Minggu, 31 Maret 2013

FW: Delapan Syarat Agar Dapat Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

From: Suparman
Sent: Monday, April 01, 2013 7:01 AM
To: BDI
Subject: Delapan Syarat Agar Dapat Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

 

Delapan Syarat Agar Dapat Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Senin, 01 April 2013, 06:24 WIB

Seorang pria shalat di Masjid Istiqlal, Jakarta. (ilustrasi)

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ir Aris Ahmad Risadi MSi
Reuni merupakan momen indah yang banyak ditunggu. Setelah sekian lama tidak berjumpa, dipisahkan oleh jarak dan rutinitas baru, kita berkeinginan  untuk bertemu kembali dengan kawan lama dalam suasana gembira dan penuh nostalgia.
 
Kegiatan ini diselenggarakan bukan saja oleh mereka yang memiliki kesamaan sekolah, tapi seringkali dilakukan pula oleh paguyuban yang memiliki kesamaan keturunan, asal-usul daerah, atau kesamaan bentuk lainnya.

Meluasnya penggunaan teknologi informasi khususnya jejaring sosial yang mampu melacak keberadaan kawan lama telah ikut mendorong meningkatnya aktifitas reunian di berbagai kalangan. Suasana romantisme masa lalu telah membuat reuni menjadi peristiwa yang diharapkan. Bahkan diperjuangkan.

Bagi muslimin ada satu reuni yang memiliki nilai luar biasa, yaitu kesempatan bertemunya kembali keluarga besar seketurunan di tempat baru yang sangat menyenangkan di akhirat kelak.

Allah berfirman dalam QS Ar-Ra'd [13]: 22-24 yang artinya "Orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), yaitu Surga 'Adn yang mereka masuk kedalamnya bersama-sama orang yang saleh dari bapak-bapak mereka, istri-istri mereka, dan anak-cucu mereka, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), 'salaamun alaikum bimaa shabartum (keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). 'Maka, alangkah baiknya tempat kesudahan itu"

Sayyid Quthb dalam "Tafsir Fi Zhilalil-Qur'an" menjelaskan peristiwa di atas  laksana  sebuah festival atau reuni dimana mereka saling bertemu, mengucapkan salam, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan dan menggembirakan serta penuh dengan penghormatan.

Kebersamaan di surga tersebut tentu tidak mudah untuk dicapai, karena dalam kisah yang dijelaskan Alquran banyak keturunan/keluarga yang tidak lagi bisa bertemu di akhirat, seperti: Nabi Nuh dengan putra dan istrinya, Asiyah yang solehah dengan suaminya (Firaun), dan Nabi Luth dengan istrinya. Namun bertemunya  keluarga besar di surga bukan pula sesuatu yang tidak mungkin.    

Allah menjelaskan dalam QS. Ar-Ra'd [13] : 18-21 kita bersama keluarga besar bisa bertemu di surga 'Adn, asal dapat memenuhi delapan syarat.

Pertama, memenuhi seruan Tuhannya Barang siapa yang patuh kepada Allah niscaya ia akan mendapatkan pembalasan yang sebaik-baiknya.

Kedua, memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian. Janji Allah disini mutlak, meliputi semua macam perjanjian. Janji terbesar yang menjadi pokok pangkal semua perjanjian ialah janji iman. Perjanjian untuk setia menunaikan segala konsekuensi iman.

Ketiga, menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan. Dalam hal ini taat secara paripurna, istiqomah yang berkesinabungan, dan berjalan di atas sunnah sesuai dengan  aturan-Nya dengan tidak menyimpang dan tidak berpaling.

Kempat, takut kepada Allah.  Takut kepada Allah dan takut kepada siksaan yang buruk dan menyedihkan pada hari pertemuan yang menakutkan.

Kelima, sabar.  Sabar atas semua beban perjanjian di atas (seperti beramal, berjihad, berdakwah, berijtihad), sabar dalam menghadapi kenikmatan dan kesusahan, dan sabar dalam menghadapi kebodohan dan kejahilan manusia yang sering menyesakkan hati.

Keenam,  mendirikan Shalat.   Ini termasuk juga  memenuhi janji dengan Allah. Shalat  ditonjolkan karena merupakan rukun pertama perjanjian ini, sekaligus menjadi lambang penghadapan  diri secara  tulus dan sempurna kepada Allah. Juga penghubungan yang jelas antara hamba dengan Tuhan, yang tulus dan suci.

Ketujuh,  Menginfakkan sebagian rezeki secara sembunyi atau terang-terangan.

Kedelapan, menolak kejahatan dengan kebaikan dalam pergaulan sehari-hari. Dalam hal ini diperintahkan membalas kejelekan dengan kebaikan apabila tindakan ini memang dapat menolak  kejahatan itu, bukan malah menjadikan yang bersangkutan semakin senang berbuat kejahatan.
 
Delapan syarat ini telah Allah jamin akan menghantarkan seseorang dapat berkumpul di surga 'Adn. Mereka mendapati tempat kesudahan yang baik. 

Di samping masuk surga, mereka juga dimuliakan  dengan bertemunya kembali  dengan orang-orang yang mereka cintai. Hal ini merupakan kelezatan lain yang mereka rasakan di dalam surga.  Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

FW: Suara Alquran

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

From: Suparman
Sent: Monday, April 01, 2013 7:07 AM
To: BDI
Subject: Suara Alquran

 

Suara Alquran

Minggu, 31 Maret 2013, 23:36 WIB

Kitab Suci Alquran (ilustrasi).

 

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
Kedatangan syekh-syekh ahli Alquran dari banyak negara pada Sabtu, 30 Maret 2013, alhamdulillaah menjadi warna sendiri di tengah hiruk pikuk masalah di Indonesia ini.

Adem, sejuk, penuh berkah, dan membawa harapan, agar berkah Alquran dan berkah para syekh ahli Alquran, membuat Allah tetap berkenan memberikan rahmat dan pertolongan-Nya untuk Indonesia.

Sekitar 70 ribu jamaah memenuhi Gelora Bung Karno Senayan. Mendengar langsung bacaan Alquran para syekh, mendengar juga langsung tausiyah mereka, melihat wajah-wajah sejuknya, dan mengaminkan doanya. Subhanallah.

Syekh-syekh tersebut di antaranya adalah Syekh Sa'ad al Ghamidi (Imam Masjid Nabawi), Syekh Bashfar (Ketua Organisasi Tahfidz Internasional yang berpusat di Jeddah, membawahi 67 negara, termasuk Indonesia).

Ada juga Syekh Abdurrahman Yusuf (Pimpinan Daarul Qur'an Gaza Palestina), Syekh Muhammad Kholil (Imam Masjid Quba), Syekh Muhammad dan Syekh Yusuf (Daarul Qur'an Yaman), Syekh Halabi (dokter dari Kerajaan Arab Saudi, yang sedang ambil program doktoral).

Syekh Thoriq (dari Kementerian Agama Qatar, beliau juga penulis kitab-kitab Alquran dan termasuk memiliki sanad Alquran tertinggi di dunia), Syekh Hasan (Dari Organisasi Pengajaran Internasional di Jeddah), Syekh Mahmud (Mesir), dan banyak lagi yang lain sebagai pemerhati dan tamu undangan.

