Rabu, 25 September 2013

Kemengertian Allah

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Kemengertian Allah

Rabu, 25 September 2013, 22:29 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Nurlaela Wahidah
Diwajibkan atasmu jihad dan jihad itu berat bagimu. Bisa jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu lebih baik bagimu. Bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS al-Baqarah: 216).

Manusia sering merasa mengerti seutuhnya diri mereka dan mengetahui kebutuhan hidupnya sehingga akal dan perasaan mereka jadi tolok ukur untuk memenuhi kepentingannya itu.

Apa yang dianggap baik oleh akal dan perasaan, itulah yang terbaik. Lalu, apa yang dianggap buruk maka itulah pilihan buruk baginya.

Sesungguhnya, Islam tidak mengajarkan demikian. Standar baik dan buruk itu bukan saja otoritas akal dan perasaan. Positif dan negatif atau baik buruknya sesuatu itu sepenuhnya urusan Allah.

Akal dan perasaan tidak bisa jadi hakim satu-satunya. Sebab, wahyulah yang akan menuntun akal dan perasaan itu menilai baik atau tidaknya suatu perbuatan agar kehidupan tidak merugi.

Misalnya, seperti kasus di atas. Jihad sebagai sebuah kewajiban terhadap agama memang perintah yang sangat berat. Di dalam jihad (perang), ada mobilisasi massa dan pengumpulan dana besar.

Jihad membuat seseorang berpisah dengan keluarga dan daerah asal. Akibat jihad, anggota tubuh mengalami luka, teramputasi, bahkan nyawa melayang.

Namun, di balik seruan itu dan berkat amaliah jihad, negeri terbebas dari kezaliman.  Harta dan harga diri manusia terjaga. Belum lagi pahala yang besar di akhirat, bahkan bagi yang wafat digelari syuhada.

Banyak hal dalam perintah agama yang tidak sesuai dengan selera manusia. Ibadah-ibadah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas keimanan sudah banyak ditinggalkan manusia.

Jangankan berjihad, shalat atau puasa saja terasa berat bagi sebagian orang. Perkara ibadah sudah dianggap memberatkan.

Manusia lebih suka bersantai-santai memuaskan selera hidup dan berlepas diri dari segala aturan yang membelenggu kebebasannya.

Segala sesuatu yang diperintahkan Allah pasti memiliki maslahat besar di dalamnya. Adapun segala sesuatu yang dilarang Allah pasti mengandung mudarat yang berbahaya. Maslahat atau mudarat itu berefek bagi jasmani atau rohani, bahkan bisa pada keduanya sekaligus.

Allah SWT mengatur segala sesuatu ini dengan ilmu-Nya. Ilmu Allah itu tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.
Namun, Kemengertian dan Kemahatahuan Allah itu di atas segala sesuatu.

Allah SWT itu lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Nya melebihi pengetahuan hamba itu terhadap dirinya sendiri.

Muadz bin Jabal RA berkata, “Jika seorang Mukmin diuji dengan sakit, dikatakan kepada malaikat sebelah kiri, 'Angkat penamu!' Dikatakan pula kepada malaikat sebelah kanan, 'Tulislah untuk hamba-Ku sebaik amal yang dia kerjakan saat sehatnya.'”

Allah telah mencukupi kita dengan berbagai macam hal dalam hidup ini. Dia memberi melebihi yang kita minta. Dia mencukupi di luar kebutuhan kita. Dia memuluskan langkah-langkah kita.

Dia menutupi kekurangan-kekurangan kita rapat-rapat. Bahkan, Dia mengampuni dosa-dosa kita meskipun dengan amal kita yang sedikit.

Yang Allah minta hanyalah agar kita pandai bersyukur. Syukuri segala keadaan dan gunakan segala fasilitas dari Allah di jalan yang diridhaiNya.

Demikianlah banyak hikmah positif di balik setiap kondisi kita. Kemengertian Allah atas hamba-Nya tidak bisa dimungkiri.

Seorang hamba hanya perlu bersyukur pada keadaannya dan berpikir positif (husnudzan) pada Allah. Kondisi di mana kita berada saat ini menunjukkan itulah yang terbaik bagi kita menurut ilmu Allah.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Allah Bertanya: Mana Syukurmu?

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Allah Bertanya: Mana Syukurmu?

Rabu, 25 September 2013, 11:27 WIB

Berdoa (ilustrasi)

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah
Sebenarnya kita ini diberi oleh Allah banyak anugerah baik kesehatan, ilmu, keluarga, rezeki, kedudukan dan banyak lainnya lagi. Hanya saja sering orang merasakan bahwa hal itu bukan sebagai pemberian Allah melainkan semata usaha manusiawi. Hasil keringatnya sendiri. Sesungguhnya semua itu Allah yang memberi dan mengaturnya, untuk menguji apakah kita syukur atau kufur.

Dalam Hadits Riwayat Ahmad dan Baihaqi dari Abu Hurairah  Rasulullah SAW pernah bersabda, ”Allah Azza  wa Jalla berfirman pada hari kiamat, ‘Wahai manusia ! Aku tunggangkan engkau di atas kuda dan unta. Aku nikahkan engkau dengan perempuan. Aku jadikan engkau sebagai pemimpin. Mana syukurmu atas semua itu ?”

Fa aina syukru dzalika?” (Mana syukurmu atas semua itu ?) adalah pertanyaan Allah yang tajam terhujam kepada  jiwa orang-orang biasa mengabaikan.

Ada tiga hal mendasar dari anugerah Allah dalam hadis itu.

Pertama adalah tunggangan atau kendaraan. Dahulu kuda dan unta, kini berbagai jenis kendaraan bermotor dapat digunakan. Hakekat berkendaraan adalah mengangkut orang dari satu tempat ke tempat yang lain untuk dapat memenuhi segala keperluannya. Kendaraan itu baik hewan maupun kendaraan bermotor dapat membahayakan pengendaranya, jika tidak dikendalikan dengan baik.

Rasulullah SAW mengingatkan bahwa Allah lah yang menundukkan dan menggerakkan semua itu sehingga “jinak” atau “nyaman” dan “aman”. “subhaanalladzii sakhkharolanaa hadzaa, wa maa kunnaa lahu muqriniin” (Maha suci Allah yang telah menundukkan kendaraan ini, padahal kami tak kuasa menundukkannya). Allah memuliakan manusia keturunan Adam dengan “mengangkut” mereka di darat dan di laut juga di udara. Kemuliaan manusia ada dalam dinamika geraknya, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain “Walaqad karromnaa banii aadama wa hamalnaahum fil barri walbahri..” (Dan sesungguhnya telah Kami muliakan keturunan Adam dan kami angkut mereka di darat dan di laut..)—QS Al Israa 70.

Penderitaan apa yang dirasakan manusia jika ia dalam keadaan tak bisa bergerak, diam dan tidak mampu bepergian. Penderitaan berat apa juga yang jika jarak jauh harus ditempuh dengan berjalan kaki ? Allah telah beri kita “tunggangan” kendaraan!

Kedua, pernikahan. Rasulullah SAW bersabda “baitii janatii” rumahku adalah surgaku. Artinya rumah dalam arti tempat tinggal ataupun rumah dalam arti rumah tangga yang dibangun atas dasar pernikahan adalah surga kehidupan dunia yang penuh dengan kenikmatan dan kebahagiaan. Pernikahan tersebut berfungsi sebagai sarana bagi optimalisasi interaksi antara elemen yang ada di dalamnya, khususnya suami istri, untuk menggapai surga akhirat kelak.

Berkeluarga yang diikat oleh tali pernikahan adalah karunia Allah yang patut disyukuri. Ada dua keuntungan yang didapat jika senantiasa bersyukur atas kenikmatan yang Allah berikan, pertama adalah kenikmatan yang akan selalu Allah tambahkan sebagaimana Firman-Nya “la-in syakartum la-aziidannakum”—Jika bersyukur maka Aku akan menambahkan (nikmat) kepadamu—(QS Ibrahim 7) dan kedua, Allah SWT akan menjauhkan dari adzab atau murka-Nya “maa yaf’alullahu biadzaabikum in syakartum wa aamantum”—Allah tidak akan mengadzabmu jika kamu bersyukur dan beriman—(QS An Nisa’147).

Dengan nikmat ditambah dan adzab yang dijauhkan maka yang ada adalah kesenangan dan kebahagiaan. Oleh karena itu rumah tangga yang baik adalah mereka yang selalu memandang baik segala karunia dan ketetapan Allah SWT meskipun mungkin karunia itu kecil dalam pandangan manusia. Betapa banyak karunia Allah sebagai akibat dari hidup berumah tangga baik ketenangan jiwa, rezeki yang bertambah, anak-anak yang menjadi hiasan kehidupan, amal dari memberi nafkah serta silaturahmi yang semakin luas.
  
