Dia hendak menjadikan khalifah
di muka bumi itu tidak menunjukkan bahwa dia hanya semata-mata makhluk yang
diciptakan untuk menggantikan penduduk bumi sebelumnya.
Dalam hal ini Qardhawi memilih apa yang dikatakan Sayid Shiddiq Hasan Khan dalam tafsirnya, “Fathul Bayan”, setelah menyebutkan berbagai pendapat mengenai makna "khilafah” dan "khalifah".
Sayid Shiddiq berkata, "Yang benar, ia dinamakan khalifah karena ia merupakan khalifah (wakil) Allah di muka bumi untuk menegakkan hukum-hukumnya dan melaksanakan keputusan-keputusan-Nya.”
Telah dikenal bahwa Sayid Shiddiq adalah salah seorang ulama yang memiliki komitmen kuat pada pemikiran salaf dan termasuk ulama hadis yang independen.
Qardhawi dalam hal ini tidak dalam posisi melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat), tetapi ia berpendapat inilah yang ma’tsur dan disebutkan berulang-ulang dalam sumber-sumber tafsir, tidak ada seorang pun yang mencelanya sebelum Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, meskipun Ibnul Qayyim lebih halus dan lebih moderat dalam masalah ini dibandingkan gurunya.
Ibnul Qayyim telah membeberkan masalah ini dalam kitabnya, “Miftahu Daaris Sa’adah”, ketika mensyarah hadis yang diriwayatkan Abu Nu'aim dan lainnya dari Kamil bin Ziyad dari Ali bin Abi Thalib RA mengenai keutamaan ilmu dan ahlinya. Ia menyebutkan, "Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya dan juru-juru dakwah-Nya yang menyeru manusia kepada agama-Nya."
Selain itu ia juga berkata, “Sabda beliau ‘mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya’ merupakan hujjah bagi salah satu dari dua pendapat yang memperbolehkan seseorang mengatakan, 'Si Fulan adalah khalifah Allah di bumi-Nya’.” Dia mengemukakan alasan-alasan golongan yang berpendapat demikian dari Alquran dan hadis.
Dalam hal ini Qardhawi memilih apa yang dikatakan Sayid Shiddiq Hasan Khan dalam tafsirnya, “Fathul Bayan”, setelah menyebutkan berbagai pendapat mengenai makna "khilafah” dan "khalifah".
Sayid Shiddiq berkata, "Yang benar, ia dinamakan khalifah karena ia merupakan khalifah (wakil) Allah di muka bumi untuk menegakkan hukum-hukumnya dan melaksanakan keputusan-keputusan-Nya.”
Telah dikenal bahwa Sayid Shiddiq adalah salah seorang ulama yang memiliki komitmen kuat pada pemikiran salaf dan termasuk ulama hadis yang independen.
Qardhawi dalam hal ini tidak dalam posisi melakukan tarjih (menguatkan salah satu pendapat), tetapi ia berpendapat inilah yang ma’tsur dan disebutkan berulang-ulang dalam sumber-sumber tafsir, tidak ada seorang pun yang mencelanya sebelum Imam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, meskipun Ibnul Qayyim lebih halus dan lebih moderat dalam masalah ini dibandingkan gurunya.
Ibnul Qayyim telah membeberkan masalah ini dalam kitabnya, “Miftahu Daaris Sa’adah”, ketika mensyarah hadis yang diriwayatkan Abu Nu'aim dan lainnya dari Kamil bin Ziyad dari Ali bin Abi Thalib RA mengenai keutamaan ilmu dan ahlinya. Ia menyebutkan, "Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya dan juru-juru dakwah-Nya yang menyeru manusia kepada agama-Nya."
Selain itu ia juga berkata, “Sabda beliau ‘mereka adalah khalifah-khalifah Allah di bumi-Nya’ merupakan hujjah bagi salah satu dari dua pendapat yang memperbolehkan seseorang mengatakan, 'Si Fulan adalah khalifah Allah di bumi-Nya’.” Dia mengemukakan alasan-alasan golongan yang berpendapat demikian dari Alquran dan hadis.
Kemudian dia mengemukakan dalil yang dipergunakan oleh golongan
yang tidak memperbolehkan mengucapkan kata-kata ini secara mutlak.
Ia juga mengatakan, jika yang dimaksud dengan idhafah kepada Allah (yakni dengan menyebut 'khalifah Allah’) itu menggantikan/mewakili Allah, maka pendapat yang benar ialah pendapat golongan yang tidak memperbolehkannya.