Tidak pelak, tamu yang paling ditunggu oleh jamaah adalah Syekh Sa'ad al Ghamidi. Bertepatan pada Sabtu, pas acara, pas juga hari milad (ulang tahun) Syekh Sa'ad al Ghamidi.

Suara emas beliau sangat masyhur di kalangan kaum muslimin Indonesia. Suara dan bacaan Alqurannya teramat menyentuh, memesona, menggugah, dan kerap membuat haru bagi yang mendengarnya.

Syekh Sa'ad al Ghamidi memimpin pembacaan Surah an-Naba. Surah an-Naba adalah salah satu surah yang dihafal dan diujikan kepada peserta yang hadir.

Saya, yang mendampingi di samping beliau, dan relatif semua jamaah, menangis dan terharu. Menangis rindu juga, sangat ingin menjadi makmum di Masjid Nabawi Madinah, dan Masjidil Haram di Makkah langsung.

Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni'mata laka walmuk. Laa syariika lak.

Seorang syekh yang lain, yakni Syekh Abu Mahdi, asal Aljazair yang bermukim di Swedia, di pagi-pagi acara, menerobos langsung ke lapangan tengah, ke lapangan rumput. Beliau sujud dan berdoa.

Beliau berbisik kepada saya, kurang lebih, "Sungguh saya melihat keberkahan yang banyak buat negeri ini, dan saya tidak tahan untuk tidak berdoa untuk semuanya dan Indonesia." Masya Allah. Dan semua jamaah pun melihat dan menyaksikannya.

Mudah-mudahan negeri ini bukan negeri darurat korupsi. Bukan negeri darurat zina. Tapi negeri darurat Alquran. Suara Alquran memanggil Indonesia. Untuk kembali kepada Alquran. Berakhlak Alquran. Dan berlandaskan konstitusi yang tidak meninggalkan Alquran, serta selaras dengan Alquran. Amien.

 

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Rabu, 27 Maret 2013

FW: Ini Cara Menghadapi Stres Ala Islam

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

From: Suparman
Sent: Thursday, March 14, 2013 7:07 AM
To: BDI
Subject: Ini Cara Menghadapi Stres Ala Islam

 

Ini Cara Menghadapi Stres Ala Islam

Jumat, 08 Maret 2013, 14:24 WIB

REPUBLIKA.CO.ID,  Stres, depresi, dan emosi, kerap dialami seseorang. Mereka berharap. Bahwa hidup penuh dengan keindahan. Hidup selalu bisa menyuguhkan berbagai kenikmatan. Misal, harapan memiliki harta berlimpah. Namun kenyataannya, harapan tersebut tidak tercapai. Hanya segelintir harta didapat, sekadar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
Kekecewaan datang. Muncullah stres. Bahkan sampai depresi. Emosi kerap tidak terkontrol. Ketiga hal itu membuat kehidupan semakin suram. Berikut ini wawancara Wartawan Republika Erdy Nasrul dengan tokoh dakwah internasional dari Silicon Valley, Amerika Serikat, Syekh Alauddin Elbakri, memunculkan pemahaman bagaimana menghadapi ketiga hal itu.

Bagaimana menghadapi stres menurut Rasulullah?
Rasulullah banyak mengajarkan kita cara menghadapi stres. Namun sebelum sampai ke sana, kita harus terlebih dahulu memahami apa itu stres. Ada yang mengatakan stres adalah ketidakmampuan meraih sesuatu. Bisa juga berawal dari kekecewaan karena seseorang sudah melakukan sesuatu namun harapannya tidak juga tercapai.
Seorang kehilangan pekerjaannya bisa saja menjadi stress. Bisa juga terkena depresi. Kalau sudah mengkhawatirkan, bisa jadi akhirnya mengalami gangguan jiwa. Kalau sudah sampai kesana ya habislah sudah. Seseorang hilang kesadarannya.

Kenapa bisa begitu?
Jelas. Pertama dia akan menjadi asosial. Orang tidak mau mendekati atau bergaul dengannya. Kedua, rasa ketakutan dalam dirinya terlalu tinggi. Dia takut orang lain mengetahui kebobrokannya. Ketakutan seperti itu membuat apa yang ditakutkan justru semakin terlihat.

Maksudnya?
Misalkan kamu minum kopi. Kemudian kopi tumpah di kemeja yang dipakai. Muncullah rasa takut. Orang-orang akan menghina penampilan, karena kemeja kamu terkena tumpahan kopi. Akhirnya kamu berjalan tidak seperti biasanya. Hal itu justru semakin membuat orang-orang bertanya-tanya kamu kenapa. Sikap seperti itu justru memancing orang untuk menghina kamu.

Seharusnya bagaimana?
Biasa saja. Tidak perlu disembunyikan. Kamu bisa jalan dengan biasa saja tanpa ada rasa malu. Kalau orang menegur, tinggal kamu sampaikan tadi dirimu terkena tumpahan kopi. Orang lain akan mengatakan bahwa itu hal biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kegagalan adalah hal biasa. Selalu saja terjadi. Yang sepantasnya adalah, kegagalan adalah dianggap sebagai pelajaran. Kegagalan adalah evaluasi diri agar tidak lagi mengalami hal yang sama.

Cara yang paling mudah menghilangkan stres?
Pertama adalah kemampuan mengontrol diri. Kita harus mampu mengendalikan keinginan-keinginan yang ada di dalam diri. Kita harus menyesuaikan keinginan dan kemampuan. Ingatlah kisah Umar bin Khatab. Dia berjalan bersama rombongannya. Tiba-tiba dia langsung duduk. Rombongan bertanya-tanya ada apa dengan khalifah.
Seorang muslim bertanya, 'ya khalifah, kenapa tiba-tiba engkau duduk?' Kemudian khalifah menjawab dirinya takut diselimuti kesombongan. Dirinya merasa kesombongan akan datang di saat dia berjalan dengan rombongannya kemudian disapa, dipuji, dan diagung-agungkan oleh siapapun yang melihatnya.
Nah apa yang dilakukan Umar adalah mengetahui adanya sifat buruk dalam dirinya, sekaligus dia mampu untuk menyembuhkannya sendiri.  Kemampuan seperti inilah yang mampu membuat orang tidak gila. Kalau seperti itu maka stres tidak ada. Tidak adalagi emosi yang tidak jelas. Depresipun tidak.

Seperti apa mengendalikan diri itu?
Ini harus dicermati. Mengendalikan diri bukan berarti menghapus keinginan - keinginan yang ada didalam diri. Boleh saja seseorang memiliki keinginan, karena itu hal alami. Manusia pasti punya keinginan.
Silahkan keinginan itu dikelola dengan baik. Kalau manusia tidak punya keinginan maka dia tidak akan berjuang untuk bertahan hidup. Sementara Rasulullah mengajarkan kita untuk berbuat untuk keduniaan. Dan keakhiratan.
Manusia, kerap tidak mampu mengelola keinginan. Nafsu yang kemudian muncul, yaitu ingin menguasai apapun, termasuk semesta. Ingatlah Firaun di zaman Nabi Musa dulu, ditenggelamkan Allah, mati ditelan lautan, karena terlalu bernafsu menjadi penguasa. Firaun berkata semua bisa diaturnya, bahkan manusia harus beribadah seperti apapun dia atur. Wahai Musa, aku akan bangun menara yang tinggi untuk melihat Tuhanmu. Begitu kata Firaun itu.
Kita tidak bisa seperti itu. Ada ketergantungan dalam diri kita untuk menggapai sesuatu. Misal, kita harus berdoa kepada Allah agar apa yang kita inginkan tercapai. Allah sendiri menjanjikan berdoalah maka pasti dikabulkan. Berdoa ini nantinya akan memunculkan keyakinan dan kemantapan diri untuk melakukan sesuatu. Kalau sudah yakin maka pasti akan mudah melakukan sesuatu. Target yang kita inginkan akan tercapai. Jadi berdoa kemudian berusaha.

