Produktif di Bulan Puasa
Senin, 30 Juni 2014 09:25:17 WIB
· Spiritual Leadership
Bulan puasa telah tiba. Umat Islam menyambut bulan ini dengan sukacita karena begitu banyak kemuliaan dan keberkahan. Namun dari sisi dunia kerja puasa kerap dituding sebagai saat di mana terjadi penurunan produktivitas kerja. Banyak karyawan masuk lebih siang, pulang lebih cepat, dan tertidur di meja kerja. Apakah hal itu memang wajar atau seharusnya terjadi?
Untuk membahas hal itu saya ingin memulainya dengan sebuah ilustrasi. Pernahkah Anda melihat bagaimana para seniman mencipta karya seninya? Saksikanlah bagaimana pelukis profesional saat menyapukan warna ke atas kanvas, atau pematung saat membuat goresan dan pahatan. Sedemikian asyiknya mereka, bahkan seakan tak peduli dengan sekelilingnya. Dia bisa lupa waktu bahkan juga bisa tidak merasakan lapar.
Energi yang digunakan bukan dari energi fisik berupa asupan makanan, tapi sesuatu yang dahsyat yang menimbulkan dorongan untuk mencurahkan segala ide, gairah, dan potensinya. Hasilnya sebuah mahakarya yang luar biasa, yang menggetarkan hati orang-orang yang melihatnya, bahkan melewati lintasan abad dan zaman.
Demikian juga pemusik profesional saat berlatih, mereka menghabiskan ribuan jam dengan penuh kegairahan dan sangat menikmatinya. Saat pertunjukkan tiba, mereka pun flow hingga seolah berada di dunia lain.
Mereka yang sukses, selalu tampak menikmati apa yang dikerjakannya. Lalu bila para seniman atau pemusik bisa berada di puncak pengalaman kinerja seperti di atas, bagaimana dengan karyawan yang bekerja di perusahaan? Apa yang harus dilakukan pihak manajemen agar tercipta kondisi mental sebagaimana para seniman atau pemusik?
Lembaga konsultan SDM selama ini sibuk mempelajari bagaimana agar terjadi peningkatan kinerja pada karyawan sehingga mereka tidak hanya bekerja karena beban atau menunggu gajian. Para konsultan ini mencari formula terbaik bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang menginspirasi dan menimbulkan energi luar biasa yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan produktivitas individu.
Sedemikian lama dunia meyakini bahwa kunci kesuksesan seseorang di dunia kerja adalah karena kecerdasan intelektualnya. Karena itu perangkat penyeleksian karyawan selalu berdasarkan test IQ. Keadaan ini berubah kemudian ketika penelitian membuktikan ternyata peran IQ hanya 6-20%. Sejak itulah dimulai era EQ atau kecerdasan emosi.
Namun kemudian muncul kesadaran baru bahwa ada sesuatu yang diperlukan dan sangat penting bagi terciptanya kondisi kinerja terbaik. IQ dan EQ saja ternyata tidak cukup. Dalam riset McKinsey jawaban terbanyak dari para eksekutif tentang kinerja puncak pada 10 tahun terakhir hanya sedikit berkaitan dengan IQ dan EQ.
Hal yang dianggap penting dan berpengaruh pada kinerja puncak adalah, kegairahan, tantangan, dan sesuatu yang dianggap berharga dalam hidup. Semua itu akan membuat perbedaan dalam kinerja mereka.
Karena itu kini muncul istilah untuk menyebut kategori ketiga dalam bekerja yang dikenal sebagai Meaning Quotient (MQ). Jika MQ di sebuah lingkungan perusahaan rendah, pekerja akan memberikan lebih sedikit energi pada pekerjaannya, dan memandang pekerjaan ’hanya sebuah pekerjaan’ yang memberi mereka gaji.
Dengan menyadari makna bekerja seorang karyawan memahami bahwa yang mereka kerjakan adalah sesuatu ‘yang berarti’, yang membuat mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan benar-benar penting, atau bahwa hal itu akan membuat perubahan yang berarti untuk orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa makna seperti itu mendorong produktivitas kerja yang lebih tinggi.
Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi meneliti secara berbeda keadaan mental yang memunculkan performa luar biasa dalam seni, olahraga, bisnis, atau seni. Dari penelitiannya dia menyimpulkan bahwa kemampuan inti mereka untuk memenuhi tujuan atau tantangan menciptakan sesuatu yang dia sebut, ‘flow’.
Dia menemukan bahwa orang yang sering mengalaminya lebih produktif dan menemukan kepuasan yang lebih besar. Mereka menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiri untuk meningkatkan kemampuan mereka, sehingga seolah menimbulkan energi tak terbatas. Mereka menunjukkan kesediaan untuk mengulang pekerjaan bahkan jika mereka tidak dibayar untuk melakukannya.
Apa yang dikatakan tentang ‘flow’ ternyata serupa dengan MQ. Penelitian menunjukkan bahwa jika karyawan bekerja di lingkungan dengan IQ, EQ, dan MQ yang tinggi, maka akan lima kali lebih produktif dibandingkan rata-rata lainnya.
Membahas mengenai MQ, sesungguhnya sama dengan apa yang saya paparkan tentang pentingnya Spiritual Quotien (SQ). SQ adalah kecerdasan manusia yang mampu memaknai segala sesuatu. SQ dapat mengatasi persoalan manusia ketika IQ dan EQ sudah tak mampu lagi diandalkan. Inilah yang diperlukan para karyawan perusahaan.
Kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan jauh dari sekedar materi dan untuk kepentingan pribadi, namun juga memberi dampak luas pada pelanggan dan masyarakat luas bahkan sebagai pengabdian pada Sang pencipta. Jika bekerja sudah dimaknai sebagai pengabdian dan ibadah pada Sang Pencipta, maka bulan puasa seharusnya tidak menjadi halangan namun justru memacu produktivitas kerja.
Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165