Ketiga, menjadi pemimpin. Hampir di setiap jalan sudut kini kita lihat banyak orang yang berkompetisi ingin jadi pemimpin. Kepemimpinan membawa nikmat baik pengaruh, penghargaan, prestise, dan mungkin juga uang. Allah mengangkat derajat dengan peran kepemimpinan itu.

Meski sayang banyak para pemimpin yang tak mampu menjaga derajatnya tadi dengan menyia-nyiakan amanat, berlaku sewenang-wenang, menganggap rendah orang, memperkaya diri dengan segala cara, atau senang memperlakukan orang agar memelas. Dari Ma’qal bin jasar Almuzani katanya saya dengar Rosulullah SAW bersabda “Tiap-tiap hamba Allah yang diserahi jabatan sebagai pemimpin, sedang ia berlaku aniaya, curang, dan menyakiti, maka Allah akan haramkan baginya Surga” (HR Muslim).

Mensyukuri peran kepemimpinan adalah dengan menunaikan tugas sebaik-baiknya. Bermashlahat ke bawah, merindukan tempat yang lebih tinggi. Umar bin Abdul Azis berkata lirih kepada menterinya Roja bin Haiwah ”Aku merindukan pernikahan dengan puteri pamanku fathimah binti Abdul Malik, Allah memberi dan aku menikahinya. Aku merindukan jabatan Gubernur, Allah memberi, aku jadi Gubernur. Aku merindukan jabatan Khalifah, itu pun aku memperolehnya.  Saat ini wahai Roja!, jiwaku sedang merindukan surga. Moga Allah jadikan aku penghuninya ”. Umar pun menangis terisak-isak.

Sebelum Allah membalikkan keadaan dimana kendaraan menjadi berkurang, hilang atau hancur, keluarga berantakan karena perceraian, atau jabatan yang turun dan jatuh memilukan, maka baiknya jadilah hamba yang pandai bersyukur.

Bukankah Allah telah bertanya, “Fa aina syukru dzalika?”---Mana syukurmu ?

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

Senin, 23 September 2013

Adab Mendidik Anak Dalam Islam

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Adab Mendidik Anak Dalam Islam

Senin, 23 September 2013, 07:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana memberlakukan jam malam bagi anak-anak. Hal itu menyusul adanya kecelakaan lalulintas yang melibatkan anak artis ternama Ahmad Dhani di jalan tol Jagorawi, beberapa waktu lalu. AQJ yang masih berumur 13 tahun mengendarai mobil pada pukul 24.00 WIB mengalami kecelakaan.

Cukup dipertanyakan memang, mengapa anak-anak yang masih berumur 13 tahun bisa keluar rumah pada tengah malam dan mengendarai mobil yang notabene belum cukup umur.   

Patut kita akui, sebagian besar di antara kita sudah lupa cara mendidik anak dalam bingkai Islam. Modernisasi gaya hidup yang berbungkus materialisme membuat sebagian besar umat Islam lupa akan nilai-nilai akhlak dalam mendidik anak.

Hal itu ditambah pengaruh dari tayangan media yang buruk, dan lingkungan yang sudah tergores oleh gaya hidup kebarat-baratan. Hal ini sehingga membutuhkannya peran penting orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Anak adalah titipan Allah SWT, perhiasan hidup dan penerus harapan dan cita-cita orang tuanya.

Anak ibarat kertas putih, yang bisa ditulis dengan tulisan apa saja. Peran orangtua sangatlah vital. Karena melalui orang tualah, anak akan menjadi manusia yang baik atau tidak. Rasulullah SAW, sebagai teladan paripurna, telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik dan mempersiapkan anak.

Dan hal yang paling penting adalah keteladanan dalam melakukan hal-hal yang utama. Inilah yang harus dilakukan orangtua. Bukan hanya memerintah dan menyalahkan, tapi yang lebih penting adalah memberikan contoh kongkret. Secara simultan hal itu juga harus ditopang oleh lingkungan, pergaulan, dan masyarakat.

Ditambah kebiasaan buruk orang tua yang tidak begitu memperhatikan pendidikan agama anak-anaknya, sehingga anak mereka hidup tanpa tuntunan. Biasanya orangtua kerap mengiming-iming materi, dan sering memberikan ketidakadilan pada anak-anak mereka serta memanjakan anak secara berlebihan. Hal inilah yang menjadi permasalahan anak seringkali menjadi nakal, psikologi mental anak menjadi rendah serta membuat anak kehilangan percaya pada dirinya.

Cara ini harus segera kita ubah. Imam Ghazali menegaskan bahwa sesungguhnya anak adalah amanah yang harus dijaga dan dibekali ilmu agama untuk terwujudnya anak-anak yang shalih dan shalihah.

Bagaimana caranya? Setidaknya terdapat empat point yang bisa dilakukan. Pertama, memberikan pendidikan anak dalam bahasan pendidikan agama, terutama ‘aqidah yang akan menjadi pondasi ke-Islamannya.

Perhatikan bagaimana perkataan Luqman kepada anaknya, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ‘Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezhaliman yang besar.” (Qs. Luqman: 13)

Kedua, membiasakan agar mendidik anak-anak untuk berakhlak baik dan menasihatinya ketika melakukan kesalahan. Karena akhlak mulia menjadi pemberat timbagan pada hari Kiamat nanti, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi, artinya: “Tidak ada sesuatupun yang paling berat dalam timbangan seorang Mukmin pada hari Kiamat nanti daripada akhlak mulia.”(Hadis diriwayatkan At-Tirmidzi.

Ketiga, hendaknya mengajarkan adab dan etika kepada anak. Orang-orang shalih terdahulu telah menaruh perhatian yang sangat besar terhadap adab Islami. Simak saja perkataan seorang Salaf kepada anaknya ini. “Wahai anakku, engkau mempelajari satu bab tentang adab lebih aku sukai daripada engkau mempelajari tujuh puluh bab dari ilmu.”

Keempat, hendaknya orangtua menyertakan anak-anak dalam beribadah seperti shalat, bukan hanya sekedar memerintahkannya saja. Karena pendidikan anak akan lebih berhasil manakala setiap inderanya diberdayakan.

Jadi, orang tua tidak hanya memberdayakan indera pendengaran anak saja untuk memerintahnya melakukan ini dan itu, tapi orang tua juga perlu memberdayakan indera penglihatannya untuk mencontoh sikap dan perilaku baik dari orang tua.

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

MEMBONGKAR RAHASIA LELAKI

Visit waysofmuslim.blogspot.com

RUMAH, MEMBONGKAR RAHASIA LELAKI

 

Oleh

Syaikh Abdul Malik Ramadhani Hafizhahullah

 

 

 

'Aisyah Radhiyallahu 'anha meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

 

"Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku" [HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu 'Abbas. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no: 285].

 

Hadits di atas, hadits yang sangat mulia. Sebuah hadits yang menunjukkan agar manusia bersikap mulia dan berlaku jujur. Begitu pula bagi seorang suami khususnya, karena ia sebagai pemimpin dan bertanggung jawab kepada keluarga. Maka menjadi keharusan, agar kita mencerna tingkat urgensinya.

 

ISTRI HARUS DIKASIHI, BUKAN DIPECUNDANGI

Allah menciptakan wanita sebagai makhluk yang lemah. Di sisi lain, seorang lelaki ditakdirkan untuk memimpin wanita dengan kelebihan yang dikaruniakan Allah baginya. Sifatnya yang dominan, ingin mengatur, berkuasa akan tampak saat berinteraksi dengan anggota keluarga, khususnya sang istri; wanita asing yang masuk dalam kehidupan barunya. Tindak-tanduk si istri akan menguji kesabarannya.

 

Lelaki yang buruk perangainya, akan terdorong berbuat aniaya kepada kaum yang lemah (istrinya). Kekerasan rumah tangga yang timbul dari suami terhadap istrinya, menunjukkan bahwa sang suami termasuk prototype orang yang lemah juga. Berbeda jika seorang suami termasuk sosok yang berkepribadian kuat, tegar lagi kokoh, maka hatinya tidak akan keras. Dia tidak tega berbuat aniaya terhadap kaum yang lemah. Barangsiapa mampu menguasai diri saat berhadapan dengan mereka, yaitu para wanita, sungguh kebaikan telah muncul pada dirinya.

 

Al Mubarakfuri saat menerangkan hadits tersebut dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (4/274) mengatakan: "Mereka (para wanita) adalah orang yang harus dirahmati (dikasihi) lantaran kelemahan fisik mereka".