Ini cara Islam?
Tentu saja. Islam adalah agama yang menghadirkan tantangan bagi kita untuk menghadapi sesuatu. Islam menghadirkan kekuatan mental sehingga umat Islam semakin kuat dan tidak mudah mundur menghadapi sesuatu. Ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya adalah pengalaman yang kalau dipelajari akan menjadikan kita kuat, bahkan lebih kuat dari Sparta.
Coba perhatikan kisah-kisah yang terkandung di dalam Alquran. Misal, bagaimana nabi Musa menghadapi Firaun. Itu jelas sangat berat. Namun Allah menunjukkan segala hal mungkin terjadi. Kalau memang Allah sudah sayang dengan hamba maka pasti akan ada pertolongan. Musa sudah berjuang maksimal, namun kalau dia berjuang sendirian melawan firaun pasti kalah. Maka Allah membantunya dengan mu'jizat.
Kita harus berjuang maksimal. Jangan mudah menyerah. Kalau nantinya kita memang sudah tidak mampu maka yakinlah, Allah pasti akan turun tangan, seperti ketika Allah membantu Musa menghadapi Firaun.

 

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

FW: Pesona Hati Julaibib

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

From: Nana Triana
Sent: Wednesday, March 27, 2013 12:12 PM
To: BDI
Subject: Pesona Hati Julaibib

 

 

Pesona Hati Julaibib
Rubrik: 
Tazkiyatun Nafs - Dibaca: 672 kali

Julaibib namanya. Berpenampilan lusuh, postur tubuh kecil dan rupa yang tidak terlalu menarik, membuat adanya seperti tiadanya. Tak diketahui jelas siapa ayah dan kakek moyangnya. Padahal bagi bangsa Arab nasab adalah sesuatu yang sangat penting. Para sahabat pun tidak banyak yang menaruh perhatian padanya.

 

Lantas apa menariknya Julaibib? Saat ia mati syahid, Rasulullah saw bertanya kepada para sahabat di akhir pertempuran, “Apakah kalian kehilangan seseorang?” Serempak para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau mengulang pertanyaan itu tiga kali dan mendapat jawaban yang sama. Dengan menarik napas dalam, Rasulullah bersabda, “Tetapi aku kehilangan Julaibib.” Serentaklah para sahabat mencarinya.

 

Julaibib ditemukan berlumuran darah dengan 16 luka di bagian depan badannya, di tengah gelimpangan tujuh orang musuh. Rasulullah mengafaninya seraya berkata, “Ya Allah, dia bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya.”

 

Sahabat, banyak di antara kita yang telah dianugerahi Allah nikmat berlimpah—harta, kedudukan, kesehatan, dan lainnya. Di atas semua itu, Allah telah menganugerahkan nikmat iman dan Islam. Namun sering kali nikmat iman tidak mampu mengendalikan diri kita untuk bersyukur dengan limpahan nikmat dunia.

 

Kita merasa selalu kurang, seperti kurang harta, sehingga menyeret kita untuk korupsi. Dalam skala lebih kecil dan sederhana, rasa tidak percaya diri dan minder kerap hinggap karena kita selalu merasa kurang. Kurang cantik, misalnya, padahal demikianlah Allah menakdirkan rupa kita. Lebih disayangkan lagi ketika kita tidak mampu menyikapi semua itu dengan iman.

 

Iman kepada Rasulullah dan perkataan beliau semestinya menggairahkan kita untuk meraih kemuliaan di sisi Allah bukan dari ukuran fisik. Bukankah Rasulullah bersabda,  “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad dan rupa kalian akan tetapi Allah melihat hati-hati kalian.”

 

Sahabat, Julaibib telah memberi teladan bahwa postur tubuh, tampilan rupa, strata sosial tidak harus membuat kita rendah diri. Ia telah mengajarkan kita bahwa semua berhak mendapatkan tempat mulia di sisi Allah. Tak peduli orang sekitar menganggap adanya seperti tiadanya.

 

Ia lebih fokus pada upaya menyucikan hatinya. Ia lebih bersemangat mematutkan hati agar mendapat tempat mulia di sisi-Nya. Ia lebih memilih surga dan para bidadari daripada dunia.

 

Julaibib membuat Allah dan Rasul-Nya terpesona sehingga Rasulullah mengatakan, “Dia bagian dari diriku dan aku bagian dari dirinya.” Julaibib telah mendahului kita mengambil posisi mulia di sisi Allah. Lalu apakah kita sudah berusaha menyusulnya?

 

http://ummi-online.com/berita-351-pesona-hati-julaibib.html

 

Selasa, 26 Maret 2013

FW: Bergegaslah Dalam Kebaikan

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Nana Triana
Sent: Wednesday, March 27, 2013 7:31 AM
To: BDI
Subject: Bergegaslah Dalam Kebaikan

 

Bergegaslah Dalam Kebaikan

oleh Tim Kajian Dakwah Al Hikmah

alhikmah.ac.id – “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Al Abaqarah 148.

 

Dalam ayat ini Allah memerintahkan fastabiqul khahiraat (bersegeralah dalam berbuat baik). Imam An Nawawi dalam kitabnya Riyadhush shalihiin meletakkan bab khusus dengan judul: Babul mubaadarah ilal khairaat wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqbaali ‘alaihi bil jiddi min ghairi taraddud (Bab bersegera dalam melakukan kebaikan, dan dorongan bagi orang-orang yang ingin berbuat baik agar segera melakukannya dengan penuh kesungguhan tanpa ragu sedikitpun). Lalu ayat yang pertama kali disebutkan sebagai dalil adalah ayat di atas. Perhatikan betapa Imam An Nawawi telah memahmi ayat tersebut sebegai berikut:

 

Pertama, bahwa melakukan kebaikan adalah hal yang tidak bisa ditunda, melainkan harus segera dikerjakan. Sebab kesempatan hidup sangat terbatas. Kematian bisa saja datang secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. Karena itu semasih ada kehidupan, segeralah berbuat baik. Lebih dari itu bahwa kesempatan berbuat baik belum tentu setiap saat kita dapatkan. Karenanya begitu ada kesempatan untuk kebaikan, jangan ditunda-tunda lagi, tetapi segera dikerjakan. Karena itu Allah swt. dalam Al Qur’an selalu menggunakan istilah bersegeralah, seperti fastabiquu atau wa saari’uu yang maksudnya sama, bergegas dengan segera, jangan ditunda-tunda lagi untuk berbuat baik atau memohon ampunan Allah swt. Dalam hadist Rasulullah saw. Juga menggunakan istilahbaadiruu maksudnya sama, tidak jauh dari bersegera dan bergegas.

