Selasa, 15 Juli 2014

Fadhilah Ramadhan

Fadhilah Ramadhan

Rabu, 02 Juli 2014, 01:57 WIB

Ramadhan (ilustrasi)

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH Hasyim Muzadi
Hari ini, kita tengah berada pada minggu pertama bulan suci Ramadhan 1435 H. Menurut banyak riwayat, Allah SWT kadang membanggakan hamba-Nya di hadapan para malaikat.

Allah SWT berkehendak melakukan itu, tidak pada semua waktu, tidak di sembarang tempat, dan tidak kepada semua hamba.

Satu hal yang pasti, semua hamba harus berjuang, bermujahadah, dan berlatih memberi alasan bagi Allah agar Dia berkenan membanggakan kita.

Menurut sahabat Ubadah bin Shomit RA, pernah beberapa saat menjelang Ramadhan tiba, Rasulullah SAW mendatangi para sahabatnya.

Kepada para hamba terbaik yang selalu dibanggakan oleh Rasulullah SAW itu, beliau menjelaskan tentang keutamaan (fadhilah) Ramadhan. Pada bulan ini, kata Rasulullah, Allah SWT menurunkan keberkahan hidup bagi orang-orang yang mencarinya.

Kita memahami sesungguhnya hidup yang paling baik itu adalah kehidupan yang mendatangkan berkah. Sebab, dengan keberkahan itu, manusia akan senantiasa hidup dalam ketenangan dan kedamaian.

Hidup yang bergelimang harta dan kemewahan, namun tidak ada keberkahan di dalamnya, sesungguhnya itulah kehidupan yang kering. Hidup penuh ilmu, tapi tidak berkah dan tak nafi' (manfaat), hal itu akan menjauhkan pemiliknya dari Allah.

Hidup dengan derajat tinggi di mata masyarakat, namun tidak berkah, hanya akan memperoleh kenistaan di hadapan Allah.

Hidup dengan jabatan yang tinggi, namun tidak berkah, hanya akan mendapatkan laknat dari Allah. Karena itu, inti dari kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh berkah.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa pada Ramadhan, Allah akan menurunkan keberkahan yang tak terhingga.

Selain karena berkah, hidup terbaik adalah yang disaput rahmat Allah. Hidup tanpa dibarengi rahmah (kasih dan sayang) Allah juga merupakan kehidupan yang kering.

Hidup yang diperoleh bukan karena rahmat Allah adalah kehidupan yang tak bermakna. Dan, hidup yang terbaik, selain karena diliputi keberkahan dan rahmat, juga karena Allah mengampuni dosa-dosa kita.

Hidup bergelimang keberkahan, penuh rahmat, dan memperoleh pengampunan atas dosa-dosa bisa diusahakan semua Muslimin dan Muslimat.

Hidup semacam ini, kita bisa memohon kepada Allah SWT. Berharap agar permohonan lekas dikabulkan, caranya adalah dengan memanfaatkan datangnya Ramadhan yang penuh kemuliaan dan keberkahan ini.

Sebab, pada bulan inilah, semua hamba Allah, berlomba-lomba melakukan kebaikan, Allah SWT kerap membanggakan itu di hadapan para malaikat.

Sebab itu, shoimin dan shoimat, mari kita bermujahadah pada bulan ini untuk mencari kehidupan yang berkah, penuh rahmat, dan pengampunan atas dosa-dosa agar Allah punya ‘alasan’ membanggakan kita di hadapan para malaikat-malaikat-Nya.

Bukankah makhluk paling baik ibadah dan pengabdiannya kepada Allah adalah para malaikat? Karena itu, Ramadhan ini harusnya menjadi tempat bagi kita untuk mencuci diri dari kerak dosa dan tempat bagi kita untuk mudik ke kampung halaman yang abadi, yakni Allah SWT. Wallahu a'lam.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Produktif di Bulan Puasa

Produktif di Bulan Puasa

·         Spiritual Leadership

Bulan puasa telah tiba. Umat Islam menyambut bulan ini dengan sukacita karena begitu banyak kemuliaan dan keberkahan. Namun dari sisi dunia kerja puasa kerap dituding sebagai saat di mana terjadi penurunan produktivitas kerja. Banyak karyawan masuk lebih siang, pulang lebih cepat, dan tertidur di meja kerja. Apakah hal itu memang wajar atau seharusnya terjadi?

Untuk membahas hal itu saya ingin memulainya dengan sebuah ilustrasi. Pernahkah Anda melihat bagaimana para seniman mencipta karya seninya? Saksikanlah bagaimana pelukis profesional saat menyapukan warna ke atas kanvas, atau pematung saat membuat goresan dan pahatan. Sedemikian asyiknya mereka, bahkan seakan tak peduli dengan sekelilingnya. Dia bisa lupa waktu bahkan juga bisa tidak merasakan lapar.