 

Asy Syaukani menjelaskan makna hadits tersebut dengan menyatakan : "Dalam hadits ini tersimpan catatan penting. Bahwa orang yang paling tinggi derajatnya dalam kebaikan dan paling berhak meraih sifat tersebut ialah, orang-orang yang paling baik perilakunya kepada keluarganya. Sebab, keluarga, mereka itu merupakan orang-orang yang paling berhak dengan wajah manis dan cara bergaul yang baik, curahan kebaikan, diusahakan mendapatkan manfaat, dilindungi dari bahaya. Jika ada lelaki yang demikian, niscaya ia berpredikat sebagai manusia yang terbaik. Jika ia bersikap sebaliknya, maka ia berada dalam keburukan. Banyak orang yang terjerumus dalam keteledoran ini. Anda bisa menyaksikan seorang lelaki, bila ia menjumpai keluarganya, maka menjadi sosok yang akhlaknya buruk, sangat pelit dan sedikit sekali berbuat baik kepada mereka. Tetapi, apabila bersama orang lain, maka engkau akan dihormati, akhlaknya melunak, jiwanya menjadi dermawan, ringan tangan. Tidak diragukan, laki-laki semacam ini adalah manusia yang terhalang dari taufik Allah, menyimpang dari jalan yang lurus. Semoga Allah memberikan keselamatan bagi kita dari hal itu".[2]

 

Sengaja keterangan ulama ini dikutip secara lengkap, sebab merupakan pesan sangat berharga dari beliau bagi para suami dan ayah, yang banyak lalai dari budi pekerti luhur dalam bergaul dengan keluarga.

 

Anda bisa saksikan, berapa banyak lelaki sangat akrab bersama rekan sejawatnya. Namun tatkala kembali ke rumah, ia berubah menjadi manusia yang bakhil, lagi menakutkan. Padahal, semestinya, pihak yang paling pantas menerima kebaikan maupun kelembutannya adalah keluarganya. Pepatah mengatakan, al aqrabin aula bil ma'ruf. Artinya, kaum kerabat paling utama menerima kebaikan.

 

Jadi, keluarga harus disikapi dengan penuh kasih sayang, kontrol yang baik, sabar terhadap kesalahan dan kekeliruan mereka, serta berusaha mengoreksi kesalahan dengan cara elegan, penuh hikmah, sebagaimana yang ia tunjukkan kepada orang lain di luar rumah.

 

KENALILAH LELAKI MELALUI INTERAKSINYA DENGAN KELUARGANYA

Sebuah kaidah mengatakan, seseorang akan mudah dikenali di rumah daripada di luar rumah. Penjelasannya, ia tidak sulit bersikap pura-pura di luar rumah, memerankan karakter yang berbeda dari karakter aslinya. Orang yang terbiasa kasar, bisa menampilkan karakter yang simpatik, sabar terhadap kesalahan orang lain di luar rumah. Karena kebersamaannya dengan orang lain di luar rumah sejenak. Bisa cuma setengah jam atau hanya satu jam.

 

Bersama mereka, orang dapat bersandiwara seperti yang dilakukan para hipokrit dan pegawai-pegawai. Memperlihatkan budi pekerti yang baik, jauh dari tindakan yang tak bermoral. Berbeda saat di rumah, ia akan susah memerankan dramanya sepanjang waktu. Sebab waktunya lama. Kesabarannya untuk bermuka dua akan terkikis seiring dengan perjalanan detik demi detik, sehingga akan kembali kepada kepribadian aslinya. Disebutkan oleh pepatah, kepura-puraan akan terkalahkan oleh sikap bawaan.

 

Terkadang, sikap yang berpura-pura bermuka baik dalam waktu yang sementara bisa dilewatinya dengan sukses, seperti perilaku sejumlah lelaki yang kurang bermoral saat akan meminang seorang gadis. Pihak lelaki memperlihatkan pribadi yang baik untuk menjaga imej, sehingga keburukan perangainya ditutupinya serapat mungkin. Pernikahanlah yang akan membongkarnya. Sehingga tak mustahil dapat memicu timbulnya perceraian antara pasangan suami istri, karena adanya unsur tipuan dan kamuflase saat proses nazhar (perkenalan) sebelum pernikahan.

 

Jadi, di rumah, kepribadian seorang suami akan mudah diketahui. Apakah ia seorang pribadi yang lembut atau berperangai kasar? Apakah ia dermawan atau pelit? Apakah ia tenang atau orang yang mudah kalut? Pergaulan di rumah akan memberitahukan secara tepat keaslian karakter lelaki. Maka, kenalilah diri Anda saat berada di dalam rumah. Bagaimanakah kesabaran Anda saat berhadapan dengan anak-anak? Bagaimana sikap Anda menghadapi kelemahan istri? Bagaimana ketegaran Anda dalam memikul tanggung jawab keluarga? Orang yang tidak cakap memimpin rumah tangga, niscaya tidak mampu untuk mengarahkan umat manusia. Inilah rahasia dari sabda Nabi n di permulaan tulisan ini.

 

TETANGGA JUGA MENJADI BAROMETER

Semakna dengan hadits di atas, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

 

خَيْرُ ْالأَصْحَابِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ

 

"Sebaik-baik kawan adalah orang yang paling baik kepada kawannya. Dan sebaik-baik tetangga adalah orang yang paling baik kepada tetangganya"[3].

 

Keberadaan tetangga atau para koleganya tidak berbeda dengan anggota keluarga dalam mempengaruhi kepribadian seseorang. Saking seringnya berinteraksi, mereka bisa mengetahui dan meneropong rahasianya yang tidak diketahui oleh orang yang masih asing terhadap dirinya. Kebaikannya dibuktikan dengan besarnya kesabaran dirinya saat menghabiskan waktu bersama tetangga atau para koleganya. Oleh karena itu, para tetangga dan kawan tidak akan melontarkan pujian dan sanjungan, kecuali setelah mereka melihat cara pergaulan yang baik dan moral yang luhur pada dirinya. Maka, kembali kepada sebuah pedoman, seseorang tidak bisa dikenali dengan baik kecuali melalui pergaulan. Rahasia ini hanya berada di tangan keluarga, tetangga dan sahabat dekat.

 

Ada orang yang sangat pemalu, lembek, cengeng terhadap sebuah gangguan, sehingga ia mengisolasi diri dari masyarakatnya. Orang-orang pun menilainya sebagai pribadi yang pendiam, mulia, mulutnya terjaga dari ghibah. Tetapi, ternyata penilaian ini bertolak belakang. Karena, realitanya, kepada keluarganya ia bersikap kasar, suka menyakiti anggota keluarga lainnya. Dia tidak mampu menampilkan potret dirinya di masyarakat, lantaran rendah dirinya saat bertemu dengan orang-orang asing. Dan, ini yang penting, kekerasan pribadi pada diri seseorang, sebenarnya muncul karena kesalahannya sendiri. Dia senang mengurung diri dari pergaulan luar. Orang-orang seperti ini, tidak mungkin dikenali dengan baik, kecuali melalui pengakuan anggota keluarganya.

 

Maka, hadits di atas merupakan sebuah hadits yang sangat penting. Kendati ringkas lafazhnya, tetapi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan pedoman yang jelas untuk mengenal seseorang.

Wallahu a'lam.

 

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

________

Footnote

[1]. Diringkas dari kitab Al Mau'izhatul Hasanah fi Akhlaqil Hasanah, hlm 74-82, karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah Cet.II Th. 1426 H.

[2]. Nailul Authar (6/360).

[3]. HR At Tirmidzi, no. 1944 dishahihkan oleh Syaikh al Albani.

Disclaimer:
The contents of this email, together with its attachments, may contain confidential information belong to Virginia Indonesia Co., LLC ("VICO") and Virginia Indonesia Co., CBM Limited  ("VICO CBM"). If you are not the intended recipient, please notify the sender immediately and delete this e-mail from your system, and you should not disseminate, distribute, copy or otherwise use this email or any part thereof.

Mabrur Pascahaji

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Mabrur Pascahaji

Sabtu, 21 September 2013, 10:12 WIB

Jamaah Haji di Masjidil Haram

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbib Abdul Wahab 
Musim haji sudah tiba. Syawal, Dzul Qaidah, dan Dzul Hijjah adalah bulan-bulan haji. Umat Islam yang kini tengah menunaikan rukun Islam kelima ini tentu sudah bersiap diri, baik fisik, finansial, maupun mental spiritual.

Para tamu Allah  (dhuyuf ar-Rahman) itu tentu juga berniat dan berharap memperoleh haji mabrur, yang balasannya tidak lain adalah surga (HR Muslim).
   
Jamaah haji Indonesia termasuk yang terbesar di dunia, dan boleh jadi yang paling banyak membelajakan hartanya di Tanah Suci.

Para alumni Tanah Suci itu sering digugat: "Mengapa jumlah jamaah haji yang terus meningkat setiap tahun, bahkan ngantri bertahun-tahun, tidak berbanding lurus dengan penurunan angka korupsi atau perbaikan integritas dan akhlak  umat Islam?" "Apa bukti kemabruran haji mereka?