 

Dalam sebuah buku tentang kisah orang-orang saleh terdahulu diceritakan salah seorang dari mereka berpesan: maa ahbabta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat if’alhul yaum. Wamaa karihta ayyakuuna ma’aka fil aakhirat utrukul yaum (apa yang kau suka untuk dibawa ke akhirat kerjakan sekarang juga. Dan apa yang kau suka untuk kau tidak suka untuk di bawa ke akhirat tinggalkan sekarang juga). Ini menggambarkan sebuah sikap kesigapan dalam memilah dan memilih perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Tentu secara fitrah tidak ada manusia yang suka membawa dosa-dosa ke akhirat, kecuali orang-orang yang sudah mati hatinya. Karena itu makna fastabiquu pada ayat di atas memang benar-benar sangat penting -kalau tidak mau dikatakan sebuah keniscayaan- untuk selalu kita amalkan.

 

Kedua, bahwa untuk berbuat baik hendaknya selalu saling mendorong dan saling tolong menolang. Imam An Nawawi mengatakan: wa hatstsu man tawajjaha likhairin ‘alal iqabaal ‘alaihi. Ini menunjukkan bahwa kita harus membangun lingkungan yang baik. Lingkungan yang membuat kita terdorong untuk kebaikan. Karena itu dalam hadits yang menceritakan seorang pembunuh seratus orang lalu ia ingin bertaubat, disebutkan bahwa untuk mencapai tujuan taubat tersebut disyaratkan akan ia meninggalkan lingkungannya yang buruk. Sebab tidak sedikit memang seorang yang tadinya baik menjadi rusak karena lingkungan. Karena itu Imam An Nawawi menggunakan al hatstsu yang artinya saling mendukung dan memotivasi. Sebab dari lingkungan yang saling mendukung kebaikan akan tercipta kebiasaan berbuat baik secara istiqamah.

 

Lebih dalam jika kita renungkan makna ayat fastabiquu kita akan menemukan makna bahwa di mana kita memang harus menciptakan lingkungan. Sebab dalam kata tersebut terkandung makna “berlombalah”. Dalam perlombaan tidak mungkin sendirian, melainkan harus lebih dari satu atau lebih. Maka jika semua orang berlomba dalam kebaikan, otomatis akan tercipta lingkungan yang baik. Karena dalam ayat yang lain Allah swt. berfirman dalam surah Ali Imran,133: wasaari’uu ilaa maghfiratin mirrabbikum di sini Allah swt. menggunakan kalimat wa saari’uu diambil dari kata saa ra’a- yusaa ri’u maksudnya tidak sendirian, melainkan ada orang lain yang juga ikut bergegas. Seperti dhaaraba-yudhaaribu artinya saling memukul. Dalam makna ini tergambar keharusan adanya lingkungan di mana sejumlah orang saling bergegas untuk berbuat baik. Bagitu juga dalam surah Al Hadid, 21, Allah berfirman: saabiquu ilaa maghfiratin mirr rabbikum, katasaabiquu mengandung makna saling berlombalah. Suatu indikasi bahwa menciptakan lingkungan yang baik adalah sebuah keniscayaan.

 

Langkah awal untuk menciptakan lingkungan yang baik ini adalah dengan memulai dari diri sendiri dan keluarga. Allah swt. berfirman: quu anfusakum wa ahliikum naaraa. Perhatikan dalam ayat ini, Allah swt hanya focus kepada diri sendisi dan keluarga dan tidak melebar kepada masyarakat luas dan Negara. Mengapa? Sebab inilah jalan terbaik dan praktis untuk memperbaiki sebuah bangsa. Kita harus memulai dari diri sendiri dan keluarga. Sebuah bangsa apapun hebatnya secara teknologi, tidak akan pernah bisa tegak dengan kokoh bila pribadi dan keluarga yang ada di lamanya sangat rapuh.

 

Ketiga, bahwa kesigapan melakukan kebaikan harus didukung dengan kesungguhan yang dalam. Imam An Nawawi mengatakan: bil jiddi min ghairi taraddud . Kalimat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin kebaikan dicapai oleh seseorang yang setengah hati dalam mengerjakannya. Rasulullah saw. bersabda: baadiruu fil a’maali fitanan ka qitha’il lailill mudzlim, yushbihur rajulu mu’minan wa yumsii kaafiran, ,wa yumsii mu’minan wa yushbihu kaafiran, yabi’u diinahu bi ‘aradhin minad dunyaa (HR. Muslim). Dalam hadits ini Rasulullah saw. mendorong agar segera beramal sebelum datangnya fitnah, di mana ketika fitnah itu tiba, seseorang tidak akan pernah bisa berbuat baik. Sebab boleh jadi pada saat itu seseorang dipagi harinya masih beriman, tetapi pada sore harinya tiba-tiba menjadi kafir. Atau sebaliknya pada sore harinya masih beriman tetapi pada pagi harinya tiba-tiba menjadi kafir. Agama pada hari itu benar-benar tidak ada harganya, mereka menjual agama hanya dengan sepeser dunia.

 

Uqbah bin Harits ra. pernah suatu hari bercerita: “Aku shalat Ashar di Madinah di belakang Rasulullah saw. kok tiba-tiba selesai shalat Rasulullah segera keluar melangkahi barisan shaf para sahabat dan menuju kamar salah seorang istrinya. Para sahabat kaget melihat tergesa-gesanya Rasulullah. Lalu Rasulullah keluar, dan kaget ketika melihat para sahabatnya memandangnya penuh keheranan. Rasulullah saw. lalu bersabda: Aku teringat ada sekeping emas dalam kamar, dan aku tidak suka kalau emas tersebut masih bersamaku. Maka aku segera perintahkan untuk dibagikan kepada yang berhak (HR. Bukhari).

Dalam perang Uhud, kesigapan untuk berbuat baik seperti yang dicontohkan Rasulullah barusan, nampak sekali di tengah sahabat-sahabatnya. Jabir bin Abdillah meriwayatkan bahwa pernah salah seorang bertanya kepada Rasulullah saw.: Wahai Rasul, apa yang akan aku dapatkan jika aku terbunuh dalam peperangan ini? Rasulullah menjawab: Kau pasti dapat surga. Seketika orang tersebut melepaskan kurma yang masih di tangannya, lalu berangkat ke tengah medan tempur dengan tanpa ragu, lalu ia berperang sampai terbunuh. (HR. Bukhari-Muslim). Subhanallah, sebuah kenyataan dalam sejarah, di mana umat Islam harus memiliki kwalitas seperti ini. Wallahu a’lam bishshawab.

 

http://alhikmah.ac.id/2013/bergegaslah-dalam-kebaikan-2/

 

 

FW: Proses Bukan Hasil…

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Agam210979@gmail.com [mailto:agam210979@gmail.com]
Sent: Wednesday, March 27, 2013 6:55 AM
To: BDI
Subject: Proses Bukan Hasil…

 

 

Proses Bukan Hasil…

 

Kategori : Entrepreneurship

Published on Friday, 22 March 2013 08:26

Oleh : Muhaimin Iqbal

Seorang anak laki-laki bermain di tepi pantai, di terik matahari berjam-jam dia membuat istana pasir yang indah. Setelah selesai dia menikmati sejenak karyanya, kemudian melihat di kejauhan datanglah ombak besar. Blaaas, ombak menyapu habis hasil jerih payahnya. Anak laki-laki ini bersorak gembira ketika hasil karyanya disapu habis oleh ombak. Kok dia bisa gembira ? Karena dia tahu ombak pasti datang , dia tahu bahwa dia hanya bermain sesaat !

 

 

 

Yang dilakukan oleh para orang tua seperti kita-kita sebenarnya tidak jauh beda dengan yang dilakukan oleh anak laki-laki kecil tersebut. Kita membangun istana pasir dengan pekerjaan kita, karir kita, usaha kita dlsb. Yang membedakan dengan si anak laki kecil tadi adalah kita mengabaikan kenyataan bahwa ombak pasti datang !

 

 

 

Ketika mengejar karir, kita mengira bahwa karir itulah tujuan kita sehingga kita mengira kebahagiaan akan datang pada saat cita-cita tercapai. Ketika kita membangun usaha kita mengira bahwa usaha itulah tujuan kita, sehingga kita kira  akan bahagia ketika usaha berhasil sukses.

 

 

 

Karena karir atau usaha adalah tujuan, maka ketika tujuan itu tidak tercapai – kekecewaan dan frustasi yang datang. Ketika ombak datang berupa pensiun atau gagalnya usaha seolah akhir dari segalanya.

 

 

 

Lantas bagaimana kita bisa menikmati seperti anak kecil tadi ? bisa tetap gembira ketika ombak datang ? salah satunya adalah menikmati proses membuat 'istana pasir' tersebut. Berkotor-kotor berkubang pasir basah di terik matahari, itulah proses menikmati pembangunan 'istana pasir' itu.

 

 

 

Karena kita tahu bahwa suatu saat keindahan 'istana pasir' itu akan meninggalkan kita atau kita meninggalkannya, maka ketika hal itu bener-bener terjadi kita tetap bisa bersorak gembira seperti yang dilakukan oleh anak kecil tersebut di atas.

 

 

 

Menikmati proses itu sejalan dengan takdirNya, bahwa domain kita adalah bekerja dan berusaha – domain Allah menentukan hasil. Karena hasil diluar kemampuan kita untuk menentukannya, maka tidak pantas kita berlebihan menikmatinya ketika hasil tercapai. Sebaliknya juga tidak pantas bersedih berlebihan ketika gagal.

 

 

 

"Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri" (QS 57 : 23)

 

 

 

Lantas bagaimana kita bisa menikmati proses ini ? bekerja atau berusahalah sebaik mungkin dimanapun tempat Anda sekarang berada. Optimalkan waktu kini yang menjadi milik Anda satu-satunya,  karena waktu besuk belum tentu milik Anda sedangkan waktu kemarin sudah bukan lagi milik Anda.

 

 

 

Waktu adalah very perishable asset – yaitu aset yang mudah sekali rusak. Kita hanya memilikinya untuk saat ini, maka saat inilah waktunya untuk bekerja dan berusaha se-optimal mungkin.

 

 

 

Besuk atau lusa ombak bisa datang, tetapi karena saat ini kita sudah bekerja optimal – kita sudah berkarya, sudah menciptakan kerja, sudah memberi makan – maka insyaAllah ketika ombak itu bener-bener datang – kita tetap bisa bergembira menyambutnya.

 

 

 

Bila waktu ini sudah kita optimalkan, cita-cita tercapai sekalipun – karir bisa menjulang tinggi, usaha bisa tumbuh menggurita – saat itu-pun bukan waktu yang tepat untuk bisa menikmatinya. Tidak ada  waktu yang tepat untuk kita bisa leyeh-leyeh menikmati hasil. Selalu akan ada tugas besar berikutnya yang menanti !

 

 

 

"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap." (QS 94 :7-8)

 

 

 

Istana pasir demi istana pasir kita bangun, ombak demi ombak datang menghancurkannya – insyaallah kita bisa tetap gembira. Karena kita tahu dunia ini hanya permainan, hanya kepadaNyalah kita berharap dan kembali !.

 

 

 

"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS 57 :20)

 

Disclaimer:
The contents of this email, together with its attachments, may contain confidential information belong to Virginia Indonesia Co., LLC ("VICO") and Virginia Indonesia Co., CBM Limited  ("VICO CBM"). If you are not the intended recipient, please notify the sender immediately and delete this e-mail from your system, and you should not disseminate, distribute, copy or otherwise use this email or any part thereof.

Senin, 25 Maret 2013

FW: Gubernur yang Miskin

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Suparman
Sent: Thursday, March 21, 2013 7:22 AM
To: BDI
Subject: Gubernur yang Miskin

 

Gubernur yang Miskin

Selasa, 19 Maret 2013, 15:03 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oeh : H Ahmad Dzaki, MA
 
Pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada seorang gubernur yang ditugaskan di Syiria. Dia bernama Said bin Amir, ia adalah seorang pemimpin yang baik, jujur dan sangat dicintai rakyatnya.

Tapi dia hidup dalam keprihatinan. Dia bukan orang kaya, rumahnya tidak mewah, tidak memiliki kendaraan dinas dan tidak mau menggunakan fasilitas negara.

Suatu hari, ada serombongan rakyat Syiria yang datang menghadap Khalifah Umar bin Khattab, lalu khalifah berkata kepada mereka: coba kalian tuliskan nama-nama orang miskin yang ada di Syiria, saya akan membagikan bantuan kepada mereka dari baitul mal.

Mereka pun menulis nama-nama penduduk Syiria yang miskin salah satunya adalah Said bin Amir. Membaca daftar nama-nama tersebut, khalifah Umar bin Khattab terkejut sambil berkata, “Siapa Said bin Amir ini ? Mereka menjawab: Dia adalah gubernur kami, wahai khalifah.''

“Gubernur kalian miskin ?“ tanya Khalifah. “Benar, wahai khalifah,“ jawab mereka serempak “Bahkan sudah beberapa hari ini kami lihat istrinya tidak memasak apapun.”

Lalu Khalifah Umar bin Khattab menangis tersedu-sedu sambil memasukkan uang seribu dinar ke dalam kantong, lalu ia berkata : “Bawa ini ke gubernur kamu, dan serahkan ini untuk biaya hidupnya”.

Rombongan itu kembali ke Syiria dan menyerahkan amanat dari khalifah kepada gubernur, saat membuka isi kantong, Said bin Amir berucap dengan kencangnya ; Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, telah datang kepada ku dunia yang akan merusak akhiratku.'' Istrinya lalu berkata : “ Lenyapkan saja dunia itu wahai suamiku.”

Atas persetujuan istrinya, Said bin Amir membagi-bagikan uang seribu dinar tersebut kepada rakyatnya.

Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab datang mengunjungi Syiria untuk melihat situasi umat Islam di sana, lalu menanyakan rakyat Syiria tentang apa yang diperbuat Said bin Amir, sang gubernur.

Karena ini adalah kesempatan yang sangat langka bisa bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab, rakyat pun mengadukan tiga hal tentang gubernur mereka.

Namun khalifah sudah memanggil gubernur tersebut sebelumnya untuk bersama-sama mendengarkan keluhan rakyat Syiria.

Seorang rakyat mengadu, “Gubernur kami selalu datang terlambat dalam bekerja, dia baru datang manakala hari sudah hampir siang.”