Energi yang digunakan bukan dari energi fisik berupa asupan makanan, tapi sesuatu yang dahsyat yang menimbulkan dorongan untuk mencurahkan segala ide, gairah, dan potensinya. Hasilnya sebuah mahakarya yang luar biasa, yang menggetarkan hati orang-orang yang melihatnya, bahkan melewati lintasan abad dan zaman.

Demikian juga pemusik profesional saat berlatih, mereka menghabiskan ribuan jam dengan penuh kegairahan dan sangat menikmatinya. Saat pertunjukkan tiba, mereka pun flow hingga seolah berada di dunia lain.

Mereka yang sukses, selalu tampak menikmati apa yang dikerjakannya. Lalu bila para seniman atau pemusik bisa berada di puncak pengalaman kinerja seperti di atas, bagaimana dengan karyawan yang bekerja di perusahaan? Apa yang harus dilakukan pihak manajemen agar tercipta kondisi mental sebagaimana para seniman atau pemusik?

Lembaga konsultan SDM selama ini sibuk mempelajari bagaimana agar terjadi peningkatan kinerja pada karyawan sehingga mereka tidak hanya bekerja karena beban atau menunggu gajian. Para konsultan ini mencari formula terbaik bagaimana menciptakan lingkungan kerja yang menginspirasi dan menimbulkan energi luar biasa yang dapat meningkatkan kepercayaan diri dan produktivitas individu.

Sedemikian lama dunia meyakini bahwa kunci kesuksesan seseorang di dunia kerja adalah karena kecerdasan intelektualnya. Karena itu perangkat penyeleksian karyawan selalu berdasarkan test IQ. Keadaan ini berubah kemudian ketika penelitian membuktikan ternyata peran IQ hanya 6-20%. Sejak itulah dimulai era EQ atau kecerdasan emosi.

Namun kemudian muncul kesadaran baru bahwa ada sesuatu yang diperlukan dan sangat penting bagi terciptanya kondisi kinerja terbaik. IQ dan EQ saja ternyata tidak cukup. Dalam riset McKinsey jawaban terbanyak dari para eksekutif tentang kinerja puncak pada 10 tahun terakhir hanya sedikit berkaitan dengan IQ dan EQ.

Hal yang dianggap penting dan berpengaruh pada kinerja puncak adalah, kegairahan, tantangan, dan sesuatu yang dianggap berharga dalam hidup. Semua itu akan membuat perbedaan dalam kinerja mereka.

Karena itu kini muncul istilah untuk menyebut kategori ketiga dalam bekerja yang dikenal sebagai Meaning Quotient (MQ). Jika MQ di sebuah lingkungan perusahaan rendah, pekerja akan memberikan lebih sedikit energi pada pekerjaannya, dan memandang pekerjaan ’hanya sebuah pekerjaan’ yang memberi mereka gaji.

Dengan menyadari makna bekerja seorang karyawan memahami bahwa yang mereka kerjakan adalah sesuatu ‘yang berarti’, yang membuat mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan benar-benar penting, atau bahwa hal itu akan membuat perubahan yang berarti untuk orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa makna seperti itu mendorong produktivitas kerja yang lebih tinggi.

Psikolog Mihaly Csikszentmihalyi meneliti secara berbeda keadaan mental yang memunculkan performa luar biasa dalam seni, olahraga, bisnis, atau seni. Dari penelitiannya dia menyimpulkan bahwa kemampuan inti mereka untuk memenuhi tujuan atau tantangan menciptakan sesuatu yang dia sebut, ‘flow’.

Dia menemukan bahwa orang yang sering mengalaminya lebih produktif dan menemukan kepuasan yang lebih besar. Mereka menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiri untuk meningkatkan kemampuan mereka, sehingga seolah menimbulkan energi tak terbatas. Mereka menunjukkan kesediaan untuk mengulang pekerjaan bahkan jika mereka tidak dibayar untuk melakukannya.

Apa yang dikatakan tentang ‘flow’ ternyata serupa dengan MQ. Penelitian menunjukkan bahwa jika karyawan bekerja di lingkungan dengan IQ, EQ, dan MQ yang tinggi, maka akan lima kali lebih produktif dibandingkan rata-rata lainnya.

Membahas mengenai MQ, sesungguhnya sama dengan apa yang saya paparkan tentang pentingnya Spiritual Quotien (SQ). SQ adalah kecerdasan manusia yang mampu memaknai segala sesuatu. SQ dapat mengatasi persoalan manusia ketika IQ dan EQ sudah tak mampu lagi diandalkan. Inilah yang diperlukan para karyawan perusahaan.

Kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan jauh dari sekedar materi dan untuk kepentingan pribadi, namun juga memberi dampak luas pada pelanggan dan masyarakat luas bahkan sebagai pengabdian pada Sang pencipta. Jika bekerja sudah dimaknai sebagai pengabdian dan ibadah pada Sang Pencipta, maka bulan puasa seharusnya tidak menjadi halangan namun justru memacu produktivitas kerja.

Dr. (H.C) Ary Ginanjar Agustian
Pakar Pembangunan Karakter,
Corporate Culture Consultant,
Founder ESQ 165

 

Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan

Akhlak Mulia, Antara Tabiat dan Kebiasaan

Monday, 30 June 2014, 15:39 WIB

Pada dasarnya jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia.

 

REPUBLIKA.CO.ID, Para ulama berbeda pendapat mengenai dasar-dasar akhlak mulia. Ada ulama yang mengatakan bahwa akhlak mulia adalah tabiat alamai seseorang yang tidak bisa dibuat-buat karena merupakan karunia dari Allah.

Namun, ada pula ulama yang beranggapan, akhlak mulia adalah watak yang terbentuk, sehingga dapat diraih dengan cara giat berlatih dan membiasakan diri secara intens.

Mahmud al-Mishri dalam karyanya Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW berpendapat, tabiat dan kebiasaan sesungguhnya saling mendukung. Menurutnya, ini adalah opini yang paling mendekati kebenaran.

Sebagian akhlak mulia, kata dia, bisa saja disebut sebagai tabiat alami yang dianugerahkan Allah kepada seseorang. Pada kasus ini, seseorang mungkin tidak perlu lagi berlatih atau membiasakan diri untuk ‘menjadi baik’. 

“Karena itu, orang yang tidak dikaruniai kelabihan ini dituntut untuk melawan hawa nafsunya dan melatih diri untuk berakhlak mulia,” tulis al-Mishri.

Pada dasarnya, lanjut al-Mishri, jiwa manusia itu mudah sekali menyerap dan menerima akhlak mulia. Hal ini seperti yang diungkapkan Abu Dzu’aib Al Hudzli dalam syairnya, “Nafsu manusia selalu berkeinginan jika dituruti, dan akan berhenti jika ditahan.”

Salah satu bukti bahwa akhlak merupakan tabiat sekaligus hasil latihan dan pembiasaan adalah sabda Rasulullah SAW kepada Asyaj Abdul Qais: “Sungguh, kamu memiliki dua sifat yang dicintai Allah, yaitu murah hati dan sabar,” kata nabi kepada sahabatnya itu.

Asyaj pun lantas bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kedua sifat itu sudah menjadi tabiatku sejak aku diciptakan, atau apakah Allah yang membentukku seperti itu (dalam proses yang aku jalani)?”

Rasul menjawab, “Allah-lah yang membentuk watakmu sedemikian rupa.”

Asyaj lalu berkata lagi, “Segala puji bagi Allah yang telah membentukku dengan dua akhlak yang dicintai Allah dan Rasul-Nya itu.” (HR Abu Dawud, Ahmad, dan Muslim dengan sanad sahih).

Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berpendapat, hadis di atas menunjukkan bahwa sebagian akhlak merupakan tabiat dan sebagian lainnya adalah hasil latihan dan pembiasaan diri. Akhlak karena tabiat menurutnya lebih baik kualitasnya daripada akhlak yang diperoleh dari hasil latihan.

“Bila akhlak mulia telah menjadi tabiat seseorang, maka itu akan menjadi pembawaan dan perangai baginya, sehingga pelaksanaannya tidak lagi memerlukan latihan yang melelahkan. Ini adalah kelebihan yang Allah karuniakan kepada orang-orang yang dikehendakinya, ” kata Utsaimin.

Di sisi lain, kata dia, orang yang telah berusaha membentuk  dan melatih diri untuk berakhlak  mulia tentu saja mendapat tempat tersendiri di sisi Allah SWT.

“Allah tidak akan menyia-nyiakan amalnya karena upaya dan kerja kerasnya. Pada poin ini, dia dapat dikatakan lebih utama daripada orang yang dikaruniai tabiat akhlak mulia. Akan tetapi, dia tetap tidak lebih sempurna dalam hal penciptaan,” katanya.

“Jika ada seorang hamba yang dikaruniai dua bentuk akhlak mulia sekaligus (tabiat alami dan hasil latihan), maka sungguh ia sosok yang paling sempurna,” ujar al-Utsaimin lagi.

Reporter : Ahmad Islamy Jamil

Redaktur : Chairul Akhmad

 

 

Anak 5,5 tahun hafal 29 juz