Oleh karena itu, aktualisasi kemabruran pascahaji merupakan sebuah keharusan, agar ritualitas ini tidak berhenti pada tataran pemenuhan atau pengguguran kewajiban, melainkan harus membuahkan perilaku moral yang mulia dan terhormat.

Berhaji bukan sekadar untuk mengejar dan memperoleh gelar haji, tetapi yang lebih penting lagi adalah menjadi orang benar-benar mengamalkan nilai-nilai moral-spiritual pascahaji.
    
Haji itu ibadah multidimensional. Manasik haji bukan sekadar ritualitas fisik tanpa makna. Prosesi manasik haji adalah sebuah drama kehidupan yang kaya makna, terutama makna sosial kultural.

Haji dimulai dengan niat ihram. Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci lahir batin, tidak egois, tapi emansipatoris dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) hanya kepada-Nya dan hanya berharap memperoleh ridha-Nya.
   
Thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Keteguhan dan konsistensi dalam bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus maju.

Orang yang berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan pentingnya nilai progresivitas sosial yang bersendikan nilai-nilai tauhid.
   
Sa'i antara Shafa dan Marwa melambangkan etos dan disiplin kerja yang tinggi. Siti Hajar, ibunda Nabi Ismail AS, memberikan keteladanan sebagai seorang ibu yang tidak pernah menyerah untuk berusaha demi masa depan anaknya yang saat itu menghadapi kesulitan.

Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran). Etos dan disiplin sa'i harus maksimal agar mencapai Marwa (kepuasan hati, hasil maksimal atau prestasi tinggi).
   
Wuquf di Arafah adalah kesadaran terhadap pentingnya berhenti sejenak sambil makrifat diri untuk dapat merasakan kehadiran Allah SWT.

Sebagai lambang miniatur makhsyar di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan yang lebih penting lagi "pengadilan terhadap diri sendiri". Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain, atau tidak pernah berbuat adil,

Wuquf di Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil keputusan yang arif: apakah selama ini yang berwukuf sudah benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba-hamba selain-Nya? Apakah yang berwukuf itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafwu dan setan?
   
Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri), sekali lagi bertaubat dan bermunajat kepada Allah sambil menyiapkan amunisi jihad di jamarat Mina.

Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya yang tulus kepada Allah, Nabi Ibrahim rela mengorbankan anak kesayangannya, Ismail. Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa cinta yang tulus kepada Allah.

Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim akhirnya memperoleh cita-citanya: anaknya tidak jadi korban, karena manusia memang tidak pantas dikorbankan. Ismail adalah generasi masa depan, penerus perjuangan ayahnya.
    
Haji adalah ibadah yang paling multikultural; diikuti oleh aneka suku bangsa, bahasa, negara, adat-istiadat, watak, karakter, latar belakang sosial ekonomi dan budaya. 

Melalui syariat haji ini, Allah sungguh menitipkan pesan-pesan moral agar manusia saling bersikap emansipasi, toleransi, saling menghargai, cinta damai, disiplin dan etos kerja tinggi, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia sebagaimana dipesankan dalam khutbah wada' Nabi Muhammad SAW.

Dengan memahami nilai-nilai moral haji tersebut, para jamaah haji diharapkan dapat mempertahankan kemabruran pascahaji! Semoga!

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Minggu, 22 September 2013

Jangan Meremehkan Amal

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Jangan Meremehkan Amal

Rabu, 18 September 2013, 16:16 WIB

Orang berdoa

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fariq Gasim Anuz
Allah berfirman, “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.” (QS al-Zalzalah: 7).

Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kau menganggap remeh akan amal kebaikan sekecil apa pun meskipun kau hanya menampakkan wajah yang ceria kepada saudaramu.” (HR Muslim).

Imam Masjid Quba di Madinah, Dr Shalih Awad al-Maghamisi, menuturkan, seorang warga negara Mesir yang saya kenal menunaikan ibadah Haji. Ia naik bus umum di masyair dengan berdiri karena penumpang penuh.

Di dekatnya ada suami istri duduk di kursi. Ia melihat seorang nenek berdiri juga. Tubuhnya yang ringkih membuatnya kerepotan menjaga keseimbangan dirinya agar tidak terjatuh.

Saudara kita ini meminta kepada orang laki yang duduk agar bangun dan memberi kesempatan kepada nenek yang berdiri untuk duduk di samping istrinya. Orang laki-laki di depannya tidak mau bangun.

Saudara kita ini mengulang lagi permohonannya agar ia bangun. Ia bersikeras tidak mau bangun. Sampai ketiga kalinya barulah ia bangun dan berdiri dengan terpaksa.

Si nenek itu akhirnya duduk. Setelah sempurna duduk di kursi maka nenek itu mendoakan saudara kita itu, “Semoga Allah menjadikan Anda naik haji tiap tahun.”

Subhanallah, Allah kabulkan doanya. Sampai sekarang selama 32 tahun, saudara kita ini berangkat menunaikan ibadah haji tiap tahun berturut-turut.

Meskipun ia tadinya tidak ada rencana untuk naik haji, tapi Allah menggiringnya ketika musim haji tiba ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.

Berbuat baiklah kepada orang-orang yang lemah. Kita tidak tahu, bisa jadi Allah bukakan untuk kita pintu-pintu rahmat, karunia, dan kebaikan yang sebelumnya tertutup karena doa dari mereka.

Dalam ceramahnya, Syekh Abu Ishaq al-Huwaini, seorang ulama dari Mesir, mengatakan, sekarang ini banyak murid yang tidak tahu berterima kasih kepada gurunya. Bahkan, meremehkan, menjelek-jelekkan, dan mencela gurunya.

Padahal, waktu ia belum mengerti apa-apa, ia belajar dari guru itu. Meskipun Anda kemudian hari jauh lebih berilmu dari guru Anda maka janganlah lupakan jasa gurumu. Jagalah kehormatannya!

Anda tidak tahu amal mana yang diterima oleh Allah. Boleh jadi seorang yang ilmunya sedikit tapi dia memiliki amal kebaikan yang menyebabkannya mendapatkan derajat yang lebih tinggi di sisi Allah dari orang-orang yang lebih berilmu darinya.

Timbangan seberapa besar dan berat suatu amal kebaikan penilaiannya adalah hak Allah untuk menghisabnya. Tidakkah Anda baca bagaimana seorang perempuan pelacur diampuni dosanya disebabkan ia memberi minum kepada anjing yang sedang kehausan?

Bisa jadi Anda melakukan amalan yang ringan dan sepele tapi ia lebih barakah dari amalan-amalan Anda lainnya. Janganlah menganggap remeh akan amal kebaikan sekecil apa pun.

Boleh jadi Anda sedang tertidur sedangkan pintu langit diketuk puluhan doa untuk Anda. Doa dari seorang fakir miskin yang telah Anda bantu meskipun sedikit.

Doa dari orang yang telah Anda hibur dari kesedihannya. Doa dari orang yang lewat di jalan yang telah Anda hadiahkan kepadanya berupa senyuman yang tulus.

Doa dari seorang yang Anda antar dengan mobil atau motor. Doa dari seorang kuli bangunan yang Anda buatkan teh atau berikan air putih. Doa dari seorang yang telah Anda tunjukkan kepadanya alamat yang dicarinya.

Doa dari seorang yang menitipkan oleh-oleh untuk anaknya di luar kota dan seterusnya. Janganlah menganggap remeh akan amal kebaikan sekecil apa pun! Wallahua'lam.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Karyati, Kisah Seorang Pemulung Naik Haji

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Karyati, Kisah Seorang Pemulung Naik Haji

dakwatuna.com - Niat dan usaha yang sungguh-sungguh akan mengantarkan seseorang pada sesuatu yang dicita-citakannya. Setidaknya inilah yang diyakini dan diamalkan oleh Karyati, seorang pemulung asal Desa Pondok Wuluh Kecamatan Leces Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.

Meski secara logika pekerjaan yang dijalaninya merupakan pekerjaan rendahan, tetapi nenek yang berusia sekitar 69 tahun tersebut ternyata mampu mencapai cita-citanya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima naik haji ke tanah suci.

Namun demi bisa mencapai keinginannya tersebut, Karyati telah bekerja sangat keras. Bahkan selama 20 tahun lamanya, wanita paruh baya tersebut menyisihkan sebagian jerih payahnya sebagai pengais barang bekas plastik dan kertas.

Janda renta yang mempunyai 4 (empat) orang anak ini berkeyakinan bahwa suatu saat nanti dirinya bakal bisa naik haji ke tanah suci layaknya orang-orang lain yang berduit. Atas keyakinan tersebut, dirinya selalu menyisihkan hasil dari memulung untuk ditabung dan sebagian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Memang untuk mewujudkan impian naik haji ini penuh perjuangan. Karena saya harus menabung selama 20 tahun lamanya. Tetapi saya yakin Allah pasti mengabulkan doa saya untuk bisa melihat Ka’bah secara langsung,” ujar Karyati.

Menurut Karyati, cita-cita naik haji itu sudah lama terpendam semenjak 2002 lalu. Saat itu dirinya mengaku masih punya toko kelontong di desanya. Masa-masa sulit dilewatinya saat usaha kelontongnya bangkrut di pada tahun 2005. Namun untuk menyambung hidup, Karyati kemudian menjadi seorang pemulung. Meski pekerjaannya terbilang rendah, tetapi itu tidak menyurutkan niatnya untuk bisa meraih cita-citanya untuk menunaikan ibadah haji.

Sekitar tahun 2004, Karyati mulai mendaftarkan diri sebagai haji Kabupaten Probolinggo. Pada waktu itu, tabungannya dari hasil menjadi pemulung sudah mencapai sekitar Rp. 20 juta. Selain dari hasil memulung, uang tersebut didapat dari beberapa sukarelawan.

“Pernah suatu ketika, tepatnya pada tahun 2010 saya pernah ditipu oleh seseorang yang mencoba menawarkan jasa. Namun tanpa disadari saya tertipu sebesar Rp. 10 juta dan uang tersebut tidak dikembalikan meskipun beberapa waktu kemudian akhirnya ditangkap oleh polisi,” jelasnya.

Dan selama mengejar impiannya, Karyati tidak mau kumpul atau tidur di rumah anak-anaknya. Bukannya tidak sayang kepada anak dan cucunya, namun nenek bercucu 12 orang ini tidak mau mengganggu atau menjadi beban hidup anak-anaknya. Dirinya lebih memilih tidur di toko usang miliknya. Terkadang pula tidur di masjid desanya. “Kalau pas bersih-bersih masjid ada orang kasih rejeki, saya tabung,” katanya.

Namun dengan tekad yang kuat, semua kejadian tersebut tidak mematahkan semangat Karyati untuk mewujudkan cita-citanya untuk dapat berangkat haji. “Saya hanya bisa pasrah namun saya tidak mau putus asa untuk tetap bisa berangkat haji ke tanah suci,” terangnya.

Bermodalkan sebuah sepeda buntut, Karyati keliling dari kampung ke kampung mengumpulkan barang bekas. Sebagian hasilnya digunakan untuk makan dan sebagian lain ditabung untuk bisa naik haji. “Dalam sehari, upah memungut barang bekas sebesar Rp. 10 ribu. Yang Rp. 5 ribu ditabung dan yang Rp. 5 ribu untuk makan,” akunya.

Usaha yang dilakukan Karyati tidak sia-sia. Semua hasil jerih payah dan keikhlasan hatinya membawa Karyati berangkat haji di tahun 2013 ini. Karyati direncanakan akan berangkat ke tanah suci pada tanggal 29 September 2013 melalui kloter 43 Embarkasi Juanda, Surabaya. (syamsul akbar-anam/dakwatuna/no.or.id)



Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/09/19/39543/karyati-kisah-seorang-pemulung-naik-haji/#ixzz2fOQ2FpiI
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

At-Tawaazun

Visit waysofmuslim.blogspot.com

At-Tawaazun

Kamis, 19 September 2013, 12:19 WIB

Hukum dan Keadilan (ilustrasi)

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Hasan Basri Tanjung MA
(Allah) yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?'' (QS. 67:3)

Pakar Tafsir Al-Qur’an terkemuka, Prof Dr M Quraish Shihab dalam buku Membumikan Al-Qur’an (Jilid 2 hal. 34), menyebutkan beberapa karakteristik ajaran Islam antara lain al-wasathiyah (moderasi), yakni pertengahan dalam tuntunannya baik tentang Tuhan maupun dunia, alam dan manusia.

Islam memandang hidup dunia dan akhirat saling melengkapi. Tidak boleh tenggelam dalam materialisme dan juga terlena dalam spritualisme.

Meraih materi duniawi tetapi dengan nilai-nilai samawi. Oleh karena itulah, umat Islam dijadikan umat pertengahan (ummatan wasathan) (QS.2:143).

Semakna dengan al-wasathiyah adalah at-tawaazun (equilibrium) yakni keseimbangan dan al-’adlu (keadilan).  Pertengahan menunjukkan kesemibangan sekaligus keadilan.

Nabi Saw bersabda : ”al-wasthu al-’adlu, ja’alnakum ummatan wasathan”. Artinya ; ”Tengah-tengah itu adalah adil. Kami jadikan kamu satu umat yang tengah-tengah (terbaik)”. (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

At-Tawaazun atau al-Mizan adalah prinsip keseimbangan ajaran Islam.  Alam semesta dan manusia  diciptakan dengan hukum keseimbangan (QS.67:3-4). (QS. 55:7-9). 

Allah SWT  telah menurunkan petunjuk baik dalam ayat Qouliyah (al-Qur’an) maupun ayat Kauniyah (alam semesta) yang memuat hukum keseimbangan (al-mizan).

Oleh karena itu, jika manusia ingin hidup tenang, mesti tunduk pada hukum keseimbangan.  Mengapa hidup kita seringkali susah, dikejar-kejar hutang, sakit-sakitan dan konflik keluarga ? Boleh jadi, karena belum mampu menjaga keseimbangan.

Paling tidak, ada tiga hal yang harus diseimbangkan yaitu : Pertama ; Keinginan (Want). Dalam bahasa agama disebut dengan al-hawa an-nafs (hawa nafsu) yakni keinginin diri sendiri.

Imam al-Gazali pernah berpesan yang paling besar di dunia ini adalah hawa nafsu. Keinginan manusia itu tidak terbatas seperti minum air laut, akan bertambah haus. Hawa nafsu selalu menggiring kepada keburukan kecuali yang dirahmati Allah (QS.53:12,75:2,89:27).

Jika manusia mengikuti nafsu, ia mempertuhankan diri sendiri (QS.45:23) dan melakukan apa saja bahkan lebih bejat dari binatang (QS. 25:44, 7:179). 

Keinginan pula yang membuat kita susah. Dapat yang satu ingin yang lain. Begitu pun konsumsi,  apa saja dimakan dan berlebihan (tabzir),  padahal menzalimi diri sendiri (6:119,17:26-27,38:26). 

Tidak satu pun pekerjaan yang dilandasi hawa nafsu yang menghasilkan kebaikan (kualitas), tapi akan berakhir dengan kegagalan.

Kedua ; Kebutuhan (Need). Dalam istilah agama disebut al-haajah. Islam tak hendak membunuh hawa nafsu, tapi mengendalikannya. Tak ada kehidupan jika tidak ada keinginan terhadap seks, harta, wanita, jabatan dan lain-lain (QS. 3:14).

Salah satu yang bisa menyeimbangkan keinginan adalah kebutuhan. Apakah kita butuh terhadap yang kita inginkan ? Kebutuhan lebih kecil dari keinginan. Lihatlah mobil, motor, baju, sepatu, asesoris rumah, apakah dibutuhkan atau diinginkan ? 

Keinginan meraih sesuatu telah melalaikan kita pada hak badan, keluarga, tetangga dan masyarakat. Tubuh berhak akan istirahat dan gizi, istri dan anak (HR. Bukhari).

Dalam ibadah saja pun, Nabi SAW melarang berlebihan. Beliau puasa terus berbuka, tahajjud lalu tidur dan menikah (HR. Muttafaq ’alaih). Malam untuk istirahat dan siang bekerja (25:47,78:10-11). Jika keinginan tidak seimbang dengan kebutuhan, akan terjadi disharmoni individual, sosial dan spritual.  

Ketiga ; Kemampuan (Ability). Dalam bahasa agama disebut dengan istitha’ah.  Jika keinginan (gas) bisa diseimbangkan dengan kebutuhan (rem), maka laju dan irama akan terkontrol.

Tapi, kebutuhan pun  subjektif. Ibarat  gas ditancap tapi rem diinjak, bisa blong ata aus. Oleh karena itu, keinginan belum bisa diimbangi dengan kebutuhan saja, tapi juga harus dengan kemampuan (mesin). 

Mesin kenderaan akan rusak jika over capacity. Agama Islam tidak memberatkan umatnya (’adamul haraji) dan tidak menghendaki kesukaran dalam menjalankannya (QS.22:78). Allah SWT. pun tak memaksa kita melakukan ibadah melampaui kemampuan (QS.2:286,23:62).

Begitu pun memberi nafkah kepada keluarga  (QS.2:233, 65:7), memberi mahar (QS.2;236),  shalat dalam perjalanan diberi rukhsah (keringanan), jika tidak bisa berdiri, duduk atau terbaring, (QS.3:191). Puasa jika tidak mampu boleh berbuka atau bayar fidyah (QS.2:184). Menunaikan haji jika mampu (QS.3:97.