Khalifah Umar bin Khattab meminta Said bin Amir menjelaskan hal tersebut. Said bin amir berkata “Demi Allah, sebenarnya saya tidak ingin mengatakan hal ini. Tiap pagi saya bekerja membuat roti untuk keluarga karena saya tidak memiliki pembantu, setelah semuanya siap, barulah saya berwudhu dan keluar untuk bekerja menemui rakyat.''

Lalu khalifah berkata lagi. “Apalagi yang kalian keluhkan dari gubernur kalian?” Seorang rakyat berbicara “Kalau malam tiba gubernur kami tidak mau menerima tamu siapapun.'' Lalu gubernur menjawab, “Aku membagi waktuku, siang aku gunakan untuk bekerja dan mengurusi urusan dunia, malam hari aku gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT.''

Khalifah berkata lagi, “Apalagi keluhan kalian?“ Seorang rakyat kembali berkata “Setiap bulan gubernur memiliki satu hari yang tidak mau diganggu oleh siapapun.”

Gubernur menjawab, “Aku tidak memiliki pembantu yang mencucikan pakaian, dan aku juga tidak memiliki pakaian kecuali yang aku pakai ini, pada hari itu, aku mencuci pakaianku dan aku menunggunya sampai kering sehingga aku tidak bisa menemui rakyatku, setelah pakaianku kering pada sore hari barulah aku pakai lagi dan menemui rakyatku.”

Khalifah Umar bin Khattab pun berdecak kagum sambil mengucap subhanallah. Cerita tersebut di atas sangat menginspirasi kita, saat kita sedang ramai memilih calon pemimpin.

Telinga peka mendengar berita-berita yang tidak mengenakkan, seseorang yang berkeinginan menjadi gubernur dia harus menyiapkan uang milyaran rupiah untuk kampanye dan menarik simpati rakyat.

Berbagai macam taktik dan siasat disusun dan direncanakan, tidak dipikir apakah itu halal atau haram? Rakyat juga cenderung memilih calon pemimpin yang memiliki harta berlimpah, bermobil mewah, selalu muncul di televisi, selalu dimuat di surat kabar bila memberikan sumbangan, tidak peduli apakah dia layak menjadi pemimpin atau tidak.

Lihatlah Said bin Amir, seorang pemimpin yang patut dicontoh. Kehidupannya sangat memprihatinkan bahkan dia termasuk ke dalam daftar orang yang miskin, luar biasa. Tapi,dia bisa melaksanakan amanah dengan baik.

Semoga kisah ini dapat dibaca dan dijadikan bahan renungan saudara-saudaraku yang berkeinginan menjadi pemimpin.

Ingat itu adalah amanah yang harus dilaksanakan dengan baik bukan kedudukan yang digunakan untuk memperkaya diri sendiri dan menumpuk harta, wallahu a’lam bish-shawab.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

Masjidil Haram

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/03/24/mk638o-masjidil-haram

 

Senin, 25 Maret 2013, 03:03 WIB

 

Kabah di Masjidil Haram Makkah, Arab Saudi, Selasa (23/10). (Hassan Ammar/AP)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Yusuf Mansur

Masjidil Haram memiliki 'aura' yang sangat luar biasa. Jangankan bagi orang yang belum pernah ke Masjidil Haram, yang sudah ke sana saja merasakan rindu yang teramat besar.

Bisa melihat Ka'bah yang selama ini jadi kiblat 'yang tidak kelihatan', sekarang tiba-tiba bisa melihat dengan mata telanjang. Yang tidak diizinkan Allah pun bisa memegang, menyentuh, meraba, kiswah Ka'bah.

Bagi yang sudah pernah ke sana, mungkin ingat pertama kali momentum mulai melihat menara Masjidil Haram dari kejauhan, saat memasuki kota Makkah. Bermandikan cahaya! Rata-rata jamaah umrah, memasuki Makkah, malam hari, dini hari, atau menjelang shubuh.

"Bapak Ibu, Dhuyuufurrohmaan (,para tamu Allah), lihat, Masjidil Haram sudah kelihatan...", begitu kata muthowwif, pembimbing kepada jamaah. Sebagian jamaah yang tertidur, langsung melek. 

Sebagiannya berdiri, kemudian bertasbih, bertalbiyah, bershalawat, dan sebagian besarnya akan menangis. Nggak menyangka, sudah sampai di Makkah, dan segera ke Masjidil Haram.

Sejurus kemudian, dalam keadaan berpakaian ihram, pintu Masjidil Haram sudah di depan mata. Warna keramik, lalu lalangnya jamaah umrah, karpet masjidil haram, ornamen-ornamennya, masih bisa kita ingat dengan jelas. Dan kemudian setelah memasuki Masjidil Haram, kita melewati deretan galon air zamzam. Subhaanallaah...

Di tengah Masjidil Haram, Ka'bah berdiri dengan sejuta pesonanya. Kiswah hitam menyelubungi Ka'bah. Berdegup jantung memandangnya.

Terdengar kemudian muthowwif mengucapkan doa ketika melihat Ka'bah, yang bagian sebagian orang doa itu makin membuat air mata tambah berlinang.

Buat jamaah yang belum pernah melihat Ka'bah, masuk kota Suci Makkah, masya Allah, baca atau dengar cerita seperti ini, akan ikut merinding. Air mata pun menetes. Kangen pengen ke sana.

Labbaik Allahumma labbaik, Labbaika la syarika laka Labbaik. Innal hamda, wanni'mata laka wal mulk. La syarika lak. Lautan manusia mengucapkan kalimat talbiyah ini. Allahu Akbar. 

Saya doakan semoga saudara semua bisa ikut tawaf. Merasakan berdoa di Multazam. Bisa menyentuh dan mencium Hajar Aswad. Bisa berdoa di dekat Maqam Ibrahim, dan di tempat-tempat mustajabah.

Perbanyaklah berdoa, bersedekah, dan mintalah sama Allah agar dimudahkan bisa ke sana, apalagi bisa berhaji, menyempurnakan Rukun Islam kelima, bukan hanya untuk umrah.

Yang sudah pernah ke sana, saya doakan bisa ke sana, khususnya di waktu-waktu Ramadhan. Bisa tarawih, tahajud, dan witir di Masjidil Haram. Subhanallah. Ini belum lagi cerita tentang Masjid Nabawi di Kota Rasul, Madinah al Munawwaroh.

Jamaah sekalian. Saat saudara baca ini, kami berada di Dubai, untuk menjemput kedatangan seseorang yang dimuliakan Allah, Syeikh al Ghomidi. Salah seorang Imam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Kedatangan beliau dalam rangka menghadiri acara Wisuda Akbar IV, di Gelora Bung Karno Senayan, 30 Maret mendatang.

Insya Allah, pada Jumat (29/3),  mudah-mudahan beliau diizinkan Allah menjadi khatib di Masjid Istiqlal. Sehingga jamaah yang rindu dengan Kota Makkah dan Madinah, rindu Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, bisa merasakan sensasi dan suasana seakan-akan berada di Tanah Suci. Allahu akbar.

Kami mohon doanya dari semuanya, agar perjalanan Syeikh al Ghomidi ke Indonesia, diberi kelancaran, kemudahan, dan Syeikh diberi kesehatan. Juga agar bisa memberkahi bumi Indonesia yang betul-betul lagi butuh rahmat-Nya Allah. 

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

Minggu, 24 Maret 2013

FW: Cinta Perlu Bukti < Jamil Azzaini

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

 

-----Original Message-----
From: Nana Triana
Sent: Monday, March 25, 2013 6:12 AM
To: BDI
Subject: Cinta Perlu Bukti « Jamil Azzaini

 

 

http://www.jamilazzaini.com/cinta-perlu-bukti/

 

Bila saya bertanya kepada Anda, “Apakah Anda mencintai bapak dan ibu Anda?” Sebagian besar pasti menjawab, “Ya iyalah!” Tapi bila saya tanya, “Apa buktinya bahwa Anda mencitai mereka?” Apa kira-kira jawaban Anda? Berhentilah sejenak, renungkanlah apa bukti-bukti yang sudah Anda lakukan sebagai perwujudan cinta Anda kepada orang tua.

 

Bukti cinta kepada orang tua itu setidaknya diwujudkan dalam 3 hal. Pertama, memenuhi keinginan orang tua. Selama keinginan orang tua bukan dosa dan maksiat, penuhilah, walau mungkin berat bagi Anda. Bila mereka menginginkan Anda bekerja, sementara Anda ingin jadi pengusaha maka bekerja adalah pilihan terbaik.

 

Bila passion Anda memang ingin jadi pengusaha, tetaplah pelihara dan jaga itu. Gunakan waktu-waktu luang Anda untuk membangun kerajaan bisnis. Apabila semua sudah tertata dengan baik, bicaralah dengan penuh rasa hormat untuk minta ridho kepadanya untuk menjadi pengusaha. Saya yakin bila Anda sudah memberikan bukti, orang tua berpeluang besar meridhoi Anda. Ingatlah keberkahan dan ketenangan hidup Anda ditentukan ridho mereka.

 

Kedua, sediakan waktu untuk mereka. Saat kita kecil, kita akan senang bila orang tua menemani kita. Saat kita sudah besar, orang tua sangat senang bila kita bisa sering menemani mereka. Saat mereka sakit, kehadiran kita sangatlah dirindukan. Sungguh terlalu bila orang tua sakit, kita tidak menyediakan waktu untuk menemaninya.

 

Ngobrol ringan tentang masa lalu, memijat lembut tubuh mereka yang mulai keriput, tidur di pangkuannya sambil bercerita, adalah waktu-waktu yang sangat berharga bagi mereka. Menemani mereka berkunjung ke rumah teman-temannya adalah kebahagiaan tersendiri buat mereka. Jangan sampai saat kita berkunjung menemui mereka, ternyata waktu kita dihabiskan untuk kepentingan pribadi kita, egois.

 

Ketiga, kirimkan pahala untuk mereka. Saya sangat yakin bahwa setiap kebaikan dan amal sholeh yang kita lakukan, pahalanya juga akan mengalir kepada orang tua kita. Sibukkan diri kita dengan berbuat kebaikan, bayangkan wajah mereka walau mungkin sudah tiada dan kirimkan amal sholeh itu kepada mereka. Jangan pernah sedikitpun berniat berbuat maksiat, karena itu pasti akan membuat orang tua kita tersiksa.

 

Sadarilah, kita pasti tidak bisa membalas kebaikan orang tua. Walau seluruh ucapan terima kasih di dunia dijadikan satu kemudian dipersembahkan bagi mereka, itu amatlah sedikit dibandingkan dengan kasih sayang mereka. Lakukan tiga hal di atas, agar setidaknya kita tidak menyadang predikat anak durhaka.

 

Salam SuksesMulia!

 

Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @jamilazzaini

FW: Sikap Amanah

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

 

From: Suparman
Sent: Wednesday, March 20, 2013 6:58 AM
To: BDI
Subject: Sikap Amanah

 

Sikap Amanah

Selasa, 19 Maret 2013, 16:46 WIB

Berdoa (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh; Kurnia MH

Amanah adalah bersikap adil, menempatkan sesuatu sesuai dengan kedudukannya dan tidak mengurangi sedikit pun hak-haknya. Amanah merupakan persaksian kepada Allah, nasihat kepada orang-orang Muslim, dan menjelaskan kebenaran.

Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (QS al-Ahzab [33]: 72).

Ibrahim bin Adham pernah menjadi penjaga kebun milik orang kaya. Dia menjaga kebun tersebut sambil terus memperbanyak shalat. Suatu hari, pemilik kebun meminta dipetikkan buah delima. Ibrahim mengambil dan memberinya. Tapi, pemilik kebun malah memarahinya. Ia tersinggung karena diberikan buah delima yang asam rasanya.

“Apa kau tak bisa membedakan buah delima yang manis dan asam?” Ibrahim menjawab bahwa dia belum pernah merasakannya. Pemilik kebun menuduh Ibrahim berdusta.

Ibrahim lantas shalat di kebun itu. Pemilik kebun menuduhnya berbuat riya dengan shalatnya. “Aku belum pernah melihat orang yang lebih riya dibanding engkau.” Ibrahim menjawab, ”Betul tuanku, ini baru dosaku yang terlihat. Yang tidak, jauh lebih banyak lagi.”

Di hari lain, majikannya kembali meminta buah delima. Kali ini Ibrahim memberi yang terbaik menurut pengetahuannya. Tapi lagi-lagi pemilik kebun kecewa karena buah yang dia terima asam rasanya. Dia pun memecatnya.

Ibrahim kemudian pergi. Di perjalanan, ia menjumpai seorang pria yang sekarat karena kelaparan. Ibrahim memberinya buah delima yang tadi ditolak majikannya.

Ibrahim lantas berjumpa lagi dengan pemilik kebun yang berniat membayar upahnya. Ibrahim berkata agar dipotong dengan buah delima yang ia berikan kepada orang sekarat yang ia jumpai.

“Apa engkau tak mencuri selain itu,” tanya pemilik kebun. “Demi Allah, jika orang itu tidak sekarat, aku akan mengembalikan buah delimamu.” Setelah upahnya dibayar Ibrahim pun pergi.

Setahun kemudian, pemilik kebun mendapat tukang kebun yang baru. Dia kembali meminta buah delima. Tukang kebun barunya itu memberinya yang paling harum dan manis.

Pemilik kebun itu bercerita bahwa ia pernah memiliki tukang kebun yang paling dusta. Karena mengaku tak pernah mencicipi buah delima dan memberi buah delima kepada orang yang kelaparan, minta dipotong upahnya untuk buah delima yang ia berikan kepada orang kelaparan itu.

“Dia juga selalu shalat. Betapa dustanya dia,” kata pemilik kebun. Tukang kebun yang baru lantas berujar. ”Demi Allah, wahai majikanku. Akulah orang yang kelaparan itu. Dan tukang kebun yang engkau ceritakan itu dulunya seorang raja yang meninggalkan singgasananya karena zuhud.”

Pemilik kebun lantas mengambil debu dan menaburnya di atas kepalanya sembari menyesali. “Celaka, aku telah menyia-nyiakan kekayaan yang tak pernah aku temui.”

Itulah kisah Ibrahim bin Adham yang terkenal karena amanah dan kezuhudannya, dia telah melaksanakan hak orang lain, memenuhi hajat orang miskin, dan membantu orang yang membutuhkan. Ia juga melaksanakan amanah dengan baik. Semoga kita bisa meneladaninya. Wallahu a'lam.

Redaktur : Damanhuri Zuhri

 

 

FW: Empat Prinsip Etos Kerja Islami

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

 

From: Suparman
Sent: Thursday, March 21, 2013 7:10 AM
To: BDI
Subject: Empat Prinsip Etos Kerja Islami

 

Empat Prinsip Etos Kerja Islami

Kamis, 21 Maret 2013, 06:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh M Husnaini

Bekerja merupakan keniscayaan dalam hidup. Dalam suasana zaman yang semakin sulit, kaum beriman dituntut mampu survive dan bangkit membangun peradaban seperti sedia kala. Syarat untuk itu tidak cukup lagi ditempuh dengan kerja keras, tetapi harus kerja cerdas.

Tidak ada lain bagi kaum beriman kecuali harus mengkaji pandangan Islam tentang etos kerja. Meski makhluk hidup di bumi sudah mendapat jaminan rezeki dari Allah, namun kemalasan tidak punya tempat dalam Islam. Fatalisme atau paham nasib tidak dikenal dalam Islam. Firman Allah, "...maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan” (Qs Al-Ankabut: 17).

Menurut ayat itu, rezeki harus diusahakan. Dan seakan mengonfirmasi ayat di atas, firman Allah di ayat lain tegas menyatakan, cara mendapat rezeki adalah dengan bekerja. “Jika shalat telah ditunaikan, maka menyebarlah kalian di muka bumi, carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kalian beruntung” (Qs Al-Jumu’ah: 10).

Ayat lain bahkan menyatakan, dijadikannya siang terang agar manusia mencari rezeki dari Allah (Qs Al-Isra: 12), terlihatnya bahtera berlayar di lautan agar manusia mencari karunia Allah (Qs An-Nahl: 14), adanya malam dan siang agar manusia beristirahat pada waktu malam dan bekerja pada waktu siang (Qs Al-Qashash: 73).

Masih banyak ayat serupa. Intinya, rezeki Allah hanya akan diperoleh dengan etos kerja tinggi. Bagaimana teknis pelaksanaan etos kerja sebagaimana perintah Allah di atas?

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip etos kerja yang diajarkan Rasulullah. Keempat prinsip itu harus dimiliki kaum beriman jika ingin menghadap Allah dengan wajah berseri bak bulan purnama.

Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’.

Analoginya, menjadi anggota DPR adalah halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.

Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta.

Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).

Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.

Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Penting dicatat, Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Lebih tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3). Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam. Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak kaum lemah dan papa.

Demikianlah, dan sekali lagi, kemuliaan pekerjaan sungguh tidak bisa dilihat dari jenisnya. Setelah memenuhi empat prinsip di atas, nilai sebuah pekerjaan akan diukur dari kualitas niat (shahihatun fi an-niyat) dan pelaksanaannya (shahihatun fi at-tahshil). Itulah pekerjaan yang bernilai ibadah dan kelak akan mengantarkan pelakunya ke pintu surga.


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Redaktur : Heri Ruslan

 

 

Kamis, 21 Maret 2013

FW: Hati yang Lapang

Please visit BDI Website http://vico-bdi.vico.co.id/

Pengurus BDI berupaya menghindari peredaran email-email yang dianggap dapat menimbulkan polemik antara anggota BDI

 

 

 

From: Suparman
Sent: Friday, March 22, 2013 7:02 AM
To: BDI
Subject: Hati yang Lapang

 

Hati yang Lapang

Jumat, 22 Maret 2013, 06:49 WIB

Berdoa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zainal Arifin SPd   
Seorang pemuda yang sedang galau mendatangi seorang ulama yang bijaksana. Pemuda tersebut sudah tidak mampu lagi menjalani kehidupannya yang penuh problematika, sehingga ia pun mengadu kepada ulama tersebut.

“Wahai orang alim, aku sudah bosan hidup dengan permasalahan yang tiada henti mendera kehidupanku. Dapatkah engkau membantuku menyelesaikan segala masalah yang selalu ada dalam hidupku ini?” Tanya pemuda itu.

“Hai pemuda yang gagah, adakah tempat di muka bumi ini yang tidak menimbulkan masalah? Sesungguhnya setiap yang bernyawa di dunia ini tidak akan terlepas dari yang namanya permasalahan. Nah, maukah kamu aku berikan cara agar mudah menghadapi permasalahanmu itu?” Ulama tersebut balik bertanya.

“Apa yang harus aku lakukan?” Pemuda itu kembali bertanya.

Ulama tersebut hanya tersenyum sembari mengambil segenggam garam dan memasukkannya ke dalam gelas yang berisi air. Garam itu diaduknya dalam gelas yang berisi air tersebut hingga larut dan diberikan kepada pemuda itu. Kemudian, pemuda tersebut diminta meminum air garam dalam gelas tadi.

“Bagaimana rasanya?” Tanya ulama tersebut.

“Asin sekali,” jawab pemuda itu.

Selanjutnya sang ulama mengajak pemuda itu ke tepi danau air tawar yang luas. Ia pun memasukkan segenggam garam yang sama ukurannya dengan garam sebelumnya yang dimasukkan ke dalam gelas tadi. Setelah beberapa saat mengaduk-aduk air di tepi danau itu, ia pun menyuruh anak muda tadi mengambil air dari danau itu dan diminta meminumnya.

“Bagaimana rasanya?” Ulama itu kembali bertanya.

“Hambar, tawar dan tidak berasa,” kata pemuda itu.

“Demikianlah permasalahan hidup, jika kita menghadapinya dengan hati sempit seperti gelas tadi, maka sangat terasa berat permasalahan hidup ini. Sebaliknya, jika kita menghadapi berbagai macam masalah dengan hati yang lapang seluas danau itu, maka tidak akan terasa permasalahan di dunia ini. Sesungguhnya masalah yang paling berat hanya ketika manusia berada di neraka, maka jadikanlah permasalahanmu di dunia ini sebagai lumbung amal sholehmu agar terbebas dari perkara di neraka jahim.” Jelas ulama itu sambil berlalu meninggalkannya.

Hikmah yang dapat diambil dari ulasan kisah tersebut adalah pentingnya melapangkan hati dalam menyikapi problematika hidup ini. Hati yang lapang akan mampu menampung dan menetralisir permasalahan hidup yang silih berganti datangnya.

Luas dan sempitnya hati sangat mempengaruhi mental seseorang dalam menjalani liku-liku kehidupan. Dengan hati yang lapang, seseorang akan lebih bijak memahami permasalahan hidupnya. Karena hati yang lapang merupakan bagian dari kesabaran seseorang, dan kesabaran adalah anugerah terbaik dari Allah SWT. ''...dan tidaklah seseorang itu diberi sesuatu yang lebih baik dan lebih lapang dari pada kesabaran.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dan telah banyak pembahasan mengenai sabar yang merupakan salah satu sifat sekaligus ciri orang beriman. “Sungguh menakjubkan perkara orang yang beriman, karena segala perkaranya adalah baik. Jika ia mendapatkan kenikmatan, maka ia bersyukur. Dan jika ia tertimpa musibah atau kesulitan, ia bersabar karena mengetahui bahwa hal tersebut adalah baik baginya.” (HR Muslim).

Redaktur : Heri Ruslan