Sedangkan jika yang dimaksud dengan idhafah itu ialah bahwa Allah menjadikannya sebagai pengganti orang sebelumnya, maka dalam hal ini tidak terlarang meng-idhafah- kannya.
Hakikatnya, khalifah Allah adalah yang dijadikan-Nya sebagai pengganti bagi lainnya. Dengan demikian, keluarlah jawaban itu dari perkataan Amirul Mukminin, “Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di butni- Nya.” Demikian uraian Ibnul Qayyim.
Syekh Yusuf Qardhawi sebagai salah seorang yang sangat mengagumi Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dengan segala kekayaan ilmiah mereka yang agung yang mereka tinggalkan untuk umat ini.
Qardhawi juga menghormati motivasi yang mendorong mereka mengingkari ide "khilafah Allah" ini setelah sebagian ahli tasawuf berlaku ekstrem sehingga merusak pengertiannya.
Namun, melihat dalil-dalil yang mereka kemukakan tersebut untuk melarang atau menolak pendapat bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, adalah dalil yang tidak qath’i dan tidak kuat.
Ada dua alasan yang dijadikan acuan: Pertama, bahwa ketika orang-orang memanggil Abu Bakar RA dengan sebutan, "Wahai Khalifah Allah", dia menjawab, "Aku bukan khalifah Allah, tetapi aku adalah khalifah Rasulullah SAW, cukup begitu.”
Kedua, bahwa khalifah ialah orang yang menggantikan kedudukan orang lain. Adapun Allah Ta’ala tidak boleh ada seorang pun yang menjadi pengganti-Nya, karena tidak ada yang senama dan setara dengan-Nya, bahkan Dia-lah yang menjadi pengganti bagi lainnya.
Ia juga mengatakan, jika yang dimaksud dengan idhafah kepada Allah (yakni dengan menyebut 'khalifah Allah’) itu menggantikan/mewakili Allah, maka pendapat yang benar ialah pendapat golongan yang tidak memperbolehkannya.
Sedangkan jika yang dimaksud dengan idhafah itu ialah bahwa Allah menjadikannya sebagai pengganti orang sebelumnya, maka dalam hal ini tidak terlarang meng-idhafah- kannya.
Hakikatnya, khalifah Allah adalah yang dijadikan-Nya sebagai pengganti bagi lainnya. Dengan demikian, keluarlah jawaban itu dari perkataan Amirul Mukminin, “Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di butni- Nya.” Demikian uraian Ibnul Qayyim.
Syekh Yusuf Qardhawi sebagai salah seorang yang sangat mengagumi Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim dengan segala kekayaan ilmiah mereka yang agung yang mereka tinggalkan untuk umat ini.
Qardhawi juga menghormati motivasi yang mendorong mereka mengingkari ide "khilafah Allah" ini setelah sebagian ahli tasawuf berlaku ekstrem sehingga merusak pengertiannya.
Namun, melihat dalil-dalil yang mereka kemukakan tersebut untuk melarang atau menolak pendapat bahwa manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, adalah dalil yang tidak qath’i dan tidak kuat.
Ada dua alasan yang dijadikan acuan: Pertama, bahwa ketika orang-orang memanggil Abu Bakar RA dengan sebutan, "Wahai Khalifah Allah", dia menjawab, "Aku bukan khalifah Allah, tetapi aku adalah khalifah Rasulullah SAW, cukup begitu.”
Kedua, bahwa khalifah ialah orang yang menggantikan kedudukan orang lain. Adapun Allah Ta’ala tidak boleh ada seorang pun yang menjadi pengganti-Nya, karena tidak ada yang senama dan setara dengan-Nya, bahkan Dia-lah yang menjadi pengganti bagi lainnya.
Sedangkan Abu Bakar RA, meskipun ia sebagai kepala pemerintahan,
dia memiliki akidah yang kuat dan beliau ingin agar akidahnya selamat dari
kotoran dan penyelewengan.
Kedudukannya yang istimewa yang tidak dimiliki kaum muslim lainnya sebagai Khalifah Allah justru membuat beliau khawatir akan diagung-agungkan secara berlebihan sebagaimana yang biasa diberlakukan terhadap para penguasa.
Karena itu dia menolaknya. Ia menganggap sudah cukup bahwa dia sebagai khalifah Rasulullah SAW. Maka dia berkata, "Cukuplah yang demikian itu bagiku."