Ketika Kita ingin dan butuh sesuatu serta mampu, apakah boleh melakukannya ? Agama memberikan pedoman hidup agar merujuk kepada 3 (tiga) nilai dasar keislaman, yakni kebenaran (ilmu), kebaikan (etika) dan keindahan (estetika).

Bertanyalah, apakah hal itu benar, baik dan indah menurut pandangan agama dan kearifan ? At-tawaazun adalah keseimbangan hidup dengan pribadi, sosial, lingkungan alam semesta dan Allah SWT. Ia ada di pertengahan.

Pesan Nabi SAW. : ”khairul umuri awsathuha” (sebaik-baik urusan adalah pertengahan). Sikap dermawan itu di tengah kikir dan boros. Keberanian di tengah nekat dan pengecut.  Allahu a’lam bish-shawab.

Ketua Yayasan Dinamika Umat dan Dosen UNIDA Bogor

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Penilaian yang Keliru

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Penilaian yang Keliru

Kamis, 19 September 2013, 16:50 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh HM Rizal Fadillah

Orang sering menilai seseorang dari kacamata lahir semata atau berpraduga berdasarkan persepsi dirinya. Lebih jauh persepsi itu diungkapkan dengan umpatan atau ghibah. Membicarakan kejelekan orang lain itu. 

Islam melarang perbuatan demikian sebagaimana dalam Alquran Surah Al Hujuraat 12: “Wahai orang-orang yang beriman jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang”   

Prasangka buruk kepada saudara seiman adalah awal dari kemerosotan akhlak. Karena dari prasangka biasanya berlanjut kepada inventarisasi kesalahan. Lalu menggunjingkannya.

Rasulullah SAW melarang perbuatan tercela itu antara lain sebagaimana dalam peristiwa yang dikeluarkan oleh Abdur Razak dan Abu Daud dari Abu Hurairah r.a berikut::

Al Aslami datang menemui Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa dirinya telah berzina dengan seorang wanita. Ia menyatakan demikian hingga empat kali. Setiap kali Al Aslami mengaku dan membuat persaksian, Rasulullah SAW memalingkan wajah darinya. Hingga akhirnya Beliau perintahkan untuk merajamnya.  

Ketika itu Rasulullah SAW mendengar salah seorang shahabat berkata kepada shahabat lainnya: “Lihatlah lelaki itu, ia telah membongkar aibnya walaupun Allah telah menutupnya, akhirnya ia dirajam seperti anjing”. Rasulullah SAW terdiam sejenak. 

Setelah berjalan beberapa langkah sampai ke satu tempat yang terdapat bangkai seekor himar dalam keadaaan kedua kakinya terangkat ke atas. Lalu beliau bertanya “Dimana si fulan dan si fulan?” 

Mereka menjawab, “Kami di sini Yaa Rasulullah”.  

Rasulullah bersabda: “Turunlah kalian dari keledai dan makanlah himar ini!”

Kedua lelaki itu berkata, “Yaa Nabi Allah ! Allah mengampunimu, siapa yang mau makan bangkai ini?" 

Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Engkau telah berkata mengenai saudaramu tadi, perbuatan itu lebih buruk dari memakan bangkai ini!  Demi Dia yang memegang nyawaku dalam genggaman-Nya, bahwa Ia (Al Aslami) sekarang berada dalam sungai-sungai Surga !”

Ada empat hal penting dari peristiwa di atas, yaitu: Pertama, pengakuan tulus atas dosa yang diungkapkan empat kali menjadi dasar pembuktian untuk menghukum. Kesadaran iman yang luar biasa, Aslami sangat khawatir akan siksaan di akhirat nanti. Penyesalan yang dibarengi dengan kesiapan untuk menanggung risiko. 

Kedua, berzina adalah dosa besar yang jika dilakukan oleh orang yang telah bersuami atau beristri berakibat hukuman mati. Berzina adalah jarimah  kejahatan berat.

Ketiga, Kesadaran berupa penyesalan dan pilihan penyelesaian hukum di dunia adalah pilihan cerdas untuk ampunan akhirat. Berzina, bertobat, kemudian masuk surga.

Keempat, dua sahabat keliru menilai orang yang sesungguhnya istimewa, berani bertanggung jawab, serta mendahulukan keridhaan dan ampunan  Allah SWT. Umpatan mereka “bagai seekor anjing” bukan hanya tak patut,  tapi akan berbalik kepada dirinya. Menjadi seperti seekor anjing yang suka memakan bangkai!

Dalam kehidupan sehari-hari penilaian keliru dan prasangka sudah menjadi gejala umum. Hal ini sering merontokkan silaturahim dan persaudaraan. Umat Islam yang ingin memperkuat diri haruslah lebih membangun semangat saling percaya dan berprasangka baik antara satu dengan yang lainnya. 

Subyektivitas penilaian  terkadang dapat membawa bencana. Rasulullah SAW pernah menegur dan menyalahkan shahabat yang membunuh lawan padahal ia telah mengucapkan dua kalimah syahadat. Dasar fikiran shahabat itu adalah kehawatiran bahwa syahadat orang itu hanyalah pura-pura  dan sekedar  upaya untuk menyelamatkan diri saja. Nabi menyatakan apakah ia telah membelah dadanya hingga tahu isi hati orang itu yang sebenarnya? 

Kita tidak tahu isi hati saudara kita, karenanya asas berpraduga tak bersalah (presumption of innocent) nampaknya mesti dilakukan. Rosulullah SAW memalingkan wajah empat kali karena berharap pengakuan Aslami itu tidak benar. Berharap itu hanya uangkapan bukan perbuatan. 

Semoga kita mampu mewujudkan sifat dari orang yang baik yaitu menjadi orang yang selalu berprasangka baik kepada saudara-saudaranya. Penilaian keliru sering mengubah kawan menjadi seteru. Ujungnya kita sendiri nanti yang akan dibuat malu.  

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

Kamis, 19 September 2013

Silaturrahim

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Silaturrahim

Rabu, 18 September 2013, 00:08 WIB

Silaturahim (ilustrasi).

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Usataz Aslih Ridwan, MA
Berakhirnya bulan Syawal bukan berarti berakhir pula silaturrahim. Hakikat silaturrahim bukan dengan orang yang berbuat baik dengan kita. Karena hal itu sangatlah mudah, justru yang terberat adalah menyambungnya apabila terputus. Idzaa quthi’at rohimuhu washalahaa (HR Bukhori no. 5991)

Seorang laki-laki menemui Rasulullah SAW, kemudian dia berkata, “Ya Rasulullah, aku mempunyai karib kerabat, aku menyambung silaturrahim dengan mereka, namun mereka memutuskannya. Aku berbuat baik kepada mereka, namun mereka berbuat jahat kepadaku, aku sabar terhadap mereka. Namun mereka jahil kepadaku.

Atas pertanyaan tersebut Rasulullah saw bersabda, “Jika keadaannya seperti yang engkau katakan maka seolah-olah menyuapi mereka dengan pasir yang panas, engkau senantiasa akan mendapat bantuan dari Allah dalam menghadapi mereka selama dalam keadaan demikian.” (HR. Muslim no. 2558)

Makna sabda Nabi tusiffuhumul malla atau menyuapi mereka dengan pasir panas, disebabkan dosa yang mereka dapatkan karena perbuatan mereka. Adapun makna zhahiirun adalah mendapat pertolongan dari Allah dalam menghadapi mereka dan menolak gangguan mereka.

Sedangkan makna maa dumta ‘alaa dzaalika (selama engkau dalam kondisi seperti itu) sangat jelas menunjukkan anjuran untuk menyambung silaturrahim kepada orang yang karakternya seperti itu dan tidak membalasnya dengan perbuatan yang sama.

Dalam konteks kekinian, menyambung silaturrahim seperti seorang laki-laki yang bertanya pada hadits tersebut, sangat mendesak untuk dilakukan karena realitas kehidupan umat Islam saat ini, ukhuwah Islamiyah belum membumi, baru pada tataran wacana.

Terjadinya perpecahan dan permusuhan di kalangan umat Islam itu sendiri menjadi bukti nyata. Padahal media untuk bersatunya umat Islam sudah sangat tersedia.

Seperti kalimat syahadat yang menghapus diskriminasi, shalat berjama’ah dengan rapatnya barisan ternyata belum serapih hubungan solidaritas yang terjalin di antara muslim ketika di luar shalat berjama’ah. Ibadah haji yang merupakan muktamar dunia ternyata belum mampu membangun persaudaraan muslim sedunia. 

Manakala ukhuwah Islamiyah terwujud maka akan tampaklah seperti satu tubuh. Jika bagian satu tubuh sakit maka semua bagian yang lain merasakan hal yang sama.

Dengan sangat indah Rasulullah SAW melukiskan ukhuwah dalam sabdanya, “Perumpamaan mukmin satu dengan yang lainnya dalam rasa cinta kasih sayang dan keberpihakannya seperti tubuh yang satu. Jika satu bagian tubuh merasa sakit maka semua bagian tubuh lainnya ikut merasakan sakit, tidak bisa tidur dan demam.” (HR. Muslim)

Lima larangan dalam Al Qur’an yang harus dijauhi umat Islam saat ini. Pertama, tidak berbantahan (adamuttanazu). QS. Al Anfal : 46.

Kedua, tidak memperolok-olok (adamussukriyah) QS. Al Hujurat : 11. Ketiga, tidak mencari-cari kesalahan (adamut-tajassus) QS. Al Hujurat : 12. Keempat, tidak menggunjing (adamul ghibah) QS. Al Hujurat : 12. Kelima, tidak memanggil panggilan buruk (tarkut tanabus) QS. Al Hujurat : 11

Saat ini, kekuatan umat Islam terpecah. Disorientasi antar golongan semakin terlihat jelas. Bukan tujuan yang menjadi hal paling utama justru sarana yang menjadi tujuan.

Tujuan perjuangan Islam adalah untuk membumikan Islam dan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya sembahan apapun wadah dalam perjuangannya.

Tetapi ini justru kebalikannya, sarana dan wadah menjadi tujuan sehingga antara yang satu kelompok dengan kelompok yang lain saling menjatuhkan, merasa paling superior, paling baik dan hebat di antara yang lain.

Di saat saudara terjatuh seharusnya dinasihati serta dibangkitkan semangatnya bukan disiarkan aibnya. Mari kita mulai dengan membangun persaudaraan melalui gerakan silaturrahim agar kita mendapatkan zhahirun, kalau tidak? Akan mendapat tusiffuhumul malla (disuapi pasir panas). Semoga.

*Ketua Umum GPMI (Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia)

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Doa Lelaki Buta

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Doa Lelaki Buta

Kamis, 19 September 2013, 13:52 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Yunahar Ilyas
Namanya Abdullah, putra Qais ibn Zaid, paman Khadijah, istri Nabi SAW. Ibunya bernama Atiqah binti Abdullah. Karena Abdullah, putra yang buta sejak lahir, ibunya dijuluki Ummu Maktum. Abdullah lebih dikenal dengan nasab ibunya dibanding bapaknya. Jadi, namanya Abdullah ibn Ummi Maktum.

Siapa pun yang membaca asababun nuzul surah Abasa pasti kenal dengan Abdullah ibn Ummi Maktum. Empat belas ayat diturunkan kepada Rasulullah SAW dan dibaca terus sampai hari Kiamat datang.

Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling.  Karena, telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali dia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya…

Nabi ditegur langsung oleh Allah SWT karena mengabaikan Abdullah ibn Ummi Maktum yang datang memotong pembicaraan Rasulullah SAW dengan Utbah ibn Rabiah, Syaibah ibn Rabiah, Amr ibn Hisyam, Umayyah ibn Khalaf, dan Walid ibn Mughirah.

Nabi sangat berharap para pemuka Quraisy itu masuk Islam. Tetapi, pembicaraannya terpotong oleh kedatangan Ibn Ummi Maktum, yang karena tidak dapat melihat tidak mengetahui situasi Nabi.

Setelah peristiwa itu, Nabi sangat menghormati Ibn Ummi Maktum. Tatkala sudah di Madinah, Nabi menunjuk Ibn Ummi Maktum menjadi muazin berdua dengan Bilal ibn Rabbah.

Pada Ramadhan, Bilal mengumandangkan azan pertama membangunkan kaum Muslimin untuk makan sahur dan Ibn Ummi Maktum pada azan kedua memberitahukan bahwa fajar sudah menyingsing, tanda puasa hari itu sudah dimulai.

Abdullah ibn Ummi Maktum sangat gembira dan bahagia menjalankan tugas sebagai muazin. Namun, yang membuat dia sedih adalah setelah datang seruan untuk jihad fisabilillah, dia tidak dapat berangkat karena buta. Apalagi setelah Perang Badar, turun ayat yang memuji orang-orang yang pergi berperang.

Suatu hari dia berkata kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, seandainya saya tidak buta tentu saya pergi berperang.” Sejak itu, dia selalu memohon kepada Allah agar menurunkan ayat mengenai orang-orang yang uzur seperti dirinya.

Allah mengabulkan doanya dengan menurunkan surah an-Nisa ayat 95, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.

Walaupun permohonannya sudah dikabulkan Allah dengan mengecualikan orang-orang yang uzur seperti dirinya, Abdullah ibn Ummi Maktum tetap tidak puas.

Dia tetap ingin pergi berperang. Keinginannya baru terkabul pada zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Di bawah panglima Saad ibn Abi Waqqash, dia ikut dalam Perang Qadisiyah menaklukkan Persia.

Tugasnya hanya memegang bendera Islam dan berdiri di tengah-tengah pasukan. Dia pun gugur dalam perang tersebut. Itulah Abdullah ibn Ummi Maktum. Sekalipun buta tetapi mempunyai kemauan yang sangat keras.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Petugas Kebersihan Masjid

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Petugas Kebersihan Masjid

Selasa, 17 September 2013, 14:12 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mahmud Yunus
Menjadi petugas kebersihan (cleaning service) lazimnya dipandang sebagai pekerjaan yang kurang menjanjikan. Sehubungan dengan itu, khususnya bagi angkatan kerja yang berijazah sekolah menengah, apalagi berijazah perguruan tinggi, tidak termasuk dalam daftar pilihan karier mereka sama sekali.

Terhadap murid-murid saya yang kala itu sebentar lagi akan ujian, saya pernah berbincang-bincang seputar harapan-harapan mereka setelah lulus SMA.

Mereka pada umumnya berharap dapat melajutkan studi dan diterima di perguruan tinggi favorit di dalam maupun luar negeri. Meski pun kelihatan kurang pede, beberapa di antara mereka secara terus-terang menyatakan ingin menjadi dokter, apoteker, atau profesi lainnya yang berkaitan dengan kesehatan.

Meski pun erat kaitannya dengan kesehatan, faktanya tak seorang pun menyatakan bercita-cita menjadi petugas kebersihan masjid.   

Ketika saya tanya apa alasannya, dengan sedikit malu-malu mereka mengatakan ingin mendapat penghasilan yang baik dan hidup sejahtera.

Meskipun erat kaitannya dengan menolong orang lain, terutama di daerah tertinggal, terpencil, dan terluar, faktanya tak seorang pun menyatakan bercita-cita mewakafkan jiwa dan raganya untuk menolong mereka.

Dalam pandangan Islam, petugas kebersihan masjid posisinya sangat strategis. Mereka bisa lebih mudah dibukakan pintu-pintu kebaikan. Bahkan, bukan sekadar penghasilan yang baik dan hidup sejahtera di dunia.

Mereka sejatinya para investor dunia akhirat. Para investor dunia berpeluang mendapatkan keuntungan dunia. Para investor dunia akhirat berpeluang mendapatkan keuntungan dunia akhirat.

Para investor dunia akhirat tersebut tentunya lebih menguntungkan (profitable). Katakanlah, walaupun keuntungan itu tidak didapatkan di dunia, mereka masih berpeluang mendapatkannya di akhirat.

Hemat saya, siapa pun yang memperhatikan petugas kebersihan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dapat merasakan kekaguman tersendiri. Aktivitas mereka sehari-hari dapat dijadikan sebagai bahan renungan sangat berharga.
Mengenakan seragam warna hijau daun, mereka siap melaksanakan tugasnya. Mereka datang ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dari berbagai negara, tak terkecuali dari Indonesia.

Saya tak tahu berapa jumlahnya dan saya tak berusaha mencari tahu soal itu. Tapi, sekitar puluhan hingga ratusan petugas kebersihan diturunkan ke lapangan ketika jeda waktu shalat berjamaah.

Mereka mengepel lantai masjid, mengepel lantai di sekitar keran air zamzam yang acapkali basah, membersihkan karpet (dari debu), sesekali membantu mengambilkan air zamzam untuk jamaah yang meminta bantuan, dan seterusnya.

Mereka terlihat bercakap-cakap antara sesama mereka menggunakan bahasa Arab dengan lancar. Mereka terlihat berjamaah shalat fardu saban waktu. Mereka mendapatkan gaji cukup besar dari muassasah al-haramain.

Mereka terlihat menerima riyal demi riyal dari jamaah yang ingin mendermakan sebagian harta yang dititipkan Allah SWT kepadanya. Di samping itu, mereka berpeluang melaksanakan tugas pokoknya sambil membaca shalawat, membaca tasbih, membaca tahlil, membaca Alquran, dan sebagainya.

Saya membayangkan mereka begitu leluasanya mengerjakan bermacam-macam amalan kebaikan di Masjidil Haram dan atau di Masjid Nabawi. Sebab, sekecil apa pun amalan kebaikan di dua masjid yang dimuliakan tersebut tentu bakal dilipatgandakan pahalanya.

Mahabesar Allah yang telah menganugerahkan kemudahan kepada mereka untuk bermukim di al-haramain. Saya kira, mereka tergolong segelintir orang yang sangat beruntung.

Jamaah haji dan atau umrah asal Indonesia ada beberapa orang yang sengaja bercakap-cakap dengan petugas kebersihan berseragam hijau daun tersebut.

Menanyakan daerah asal mereka, bagaimana caranya mereka bisa bekerja di al-haramain. Bahkan, ada juga yang menanyakan penghasilan mereka per bulan.

Mereka konon mendapatkan gaji yang cukup besar, sehingga bisa menabung. Dan, pada musim haji, khususnya mereka yang berasal dari Indonesia, biasanya bisa mengumpulkan riyal dalam jumlah besar.

Namun, sekali lagi yang jauh lebih berharga mereka telah diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengerjakan bermacam-macam kebaikan di Masjidil Haram dan atau Masjid Nabawi.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Rabu, 18 September 2013

Spirit Haji Menuju Kebahagiaan Sejati

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Spirit Haji Menuju Kebahagiaan Sejati

Rabu, 18 September 2013, 12:36 WIB

Jamaah calon haji siap naik pesawat menuju Tanah Suci

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr  HM Harry Mulya Zein 
Labaik Allahumma Labaik. Panggilan haji kembali tiba. Jamaah haji Indonesia sudah mulai diberangkatkan menuju tanah suci Makkah serta menjadi tetamu Allah SWT.  Momen haji adalah momen yang mampu memberikan inspirasi bagi kemajuan kemanusiaan.

Proses ini ditandai dengan jutaan manusia berbondong-bondong ke baitul Ka’bah, simbol pemersatu umat Islam. Dalam ritual haji, manusia diperlakukan secara sama dan adil, tanpa melihat ras, suku dan latarbelakang dunia lainnya. Harkat dan martabat mereka sebagai manusia adalah sama. Hak dan kewajiban mereka sebagai hamba juga sama. Tujuan dan arah perjuangan hidup mereka hakikatnya juga sama, yaitu berusaha meraih kebahagiaan yang sejati abadi.

Itulah sesungguhnya yang menjadi hikmah dan tujuan utama di syariatkannya ibadah haji. Dalam bahasa Alquran, hikmah dan tujuan ibadah haji - yang merupakan puncak tertinggi ajaran rukun Islam – diungkapakan dengan istilah liyasyhaduu manaafi`a lahum, yaitu untuk “menyaksikan” kemanfaatan-kemanfaatan duniawi dan ukhrawi (kebahagiaan sejati) yang mahadasyat yang akan terus mengalir dan menjadi “milik” mereka yang berhasil menunaikan haji secara mabrur (QS. Al-Hajj 22:28)

Secara etimologis, sebagaimana dikemukan Ibn Mandzur dalam kitabnya, Lisaan al-Arab, kata hajj antara lain berarti “menuju pada target tertentu” (al-qashd). Lebih spesifik lagi, al-Ishfahani dalam kitabnya, Mufradaat Alfaadz al-Qur`aan, menjelaskan pengertian hajj sebagai “menuju kepada target tertentu untuk dikunjungi” (al-qashd li al-ziyarah). Dari situlah muncul istilah haji dalam Islam yang berasal diambil dari kalimat hajj al-bait atau “berkunjung ke baitullah”, yaitu kunjungan khusus ke Masjidil Haram dengan tujuan menunaikan manasik haji (QS. Ali `Imran 3:97).

Ditilik dari segi filosofis makna kata (fiqh qiyaas al-lughah), kata hajj yang dibentuk oleh rangkaian tiga huruf dasar haa`jiim, jiim pada hakikatnya menunjukan simpul makna dasar yang menggambarkan “keberadaan sesuatu yang bisa dijadikan landasan, sandaran, atau fokus perhatian” (ma u`tumida`alaihi) atau “berproses menuju landasan, sandaran, atau fokus  perhatian” (al-i`timaad).

Misalnya, kata hujjah yang memiliki arti dasar argumentasi (al-daliil) atau bukti kebenaran (al-burhaan). Begitu juga kata mahajjah  yang berarti jalan terbuka yang arah-arahnya (al-thariiq al-jaaddah). Disebut demikian karena jalan tersebut bisa dijadikan sandaran untuk sampai pada alamat yang dituju. Atau kata hajj (al-syijaaj) yang memiliki arti memeriksa luka di kepala secara teliti, terfokus, dan penuh perhatian untuk keperluan pengobatan serta penyembuhan.

Jadi, substansi haji adalah mencari dan mengukuhkan sandaran atau landasan yang hakiki bagi kehidupan menuju kebahagiaan sejati yang merupakan fokus perhatian dan target pencarian yang dituju oleh seluruh umat manusia. Karena itu, banyak ulama menyebutkan, haji mabrur adalah yang disertai dengan tanda-tanda ke-mabrur-an setelah berhaji, diantaranya akhlak dan amal perbuatannya menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

Meminta Pemimpin

Visit waysofmuslim.blogspot.com

Meminta Pemimpin

Minggu, 15 September 2013, 22:55 WIB

Ustaz Yusuf Mansur

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
Jelang Pilpres sudah dekat. Malahan Pemilihan Calon Legislatif lebih duluan. Ini agenda yg teramat penting buat nasib dan warna bangsa dan negara masa yang akan datang.

Karena itu izinkan saya memberi pandangan seputar apa yang harus dilakukan oleh kita? Sebagai rakyat? Yang sebagian besarnya pasti tidak ikut dipilih, melainkan memilih?

Rasanya, harus jadi perhatian semua pihak. Bahwa persoala presiden, dan calon legislatif, bukan saja persoalan memilih. Tapi lebih kepada meminta dan mengikhtiarkan. Kalau hanya memilih, saya khawatir, kita akan salah memilih.

Satu sosok dan juga sosok-sosok lainnya, kita sama-sama tidak bisa tahu bagaimana sejatinya. Bagaimana aslinya, ga ada di antara kita yang paham sebener-benernya.

Praktis kita hanya tahu dari media. Soal wujud, karya nyata, sepak terjang, pun kadang tidak lepas juga dari soalan media. Bungkusnya baik, hal yang seharusnya sudah menjadi kewajibannya, mendadak bisa disebut sebagai keberhasilannya.

Mata kita hanya bisa memandang, melihat, membaca. Tidak bisa Maha Memandang, Maha Melihat, Maha Membaca. Telinga kita pun hanya bisa mendengar. Bukan Maha Mendengar.

Itu artinya, kesalahan memilih, sangat mungkin terjadi. Belum lagi praktek kecurangan, tipu daya, politik jegal menjegal, sampe politik uang, dari yang halus sampe yang kasar. Jadi, harus ada yang dilakukan oleh bangsa ini. Yakni, meminta dan mengikhtiarkan.

Mintalah sama Allah, pemimpin yang pas, yang baik, yang lurus, yang amanah, yang jago, yang arif, yang disegani dalam dan internasional, yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada kepentingan segolongan orang.

Minta juga sama Allah, pemimpin negeri yang tidak opportunis, tidak menyalahgunakan wewenangnya, tidak haus kekuasaan, apalagi serakah. Minta sama Allah dengan kriteria dan permintaan apa yang kita inginkan.

Habis shalat, shalat fardhu dan sunnah2, dan di saat-saat mustajab, baiknya disertakan urusan kepemimpinan nasional dan daerah-daerah, menjadi doa. Minta sama Allah, Allah yang menyediakan, Allah yang memilihkan.

Dan soal harus juga kita ikhtiarkan, ya harus ada keinginan dari kita untuk bener-bener punya dan dapat yang sungguh-sungguh baik dan bagus.

Dan semua itu akan terlihat di kesungguhan kita meminta dan memilih. Jangan sampe terpengaruh yang membuat kita sendiri ga obyektif.

Jadi, bukan hanya Indonesia Memilih. Tapi juga sebaiknya Indonesia Meminta dan Mengikhtiarkan. Insyaa Allah 2014 Allah akan sediakan itu semua. Kalau tidak, maka sekali lagi, bisa jadi kita yang tidak sungguh-sungguh meminta dan mengikhtiarkan.

Doa saya buat semua yang memilih dan dipilih. Agar Allah ridha buat semuanya. Dan semoga Allah kasih kemudahan dan keringanan buat semua yang terlibat di urusan pemilihan di tingkat nasional, hingga daerah.

Redaktur : Damanhuri Zuhri