Disebutkan pula dalam suatu riwayat bahwa salah seorang penyair pernah berkata kepada Abu Bakar, "Wahai Khalifah Tuhan Yang Rahman. Kami adalah orang-orang yang tulus. Kami bersujud pada waktu pagi dan petang hari. Kami adalah bangsa Arab asli. Kami tahu ada hak Allah pada harta kami. Hak zakat sebagaimana ditetapkan dalam wahyu yang diturunkan Ilahi.”
“Kita tidak tahu apakah untaian kalimat ini sampai kepada Abu Bakar atau tidak, tetapi yang jelas diucapkan pada zaman beliau. Dan tidak ada berita yang sampai kepada kita bahwa ada seseorang dari kalangan sahabat yang mengingkarinya,” kata Qardhawi.
Dengan demikian, nyatalah bagi kita bahwa ungkapan Abu Bakar itu bukan merupakan nash yang mengingkari khilafah Allah yang umum kepada semua manusia, karena kalimat itu diucapkan dalam situasi tertentu dan untuk tujuan tertentu pula.
Di samping itu, yang sama dengan ini ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa dia mengingkari Muawiyah yang memberi istilah harta perbendaharaan Islam dengan "harta Allah" (maalullah), dan dia meminta agar menyebutnya dengan "harta kaum muslim” (maalul muslimin). Padahal, menyandarkan harta kepada Allah Ta'ala itu juga terdapat dalam Alquranul Karim,
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu... ” (QS. An-Nur: 33).
Namun begitu, istilah "harta Allah” dikhawatirkan menjadikan seorang penguasa menganggap enteng hak jamaah terhadap harta, sehingga ia dengan seenaknya menggunakan harta tersebut dengan tujuan bukan untuk kemaslahatan kaum muslim sebagai pemilik harta itu yang sebenarnya.
Yang dia maksudkan di sini ialah bahwa ungkapan itu adakalanya boleh dipergunakan, tetapi dengan pengungkapan yang rasional, yang tidak boleh dipergunakan pada keadaan tertentu.
Kedudukannya yang istimewa yang tidak dimiliki kaum muslim lainnya sebagai Khalifah Allah justru membuat beliau khawatir akan diagung-agungkan secara berlebihan sebagaimana yang biasa diberlakukan terhadap para penguasa.
Karena itu dia menolaknya. Ia menganggap sudah cukup bahwa dia sebagai khalifah Rasulullah SAW. Maka dia berkata, "Cukuplah yang demikian itu bagiku."
Disebutkan pula dalam suatu riwayat bahwa salah seorang penyair pernah berkata kepada Abu Bakar, "Wahai Khalifah Tuhan Yang Rahman. Kami adalah orang-orang yang tulus. Kami bersujud pada waktu pagi dan petang hari. Kami adalah bangsa Arab asli. Kami tahu ada hak Allah pada harta kami. Hak zakat sebagaimana ditetapkan dalam wahyu yang diturunkan Ilahi.”
“Kita tidak tahu apakah untaian kalimat ini sampai kepada Abu Bakar atau tidak, tetapi yang jelas diucapkan pada zaman beliau. Dan tidak ada berita yang sampai kepada kita bahwa ada seseorang dari kalangan sahabat yang mengingkarinya,” kata Qardhawi.
Dengan demikian, nyatalah bagi kita bahwa ungkapan Abu Bakar itu bukan merupakan nash yang mengingkari khilafah Allah yang umum kepada semua manusia, karena kalimat itu diucapkan dalam situasi tertentu dan untuk tujuan tertentu pula.
Di samping itu, yang sama dengan ini ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Dzar bahwa dia mengingkari Muawiyah yang memberi istilah harta perbendaharaan Islam dengan "harta Allah" (maalullah), dan dia meminta agar menyebutnya dengan "harta kaum muslim” (maalul muslimin). Padahal, menyandarkan harta kepada Allah Ta'ala itu juga terdapat dalam Alquranul Karim,
"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu... ” (QS. An-Nur: 33).
Namun begitu, istilah "harta Allah” dikhawatirkan menjadikan seorang penguasa menganggap enteng hak jamaah terhadap harta, sehingga ia dengan seenaknya menggunakan harta tersebut dengan tujuan bukan untuk kemaslahatan kaum muslim sebagai pemilik harta itu yang sebenarnya.
Yang dia maksudkan di sini ialah bahwa ungkapan itu adakalanya boleh dipergunakan, tetapi dengan pengungkapan yang rasional, yang tidak boleh dipergunakan pada keadaan tertentu.
Redaktur: Chairul Akhmad
Reporter: Hannan Putra
Sumber: Fatawa Al-Qardhawi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar